
Dunia sedang menyaksikan revolusi Kecerdasan Buatan (AI) yang mengubah berbagai aspek kehidupan, dari cara kita berkomunikasi hingga cara kita bekerja. Chatbot AI canggih seperti ChatGPT dan model Large Language Model (LLM) lainnya kini tidak hanya mampu bercakap-cakap layaknya manusia, menciptakan gambar, menulis kode, bahkan menghasilkan video yang sangat realistis, tetapi juga menunjukkan potensi luar biasa dalam bidang yang sebelumnya hanya ada dalam fiksi ilmiah: mengendalikan satelit dan pesawat antariksa. Sebuah terobosan penelitian terbaru membuka babak baru dalam eksplorasi ruang angkasa, di mana AI bisa menjadi ‘pilot’ atau ‘operator’ utama bagi kendaraan luar angkasa kita.
Ambisi untuk mengembangkan sistem otonom yang dapat mengendalikan navigasi dan operasional satelit serta pesawat antariksa bukanlah hal baru di kalangan peneliti. Sejak lama, para ilmuwan dan insinyur telah memimpikan era di mana misi ruang angkasa tidak lagi sepenuhnya bergantung pada kendali manual manusia. Ada beberapa alasan kuat yang mendasari urgensi pengembangan sistem otonom ini. Pertama, jumlah satelit yang mengorbit Bumi terus meningkat secara eksponensial. Orbit Bumi rendah (LEO) semakin padat dengan ribuan satelit yang beroperasi, mulai dari konstelasi internet seperti Starlink dan OneWeb hingga satelit observasi Bumi dan komunikasi. Mengelola lalu lintas luar angkasa yang padat ini, memantau posisi masing-masing satelit, dan melakukan manuver penghindaran tabrakan secara manual oleh tim di Bumi menjadi semakin tidak praktis dan rawan kesalahan. Sistem otonom dapat memproses data dalam jumlah besar secara real-time dan mengambil keputusan jauh lebih cepat daripada manusia.
Kedua, untuk misi eksplorasi ruang angkasa yang melangkah jauh ke deep space, kendali real-time dari Bumi menjadi mustahil. Keterbatasan kecepatan cahaya berarti sinyal komunikasi dari Bumi ke wahana antariksa di Mars dapat memakan waktu puluhan menit, sementara ke Voyager di ujung tata surya bisa mencapai puluhan jam. Jeda waktu yang signifikan ini membuat kendali langsung dan responsif menjadi tidak mungkin. Dalam skenario darurat atau perubahan kondisi tak terduga, pesawat antariksa harus mampu membuat keputusan sendiri untuk bertahan hidup atau melanjutkan misi. Sistem otonom menawarkan solusi krusial untuk mengatasi tantangan komunikasi ini, memungkinkan wahana antariksa untuk beroperasi secara mandiri, mengambil keputusan adaptif, dan bahkan merencanakan jalur atau tindakan tanpa campur tangan konstan dari Bumi.
Untuk mendorong inovasi dalam bidang ini, komunitas peneliti aeronautika secara rutin mengadakan Kerbal Space Program Differential Game Challenge. Kompetisi ini bukanlah sekadar permainan, melainkan sebuah arena simulasi yang sangat realistis dan kompleks, terinspirasi dari video game populer ‘Kerbal Space Program’ yang dikenal karena fisika orbitalnya yang akurat. Platform ini menyediakan lingkungan yang ideal bagi para peneliti untuk merancang, bereksperimen, dan menguji coba sistem otonom mereka dalam berbagai skenario misi yang menantang, mulai dari manuver orbital sederhana hingga pertemuan kompleks dan penghindaran deteksi. Ini adalah kotak pasir yang aman namun menuntut, di mana kegagalan dalam simulasi tidak berakibat fatal di dunia nyata, namun memberikan pelajaran berharga untuk pengembangan teknologi masa depan.
Dalam sebuah makalah yang akan diterbitkan di Journal of Advances in Space Research, tim peneliti internasional yang terdiri dari para ahli dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Universidad Politécnica de Madrid (UPM) telah mengungkap pendekatan inovatif mereka. Alih-alih mengembangkan algoritma kendali yang kompleks dari awal, mereka beralih ke Large Language Model (LLM) yang tersedia untuk umum, seperti ChatGPT dan Llama. Pilihan ini didasarkan pada premis bahwa LLM, melalui pelatihan ekstensif pada miliaran parameter teks dan kode dari internet, telah mengakumulasi basis pengetahuan yang sangat luas. Pengetahuan ini mencakup logika, penalaran, bahkan pemahaman kontekstual yang dapat diterapkan pada berbagai domain. Dengan demikian, peneliti hanya perlu sedikit ‘mengutak-atik prompt’—yaitu memberikan instruksi dan konteks awal kepada model—dan melakukan sedikit percobaan agar model dapat memahami konteks spesifik kendali pesawat antariksa.
Prosesnya dimulai dengan ‘meminta’ ChatGPT untuk berpikir dan bertindak layaknya seorang agen otonom yang bertugas mengendalikan pesawat antariksa. Ini melibatkan serangkaian instruksi yang cermat, mendefinisikan peran AI, tujuan misi, dan batasan operasional. Langkah kunci berikutnya adalah mengembangkan metode untuk menerjemahkan status pesawat antariksa—seperti posisi orbital, kecepatan, orientasi, konsumsi bahan bakar, dan kondisi lingkungan—serta tujuannya ke dalam bentuk teks yang dapat dipahami oleh LLM. Misalnya, data telemetri numerik dari sensor akan diubah menjadi deskripsi naratif seperti: "Pesawat antariksa berada pada ketinggian 500 km, kecepatan 7.5 km/s, orientasi 30 derajat pitch, dan sedang mendekati target pada jarak 100 km."
Teks ini kemudian diberikan kepada LLM, dan peneliti meminta rekomendasi tentang cara mengubah orientasi dan manuver pesawat antariksa untuk mencapai tujuannya. LLM akan memproses informasi ini, membandingkannya dengan pengetahuannya yang luas tentang fisika, navigasi, dan strategi, lalu menghasilkan output dalam bentuk teks. Misalnya, respons LLM mungkin berupa: "Untuk mencegat target, putar pesawat antariksa 15 derajat ke arah yaw dan nyalakan pendorong selama 5 detik." Bagian yang paling cerdas dari pendekatan ini adalah bagaimana output tekstual LLM kemudian diubah kembali menjadi kode atau perintah numerik yang dapat dieksekusi oleh kendaraan simulasi. Proses penerjemahan dua arah ini, dari data numerik ke teks dan kembali lagi, menjadi jembatan yang memungkinkan LLM ‘berbicara’ dengan sistem kendali pesawat antariksa.
Hasilnya sangat mengesankan. Hanya dengan prompt sederhana dan sedikit penyempurnaan (fine-tuning) pada model, peneliti berhasil menuntun ChatGPT untuk menyelesaikan sejumlah tes yang sangat menantang dalam kompetisi Kerbal Space Program Differential Game Challenge. Hebatnya, model AI ini berhasil menduduki peringkat kedua dalam kompetisi tersebut. Tantangan yang berhasil diselesaikan mencakup berbagai skenario kompleks, seperti misi untuk mengejar dan mencegat satelit lain di orbit—yang membutuhkan perhitungan jalur dan manuver yang presisi—serta misi untuk menghindari deteksi dari ‘musuh’ yang mensimulasikan sistem pelacakan, membutuhkan manuver penyembunyian dan elakan yang cerdik.
Pencapaian ini menjadi lebih luar biasa jika mempertimbangkan bahwa semua eksperimen ini dilakukan sebelum model GPT-4 diluncurkan ke publik. GPT-4, penerus dari model yang digunakan dalam penelitian ini, memiliki kemampuan penalaran, pemahaman, dan konsistensi yang jauh lebih unggul, serta cenderung menghasilkan ‘halusinasi’ yang lebih sedikit. Ini menyiratkan bahwa potensi LLM yang lebih baru dan lebih canggih untuk mengendalikan pesawat antariksa mungkin jauh lebih besar dari yang terlihat dalam penelitian awal ini. Dengan kemampuan yang terus berkembang, AI bisa menjadi tulang punggung operasi ruang angkasa di masa depan.
Namun, seiring dengan potensi revolusioner ini, muncul pula tantangan signifikan, terutama terkait fenomena ‘halusinasi’ pada AI. Dalam konteks sistem kritis seperti pesawat antariksa, ‘halusinasi’—yaitu kecenderungan model AI untuk menghasilkan informasi yang salah, tidak relevan, atau tidak akurat berdasarkan pola data yang dipelajarinya—bisa berakibat fatal. Bayangkan sebuah satelit menerima perintah yang salah karena AI ‘berhalusinasi’ data sensor, atau sebuah pesawat antariksa deep space melakukan manuver yang tidak perlu, bahkan membahayakan, karena interpretasi keliru terhadap kondisi lingkungan atau tujuan misi. Risiko ini menuntut penelitian yang sangat cermat dan pengembangan protokol keamanan yang ketat sebelum teknologi ini dapat diterapkan sepenuhnya di luar angkasa.
Selain masalah halusinasi, ada pula kekhawatiran tentang keandalan, robusta (ketahanan terhadap gangguan), dan kemampuan AI untuk menjelaskan keputusannya (explainable AI/XAI). Dalam misi yang bernilai miliaran dolar dan terkadang melibatkan nyawa manusia (misalnya, untuk misi berawak masa depan), setiap keputusan yang dibuat oleh AI harus dapat diaudit dan dipahami oleh operator manusia. Pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kegagalan akibat keputusan AI juga menjadi perdebatan etis dan hukum yang kompleks. Keamanan siber juga menjadi perhatian utama; sistem AI yang mengendalikan aset ruang angkasa yang vital dapat menjadi target serangan siber, dan konsekuensinya bisa sangat merusak.
Meskipun demikian, penelitian ini membuka pintu menuju masa depan di mana AI dan manusia bekerja sama secara lebih erat dalam eksplorasi ruang angkasa. AI dapat mengelola tugas-tugas rutin, mengoptimalkan jalur, dan merespons situasi tak terduga dengan kecepatan dan efisiensi yang tak tertandingi. Ini akan membebaskan insinyur dan astronot untuk fokus pada penelitian yang lebih kompleks, pengambilan keputusan strategis, dan inovasi. Penerapan LLM dalam kendali pesawat antariksa bisa menjadi langkah awal menuju otonomi penuh, di mana wahana antariksa dapat menjelajahi galaksi, menambang asteroid, atau membangun infrastruktur orbital tanpa intervensi manusia yang berkelanjutan.
Masa depan eksplorasi ruang angkasa kemungkinan besar akan melibatkan perpaduan antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan. AI akan bertindak sebagai asisten cerdas, navigator otomatis, dan bahkan pembuat keputusan otonom di garis depan, sementara manusia akan tetap menjadi pengawas tertinggi, perencana strategis, dan sumber kreativitas dan empati yang tak tergantikan. Penelitian seperti yang dilakukan oleh tim MIT dan UPM ini tidak hanya membuktikan kemampuan teknis AI, tetapi juga mendorong batas-batas imajinasi kita tentang apa yang mungkin dicapai di luar sana. Dengan penelitian lebih lanjut, pengujian yang ketat, dan pengembangan kerangka kerja etis dan keamanan yang kuat, era di mana AI menjadi pilot kita di alam semesta mungkin tidak lagi sekadar impian, melainkan kenyataan yang semakin dekat.
