
Rotasi Bumi, sebuah fenomena fundamental yang menentukan siklus siang dan malam kita, diprediksi akan mengalami percepatan signifikan pada Juli dan Agustus 2025. Peristiwa ini terjadi di tengah tren jangka panjang rotasi Bumi yang justru melambat dari waktu ke waktu, menciptakan sebuah misteri ilmiah yang membingungkan para ahli. Meskipun ada alasan yang jelas untuk percepatan musiman ini, penyebab di balik tren percepatan yang lebih luas dalam beberapa tahun terakhir masih menjadi teka-teki besar bagi komunitas ilmiah.
Secara historis, kecepatan rotasi Bumi telah berubah secara dramatis. Saat ini, planet kita berputar sedikit lebih dari 365 kali pada porosnya dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengorbit Matahari, yang kita kenal sebagai jumlah hari dalam setahun. Namun, bukti geologis yang menakjubkan dari karang purba mengungkapkan gambaran yang sangat berbeda di masa lalu. Dengan meneliti struktur karang yang hidup antara 444 hingga 419 juta tahun yang lalu, para ilmuwan menemukan bahwa Bumi dulunya berputar jauh lebih cepat. Faktanya, ratusan juta tahun yang lalu, Bumi menyelesaikan rotasi penuh sebanyak 420 kali dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi Matahari.
Metode penelitian karang ini cukup inovatif. Setiap hari, karang menghasilkan lapisan kalsium tipis saat mereka tumbuh. Pola pertumbuhan ini bervariasi antara musim kemarau dan musim hujan, menghasilkan "cincin pertumbuhan" harian dan musiman yang serupa dengan cincin pohon. Dengan menganalisis garis endapan kalsium karbonat ini, para ilmuwan dapat menghitung berapa hari yang terjadi dalam setahun di masa lalu. Berdasarkan perhitungan ini, tim peneliti mengonfirmasi bahwa Bumi memiliki 420 hari setahun sekitar 444-419 juta tahun yang lalu, sebelum secara bertahap melambat akibat pengaruh gravitasi Bulan.
Berbagai macam faktor diketahui memengaruhi kecepatan rotasi Bumi. Perubahan distribusi massa di dalam dan di permukaan Bumi, seperti pergeseran permukaan air laut atau dinamika di dalam inti dan mantel Bumi, semuanya dapat memainkan peran. Namun, faktor terbesar yang bertanggung jawab atas perlambatan jangka panjang rotasi Bumi adalah interaksi pasang surut dengan Bulan. Bulan secara bertahap menjauh dari Bumi, sekitar 3,8 sentimeter per tahun. Ketika kedua benda langit ini berinteraksi secara gravitasi, Bulan menciptakan tonjolan pasang surut di lautan Bumi. Rotasi Bumi "menarik" tonjolan ini sedikit di depan garis yang menghubungkan Bumi dan Bulan. Tarikan gravitasi Bulan pada tonjolan ini bertindak sebagai rem, secara bertahap memperlambat rotasi Bumi pada tingkat sekitar 1,8 milidetik per abad. Proses ini juga mentransfer momentum sudut dari Bumi ke Bulan, yang menyebabkan Bulan secara bertahap bergerak menjauh dari planet kita.
Ironisnya, meskipun Bulan adalah penyebab utama perlambatan jangka panjang, ia juga dapat menjadi penyebab variasi percepatan jangka pendek. Hari-hari yang diprediksi menjadi lebih pendek pada Juli dan Agustus 2025 sebagian besar disebabkan oleh posisi Bulan. Ketika Bulan berada pada jarak maksimumnya dari ekuator Bumi (dikenal sebagai deklinasi maksimum), efek pengereman pasang surutnya terhadap Bumi sedikit berkurang, menyebabkan sedikit percepatan rotasi Bumi. Ini adalah fenomena yang dapat diprediksi oleh para astronom dengan cukup akurat.
Namun, tren rotasi Bumi yang lebih cepat dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak tahun 2020, adalah fenomena yang jauh lebih membingungkan dan tidak terduga. Selama bertahun-tahun, kita telah mencatat panjang hari di Bumi dengan presisi luar biasa menggunakan jam atom, yang sangat penting untuk menjaga sistem navigasi global seperti GPS tetap beroperasi dengan akurat. Biasanya, detik kabisat (leap second) sesekali ditambahkan untuk memperhitungkan perlambatan rotasi Bumi, menjaga waktu universal terkoordinasi (UTC) tetap selaras dengan waktu astronomi. Namun, sejak tahun 2020, yang terjadi justru sebaliknya: rotasi Bumi kembali bertambah cepat.
Pada tahun 2020, tercatat 28 hari terpendek sejak tahun 1960. Setiap tahun setelah itu, rekor hari terpendek terus dipecahkan. Hari terpendek yang tercatat sejauh ini, ditetapkan pada tahun 2024, adalah 1,66 milidetik lebih pendek dari hari biasanya yang berdurasi 86.400 detik. Ini adalah tren yang sangat tidak terduga. Sejak tahun 1972, telah ada 27 detik kabisat yang ditambahkan untuk mengkompensasi penurunan laju rotasi Bumi. Namun, sejak tahun 2016, tidak ada satu detik kabisat pun yang diperlukan. International Earth Rotation and Reference Systems Service (IERS), lembaga yang bertanggung jawab untuk memantau rotasi Bumi dan waktu global, telah mengonfirmasi bahwa tidak akan ada detik kabisat yang ditambahkan pada Juni tahun ini.
Situasi ini menimbulkan tantangan signifikan bagi teknologi modern. Penambahan detik kabisat adalah proses yang rumit dan dapat menyebabkan masalah pada sistem komputer yang sangat bergantung pada ketepatan waktu, seperti infrastruktur jaringan, pusat data, dan sistem navigasi satelit. Jika tren percepatan ini terus berlanjut, para ilmuwan bahkan mungkin harus mempertimbangkan untuk memperkenalkan "detik kabisat negatif," yaitu mengurangi satu detik dari waktu universal, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akan menghadirkan tantangan teknis yang lebih besar lagi.
Tidak seorang pun sepenuhnya yakin mengapa tren rotasi Bumi yang lebih lambat tampaknya telah berbalik dalam beberapa tahun terakhir. "Kurangnya kebutuhan akan detik kabisat ini tidak diprediksi. Asumsinya adalah Bumi akan terus melambat dan detik kabisat akan terus dibutuhkan. Jadi, efek ini, hasil ini, sangat mengejutkan," kata Judah Levine, seorang fisikawan di divisi waktu dan frekuensi National Institute of Standards and Technology, kepada Discover Magazine pada tahun 2021. Leonid Zotov, seorang pakar rotasi Bumi di Moscow State University, menambahkan, "Tidak ada yang menduga hal ini. Penyebab percepatan ini tidak dijelaskan."
Mayoritas ilmuwan percaya bahwa penyebab utama percepatan misterius ini terletak di dalam Bumi itu sendiri. "Sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa itu adalah sesuatu di dalam Bumi. Model samudra dan atmosfer tidak dapat menjelaskan percepatan besar ini," imbuh Zotov. Pergerakan cairan di inti luar Bumi, yang sebagian besar terdiri dari besi cair, dapat menghasilkan fluktuasi dalam momentum sudut Bumi. Interaksi antara inti cair dan mantel padat, yang dikenal sebagai kopling inti-mantel, juga dapat memengaruhi kecepatan rotasi. Pergeseran massa akibat konveksi di dalam mantel Bumi juga dapat berperan, meskipun pada skala waktu yang jauh lebih panjang. Perubahan tekanan pada dasar laut dan pergerakan lempeng tektonik juga dapat menyebabkan redistribusi massa yang halus, yang memengaruhi inersia rotasi Bumi.
Selain dinamika internal Bumi, faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi rotasi termasuk pergerakan atmosfer dan lautan. Angin kencang dan arus laut, seperti yang terkait dengan fenomena El Niño atau La Niña, dapat mentransfer momentum sudut antara lapisan cairan Bumi dan bagian padatnya, menyebabkan sedikit perubahan pada kecepatan rotasi. Meskipun demikian, para ilmuwan menegaskan bahwa efek ini terlalu kecil dan bervariasi untuk menjelaskan percepatan yang berkelanjutan dan signifikan yang diamati sejak tahun 2020. Bahkan pelelehan gletser dan lapisan es, yang mendistribusikan massa air dari kutub ke ekuator, diperkirakan akan sedikit memperlambat rotasi Bumi, sehingga semakin memperdalam misteri percepatan saat ini.
Faktor lain yang diketahui memengaruhi rotasi Bumi adalah gempa bumi besar. Gempa bumi dapat mengubah rotasi Bumi dengan mengatur ulang massa Bumi. Dr. Richard Gross dari NASA Jet Propulsion Laboratory menjelaskan fenomena ini dengan analogi pemain seluncur es yang berputar: "Dia menggerakkan lengannya lebih dekat ke tubuhnya, dia menggerakkan massanya lebih dekat ke sumbu tempat dia berputar. Dan gempa bumi melakukan hal yang sama." Ketika gempa bumi terjadi, mereka menyebabkan pergeseran massa yang tiba-tiba di dalam kerak Bumi.
Sebagai contoh, pada Maret 2011, gempa berkekuatan magnitudo 9,0 terjadi di lepas pantai timur Jepang. Gempa ini, yang merupakan gempa terkuat yang pernah tercatat di negara tersebut, tidak hanya menggeser poros Bumi sekitar 17 sentimeter, tetapi juga memperpendek hari-hari di Bumi. Gross menjelaskan, "Gempa bumi ini pasti telah menggerakkan massa rata-rata sedikit lebih dekat ke sumbu rotasi Bumi sehingga membuat Bumi berputar lebih cepat dan panjang hari sedikit lebih pendek." Dengan memodelkan distribusi massa Bumi sebelum gempa dan memperkirakan pergeseran sesar selama gempa, Gross dapat menghitung bagaimana distribusi massa berubah dan, berdasarkan kekekalan momentum sudut, bagaimana rotasi Bumi terpengaruh. Secara keseluruhan, gempa bumi Jepang tersebut mempercepat rotasi Bumi sekitar 1,8 mikrodetik. Sebagai perbandingan, gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004, yang berkekuatan magnitudo 9,1–9,3, memiliki dampak yang lebih besar, mempercepat hari Bumi sekitar 2,68 mikrodetik. Penting untuk dicatat bahwa meskipun gempa bumi besar dapat menyebabkan perubahan rotasi yang tiba-tiba, efeknya bersifat diskrit dan tidak menjelaskan tren percepatan yang berkelanjutan yang diamati sejak tahun 2020.
Percepatan rotasi Bumi memiliki implikasi praktis yang signifikan, terutama untuk teknologi yang bergantung pada pengukuran waktu yang sangat presisi. Sistem navigasi global seperti GPS, yang mengandalkan sinyal waktu yang sangat akurat dari satelit, akan terpengaruh jika waktu astronomi dan waktu atom tidak disinkronkan dengan baik. Para astronom juga membutuhkan data rotasi yang tepat untuk melacak satelit, merencanakan misi luar angkasa, dan melakukan observasi langit yang akurat.
IERS akan terus memantau rotasi Bumi dengan cermat menggunakan berbagai teknik, termasuk interferometri radio jarak jauh dan laser satelit. Data dari International Earth Rotation and Reference Systems Service (IERS) dan United States Naval Observatory akan sangat penting untuk mengonfirmasi seberapa pendek hari-hari di Juli dan Agustus tahun ini, dan apakah Bumi akan mencatat rekor baru hari terpendek. Misteri percepatan rotasi Bumi yang berkelanjutan ini menjadi pengingat akan kompleksitas dan dinamika yang tak terduga dari planet kita, serta pentingnya penelitian ilmiah yang berkelanjutan untuk memahami fenomena alam yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
