
Laporan terbaru dari Kementerian Dalam Negeri Britania Raya, yang dirilis pada Jumat, 18 Juli 2025, telah mengungkap sisi gelap dari gairah sepak bola di Liga Inggris. Musim 2024/2025 yang baru saja berakhir, meski dipenuhi drama di lapangan dan persaingan sengit, juga diwarnai dengan peningkatan insiden gangguan publik dan kekerasan yang melibatkan para penggemar. Data mengejutkan ini menyoroti klub-klub dengan jumlah penangkapan penggemar tertinggi, dan yang paling mencolok adalah dominasi Manchester United di puncak daftar.
Menurut rilis resmi dari lembaga pemerintah tersebut, total penangkapan terkait sepak bola di seluruh divisi Liga Inggris mencapai angka yang mengkhawatirkan, dengan fokus utama pada Premier League. Berbagai pelanggaran, mulai dari gangguan ketertiban umum, kekerasan fisik, vandalisme, penggunaan piroteknik ilegal, hingga nyanyian diskriminatif, menjadi alasan utama di balik penangkapan tersebut. Laporan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan pemerintah Inggris untuk memastikan keamanan dan ketertiban di setiap pertandingan, baik di dalam maupun di luar stadion. Data ini dikumpulkan melalui kerja sama erat antara kepolisian, klub-klub sepak bola, dan otoritas liga, mencerminkan gambaran komprehensif tentang perilaku penggemar di seluruh negeri.
Di posisi teratas daftar ini, Manchester United mencatatkan angka penangkapan tertinggi dengan 121 penggemar. Angka ini secara signifikan melampaui klub-klub lain dalam daftar. Fenomena ini mungkin tidak sepenuhnya mengejutkan bagi banyak pengamat sepak bola. Manchester United dikenal memiliki salah satu basis penggemar terbesar dan paling bersemangat di dunia, dengan kehadiran suporter yang masif baik dalam pertandingan kandang di Old Trafford maupun laga tandang. Gairah yang intens ini, di satu sisi, adalah aset bagi klub, namun di sisi lain, dapat pula menjadi bumerang ketika melewati batas. Berbagai insiden yang melibatkan fans Manchester United pada musim lalu seringkali terkait dengan pertandingan bertekanan tinggi, derby melawan rival sekota atau tim-tim besar lainnya, serta terkadang protes terhadap manajemen atau kepemilikan klub yang berujung pada keributan di luar stadion. Peningkatan ketegangan di antara para penggemar, terutama di tengah hasil yang kurang konsisten di beberapa musim terakhir, disinyalir turut memicu insiden-insiden tersebut. Aparat kepolisian seringkali harus bekerja ekstra keras untuk mengendalikan kerumunan besar, terutama saat tim bertandang ke kota lain, di mana bentrokan dengan suporter lawan lebih rentan terjadi.
Menyusul di posisi kedua adalah Manchester City, dengan 94 penangkapan penggemar. Juara bertahan Liga Inggris ini juga memiliki basis penggemar yang terus berkembang seiring dengan kesuksesan klub dalam beberapa tahun terakhir. Derby Manchester adalah salah satu pertandingan paling panas di kalender sepak bola Inggris, dan tidak jarang insiden kekerasan atau gangguan publik terjadi di sekitar pertandingan tersebut. Selain itu, dengan semakin seringnya Manchester City bermain di kompetisi Eropa, interaksi dengan suporter dari klub-klub asing juga kadang kala memicu gesekan. Peningkatan jumlah penangkapan ini menunjukkan bahwa meskipun kesuksesan di lapangan membawa kegembiraan, ia juga menarik perhatian yang lebih besar, termasuk dari elemen-elemen yang cenderung menimbulkan masalah. Pengelolaan kerumunan di sekitar Etihad Stadium dan saat laga tandang menjadi tantangan tersendiri bagi pihak keamanan.
Di peringkat ketiga, ada West Ham United dengan 77 penangkapan. West Ham secara historis memiliki reputasi penggemar yang sangat loyal dan penuh gairah, namun juga terkadang dikaitkan dengan insiden kekerasan di masa lalu. Meskipun citra klub telah berupaya ditingkatkan, warisan dari "firma" hooliganisme masih kadang-kadang terasa. Pertandingan kandang di London Stadium dan laga tandang di London atau melawan tim-tim tradisional seringkali menjadi titik rawan. Bentrokan kecil dengan suporter lawan, pelemparan benda asing ke lapangan, atau penggunaan suar dan asap berwarna yang dilarang, adalah beberapa jenis pelanggaran yang kerap terjadi. Upaya klub dan kepolisian untuk mengendalikan perilaku ini terus dilakukan, namun tampaknya masih menjadi tantangan yang signifikan.
Posisi keempat ditempati oleh Chelsea, dengan 76 penangkapan. Sebagai salah satu klub raksasa London, Chelsea memiliki basis penggemar yang besar dan vokal. Rivalitas dengan klub-klub London lainnya seperti Tottenham Hotspur dan Arsenal seringkali memanas, baik di dalam maupun di luar lapangan. Insiden yang melibatkan fans Chelsea seringkali terjadi dalam konteks derby London, di mana tensi pertandingan sangat tinggi. Perilaku agresif, konfrontasi dengan stewards atau polisi, dan nyanyian yang tidak pantas menjadi beberapa alasan umum penangkapan. Klub telah berulang kali mengeluarkan pernyataan yang mengutuk tindakan tersebut dan bekerja sama dengan pihak berwenang untuk mengidentifikasi dan menghukum pelaku.
Melengkapi lima besar adalah Aston Villa, dengan 71 penangkapan. Kebangkitan Aston Villa di Liga Inggris dalam beberapa musim terakhir, termasuk partisipasi di kompetisi Eropa, telah membawa kembali gairah yang luar biasa di antara para penggemarnya. Namun, peningkatan popularitas dan eksposur ini juga disertai dengan peningkatan insiden. Derby Midlands melawan Wolverhampton Wanderers atau Birmingham City adalah pertandingan yang sangat emosional dan seringkali menjadi pemicu kerusuhan. Beberapa penangkapan diyakini terkait dengan perayaan yang terlalu bersemangat yang melampaui batas, atau gesekan dengan suporter tim lawan, terutama di pertandingan tandang. Pihak klub dan kepolisian setempat di West Midlands telah meningkatkan pengawasan dan kehadiran di sekitar pertandingan untuk mengantisipasi potensi masalah.
Data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri Britania Raya ini tidak hanya menyajikan angka, tetapi juga memicu perdebatan mengenai akar masalah di balik perilaku penggemar yang meresahkan. Berbagai faktor disinyalir berkontribusi terhadap peningkatan insiden ini. Pertama, intensitas persaingan di Liga Inggris yang semakin tinggi. Setiap pertandingan terasa krusial, baik dalam perburuan gelar, kualifikasi Eropa, maupun perjuangan menghindari degradasi, sehingga meningkatkan tekanan dan emosi di kalangan penggemar. Kedua, konsumsi alkohol berlebihan sebelum dan selama pertandingan seringkali menjadi pemicu utama. Alkohol dapat menurunkan inhibisi dan memicu perilaku agresif yang tidak akan dilakukan dalam keadaan sadar.
Ketiga, faktor sosial dan ekonomi juga berperan. Dalam beberapa kasus, frustrasi yang lebih luas di masyarakat dapat termanifestasi dalam perilaku agresif di lingkungan pertandingan sepak bola, di mana individu mungkin merasa memiliki kebebasan untuk melepaskan emosi. Keempat, pengaruh media sosial. Platform daring dapat menjadi alat yang kuat untuk mengorganisir pertemuan, tetapi juga dapat digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, menghasut kekerasan, dan menggemakan narasi permusuhan antar penggemar, memperburuk ketegangan yang sudah ada. Kelima, meskipun era hooliganisme massal telah berlalu, ada elemen-elemen kecil yang masih berpegang pada budaya kekerasan ini, dan mereka terkadang mencoba untuk memprovokasi insiden.
Konsekuensi dari perilaku penggemar yang rusuh ini sangat luas. Bagi klub, selain citra buruk yang melekat, mereka juga dapat menghadapi denda berat dari otoritas liga atau bahkan sanksi berupa pertandingan tanpa penonton atau pengurangan poin dalam kasus ekstrem. Biaya keamanan yang meningkat juga menjadi beban finansial yang signifikan. Bagi penggemar lain yang ingin menikmati pertandingan dengan aman, insiden kekerasan menciptakan lingkungan yang menakutkan dan tidak ramah, terutama bagi keluarga dan anak-anak. Hal ini dapat merusak pengalaman menonton sepak bola secara keseluruhan dan mengurangi daya tarik olahraga bagi audiens yang lebih luas. Bagi individu yang tertangkap, konsekuensinya bisa sangat berat, termasuk penangkapan, dakwaan pidana, dan larangan masuk stadion (Football Banning Orders) yang dapat berlangsung hingga 10 tahun, menghancurkan kesempatan mereka untuk menonton pertandingan favorit mereka.
Pemerintah Inggris, melalui Kementerian Dalam Negeri dan kepolisian, bersama dengan klub-klub dan otoritas liga, terus berupaya mengatasi masalah ini. Strategi yang diterapkan mencakup peningkatan kehadiran polisi dan stewards di dalam dan sekitar stadion, penggunaan teknologi pengawasan canggih seperti CCTV beresolusi tinggi, serta sistem tiket yang lebih ketat untuk mengidentifikasi individu yang dilarang masuk. Undang-Undang Larangan Sepak Bola (Football Banning Orders Act) adalah alat hukum yang kuat untuk menjauhkan pelaku kekerasan dari pertandingan. Selain itu, klub-klub juga berinvestasi dalam program edukasi penggemar, inisiatif anti-diskriminasi, dan kolaborasi dengan kelompok penggemar resmi untuk mempromosikan perilaku positif dan menekan elemen-elemen bermasalah. Pembatasan penjualan alkohol di beberapa area stadion juga terus dipertimbangkan atau diterapkan untuk mengurangi insiden terkait minuman keras.
Laporan ini menjadi pengingat yang jelas bahwa di balik gemerlapnya Liga Inggris, tantangan terkait perilaku penggemar masih menjadi prioritas. Meskipun gairah adalah inti dari sepak bola, gairah tersebut harus disalurkan secara positif dan tidak boleh berujung pada kekerasan atau gangguan. Kerjasama berkelanjutan antara semua pemangku kepentingan – pemerintah, kepolisian, klub, dan yang terpenting, para penggemar itu sendiri – adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan menyenangkan bagi semua orang yang mencintai olahraga indah ini. Semoga di musim-musim mendatang, angka-angka ini dapat menurun, mencerminkan budaya sepak bola yang lebih matang dan bertanggung jawab di Inggris.
