Regulasi Tertinggal: Telekomunikasi Nasional Berdarah, OTT Global Kuasai Kue Ekonomi Digital Tanpa Kontribusi

Regulasi Tertinggal: Telekomunikasi Nasional Berdarah, OTT Global Kuasai Kue Ekonomi Digital Tanpa Kontribusi

Industri telekomunikasi nasional menghadapi krisis mendalam, terperangkap di antara regulasi yang belum berpihak dan dominasi platform over-the-top (OTT) global yang meraup keuntungan besar tanpa kontribusi setara terhadap infrastruktur. Perusahaan telekomunikasi dalam negeri, yang menginvestasikan triliunan rupiah untuk membangun dan memelihara jaringan internet, kini berdarah-darah di tengah biaya regulasi yang mencekik dan model bisnis yang timpang. Di sisi lain, raksasa digital seperti Google, Facebook, Netflix, WhatsApp, Instagram, YouTube, hingga TikTok menikmati ‘kue’ ekonomi digital Indonesia, memanfaatkan infrastruktur yang dibangun operator lokal tanpa menanggung beban yang sepadan.

Muhammad Danny Buldansyah, Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison, pada Rabu (9/7/2025), secara terang-terangan mengungkapkan keprihatinannya. Menurutnya, regulasi mengenai OTT di Indonesia sangat longgar, bahkan bisa dibilang tidak ada, yang menyebabkan operator telekomunikasi lokal tidak memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan ekosistem. Kondisi ini diperparah oleh tingginya biaya regulasi atau regulatory charges dalam industri telekomunikasi, yang berkisar antara 12% hingga 24% dari pendapatan kotor. Beban ini menjadi sangat memberatkan dan tidak sejalan dengan pertumbuhan perusahaan, terutama ketika permintaan akan trafik data terus melonjak pesat, didorong oleh aktivitas masif di platform-platform OTT global.

Setiap kali pengguna menonton video berkualitas tinggi di YouTube, mengirim pesan tak terbatas di WhatsApp, atau menjelajahi linimasa di Instagram dan TikTok, lonjakan trafik data yang signifikan terjadi. Operator telekomunikasi terpaksa terus-menerus melakukan pembangunan dan peningkatan infrastruktur, mulai dari ekspansi jaringan serat optik, pembangunan menara base transceiver station (BTS), hingga peningkatan kapasitas pusat data, demi menjaga kualitas layanan dan memenuhi ekspektasi pengguna. Ironisnya, platform digital global yang menjadi pemicu utama lonjakan trafik ini tidak memberikan kontribusi finansial yang adil terhadap pembangunan dan pemeliharaan jaringan oleh operator telekomunikasi dalam negeri. Mereka menikmati keuntungan dari penggunaan infrastruktur yang mahal ini secara gratis, menciptakan ketidakseimbangan ekonomi yang merugikan industri lokal.

Danny Buldansyah menekankan bahwa Indonesia harus berkaca pada regulasi yang diterapkan oleh pemerintah di negara lain seperti Tiongkok, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang berhasil mengatasi persoalan dominasi layanan OTT global. Sebagai contoh, di Arab Saudi, penggunaan aplikasi seperti WhatsApp untuk panggilan suara atau video seringkali dibatasi atau tidak bisa digunakan melalui jaringan lokal, meskipun bisa berfungsi saat menggunakan layanan roaming internasional. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengendalikan platform OTT demi kepentingan nasional. "Contohnya banyak [mengendalikan platform OTT] tinggal kita mau niru yang mana," tegas Danny, menyiratkan bahwa pilihan ada di tangan pembuat kebijakan di Indonesia.

Ketidakseimbangan ini bukan hanya masalah ekonomi semata, melainkan juga menyentuh aspek keamanan dan kedaulatan nasional. Dewan Pengawas Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Agung Harsoyo, menyoroti pentingnya pengaturan kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi. Maraknya penipuan melalui layanan OTT, seperti penggunaan WhatsApp untuk pengiriman kode OTP (One-Time Password) yang disalahgunakan, menjadi bukti nyata kerentanan ini. Lebih lanjut, penyimpanan data pengguna OTT global di luar negeri menimbulkan kekhawatiran serius terkait privasi data, potensi penyalahgunaan, dan kemampuan pemerintah Indonesia untuk mengakses data tersebut jika diperlukan untuk penegakan hukum atau kepentingan nasional. Ketiadaan regulasi yang mampu mengatur kewajiban platform global ini secara adil di Indonesia memperburuk situasi.

Sebenarnya, Indonesia telah memiliki kerangka pengaturan mengenai kerja sama antara OTT dan penyelenggara telekomunikasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, serta Peraturan Menteri Kominfo (PM) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Namun, regulasi tersebut tidak bersifat imperatif atau tidak mengikat. Artinya, kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi hanya bersifat sukarela, bukan sebuah kewajiban hukum.

Agung Harsoyo menjelaskan bahwa pada awal penyusunan regulasi tersebut, pemerintah sempat mencanangkan kewajiban kerja sama antara OTT dan operator sebagai kewajiban hukum. Namun, rencana ini terhambat oleh perbedaan pandangan yang tajam antara pihak yang pro-investasi asing dan pihak yang pro-kedaulatan nasional. Pihak pro-investasi berpendapat bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat masuknya investasi dan inovasi dari perusahaan teknologi global, yang pada akhirnya dapat merugikan ekosistem digital secara keseluruhan. Sementara itu, pihak pro-kedaulatan menekankan pentingnya perlindungan kepentingan nasional, termasuk keamanan data, kontribusi ekonomi yang adil, dan kontrol atas infrastruktur vital. Pada akhirnya, pemerintah memilih pendekatan pro-investasi, yang mengakibatkan kerja sama antara OTT dan operator tidak lagi diwajibkan dalam PP 46/2021 dan PM Kominfo 5/2021.

Keputusan ini, meskipun bertujuan menarik investasi, justru menciptakan celah regulasi yang dimanfaatkan oleh platform global. Mereka dapat beroperasi dengan bebas di Indonesia, memanfaatkan basis pengguna yang besar dan infrastruktur telekomunikasi yang telah dibangun dengan biaya mahal oleh operator lokal, tanpa kewajiban kontribusi balik yang signifikan. Akibatnya, operator telekomunikasi harus menanggung beban ganda: investasi besar dalam infrastruktur dan biaya regulasi yang tinggi, sementara keuntungan digital justru mengalir ke luar negeri. Ini menimbulkan economic leakage atau kebocoran ekonomi yang substansial, di mana nilai ekonomi yang dihasilkan di Indonesia tidak sepenuhnya kembali ke perekonomian nasional. Potensi pendapatan pajak dari layanan digital yang sangat besar pun luput dari jangkauan negara, melemahkan kemampuan pemerintah untuk berinvestasi lebih lanjut dalam infrastruktur atau layanan publik.

Dalam situasi yang kritis ini, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah yang berani dan progresif untuk memperkuat posisi nasional dalam ekosistem digital. Menurut Agung Harsoyo, hal ini dapat dimulai dengan memperkuat regulasi agar bersifat imperatif dan mewajibkan kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi. Kewajiban ini harus memastikan bahwa penggunaan infrastruktur nasional oleh OTT global diimbangi dengan kontribusi nyata, baik dalam bentuk biaya penggunaan jaringan (konsep ‘fair share’), investasi bersama dalam infrastruktur, atau bentuk kompensasi lainnya.

Lebih jauh lagi, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan pajak layanan digital (Digital Services Tax/DST) terhadap platform OTT global yang meraup pendapatan signifikan dari pengguna di Indonesia. Negara-negara seperti Prancis, Inggris, dan India telah menerapkan kebijakan serupa untuk memastikan perusahaan teknologi asing membayar pajak yang adil di yurisdiksi tempat mereka menghasilkan keuntungan. Selain itu, regulasi mengenai lokalisasi data (data localization) perlu diperkuat, mewajibkan penyimpanan data pengguna Indonesia di dalam negeri untuk tujuan keamanan dan kedaulatan data.

Langkah-langkah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat inovasi atau investasi, melainkan untuk menciptakan lingkungan persaingan yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak. Dengan regulasi yang kuat dan seimbang, Indonesia dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi digital benar-benar memberikan manfaat optimal bagi negara dan masyarakatnya, bukan hanya bagi segelintir perusahaan global. Ini adalah panggilan untuk mewujudkan kedaulatan digital yang sejati, di mana infrastruktur nasional dihargai, data warga negara dilindungi, dan kontribusi terhadap ekonomi digital didistribusikan secara adil. Masa depan industri telekomunikasi nasional dan keberlanjutan ekonomi digital Indonesia sangat bergantung pada keberanian pemerintah untuk bertindak sekarang.

Regulasi Tertinggal: Telekomunikasi Nasional Berdarah, OTT Global Kuasai Kue Ekonomi Digital Tanpa Kontribusi

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *