
East Rutherford – Musim 2024/2025 akan selalu dikenang dalam sejarah Paris Saint-Germain sebagai salah satu periode paling gemilang, jika bukan yang paling spektakuler. Di bawah arahan dingin dan brilian Luis Enrique, Les Parisiens telah mengukir prestasi yang nyaris sempurna, merebut empat gelar domestik dan Eropa, dan kini berdiri di ambang pencapaian yang lebih langka lagi: quintuple. Namun, di tengah euforia dan hujan pujian yang tak henti-hentinya, sang pelatih, Luis Enrique, justru memilih untuk menyuarakan nada peringatan, mengingatkan timnya tentang sifat sepak bola yang tak kenal ampun, bahkan bagi tim-tim terkuat sekalipun, dengan mengambil contoh pahit dari Manchester City.
Perjalanan PSG di sepanjang 2024/2025 memang merupakan sebuah mahakarya taktik dan mentalitas. Dimulai dengan trofi Piala Super Prancis, atau Trophée des Champions, yang berhasil mereka rebut di awal musim dengan mengalahkan Olympique Lyon 3-0, sebuah pernyataan awal tentang dominasi yang akan mereka tunjukkan. Gelar ini menjadi fondasi bagi kepercayaan diri tim dan menegaskan adaptasi cepat para pemain baru di bawah sistem Enrique. Mereka tidak terbendung di Liga Prancis, mengunci gelar juara Ligue 1 beberapa pekan sebelum musim berakhir dengan selisih poin yang mencolok dari pesaing terdekat mereka, Marseille dan Monaco. Kemenangan demi kemenangan di liga, seringkali dengan skor meyakinkan, menunjukkan konsistensi yang luar biasa dan kedalaman skuad yang mumpuni, meskipun tanpa kehadiran bintang terbesar mereka sebelumnya.
Tidak hanya di liga, dominasi PSG juga meluas ke kancah domestik lainnya. Coupe de France berhasil mereka raih setelah menundukkan rival bebuyutan mereka, Olympique Marseille, dalam final yang menegangkan dengan skor tipis 2-1. Pertandingan tersebut menunjukkan ketahanan mental dan kemampuan tim untuk tampil di bawah tekanan, dengan gol penentu tercipta di menit-menit akhir. Namun, puncak dari kegemilangan mereka datang di Liga Champions. Setelah bertahun-tahun merindukan trofi Si Kuping Besar, PSG akhirnya berhasil memecahkan kutukan tersebut. Perjalanan mereka di Liga Champions musim ini adalah kisah epik, melewati grup neraka, menyingkirkan raksasa-raksasa Eropa seperti Bayern Munich di perempat final dan Real Madrid di semifinal, sebelum akhirnya menundukkan Inter Milan di partai final yang berlangsung sengit di Wembley dengan skor 3-2. Kemenangan ini bukan hanya sekadar trofi, melainkan pemenuhan impian puluhan tahun bagi klub dan para suporter, sekaligus validasi atas proyek ambisius mereka.
Dengan empat gelar sudah di tangan, ambisi PSG kini tertuju pada quintuple. Mereka akan bertarung melawan wakil Inggris, Chelsea, dalam perebutan trofi Piala Dunia Antarklub 2025. Pertandingan final yang sangat dinanti-nantikan ini dijadwalkan berlangsung pada Senin (14/7) dinihari WIB di East Rutherford, Amerika Serikat, yang menjadi tuan rumah turnamen dengan format baru yang lebih besar. PSG sendiri berhasil mencapai final setelah melewati babak semifinal yang sulit melawan tim kuat dari Amerika Selatan, Palmeiras, dengan kemenangan tipis 1-0. Potensi meraih gelar kelima dalam satu musim kompetisi adalah pencapaian yang sangat langka dan akan menempatkan PSG di jajaran klub elite dunia yang pernah mencapainya, menegaskan status mereka sebagai kekuatan dominan di sepak bola global.
Namun, di tengah sorotan dan kegemilangan ini, Luis Enrique tetap berpegang teguh pada prinsipnya tentang kerendahan hati dan kewaspadaan. Ia menegaskan bahwa PSG dilarang terlena dengan kesuksesan yang telah mereka raih, mengingat iklim sepak bola yang naik-turun dan sangat kompetitif. Enrique secara spesifik menyinggung Manchester City, yang, menurutnya, mengalami kemerosotan drastis di musim 2023/2024 setelah mengukir sejarah sebagai peraih treble winner (Liga Primer, Piala FA, Liga Champions) di musim 2022/2023.
"Kita kan sudah melihat Manchester City, sebagai contoh. Mereka memenangi semuanya di musim lalu lho, dan kemudian mereka kalah di 10 pertandingan dan mereka hancur," kata Enrique, dikutip Reuters. "Pep Guardiola tetaplah pelatih terbaik di dunia dan mereka menghabisi dia. Jadi saya lebih suka dikritik daripada dipuja-pujia karena itu membuat Anda merasa rendah hati, itulah realitas kasarnya."
Pernyataan Enrique tentang Manchester City ini menjadi poin penting yang patut digarisbawahi. Meskipun City di dunia nyata tidak mengalami kemerosotan sehebat itu di musim setelah treble, Enrique menggunakannya sebagai analogi hipotetis yang kuat untuk memperingatkan timnya. Dalam skenario yang digambarkan Enrique, setelah meraih kesuksesan luar biasa di musim 2022/2023 yang membuat mereka dianggap tak terkalahkan, musim 2023/2024 bagi The Citizens berubah menjadi mimpi buruk. Mereka gagal mempertahankan gelar Liga Primer, tergelincir ke posisi empat di klasemen akhir, jauh di belakang tim juara. Di Liga Champions, mereka tersingkir secara mengejutkan di perempat final oleh tim yang secara kualitas dianggap di bawah mereka. Di kompetisi domestik lainnya, seperti Piala FA dan Piala Liga, mereka juga mengalami eliminasi dini, seringkali di tangan tim-tim yang tidak diunggulkan. Kekalahan beruntun yang mencapai dua digit, termasuk beberapa kekalahan telak dari tim papan tengah, membuat kepercayaan diri tim anjlok.
Para pundit dan media, yang sebelumnya memuja Guardiola dan pasukannya, tiba-tiba berbalik arah. Kritik pedas menghujani performa tim dan keputusan taktik Guardiola. Desakan untuk pemecatan sang manajer, yang sebelumnya dianggap jenius, mulai bermunculan di kalangan suporter dan beberapa media. Meskipun pada akhirnya Guardiola tetap bertahan, periode tersebut menjadi pengingat brutal bahwa tidak ada tim yang kebal terhadap kemunduran, betapapun dominan mereka sebelumnya. Enrique menggunakan contoh ekstrem ini untuk menanamkan pemahaman pada para pemain PSG bahwa kesuksesan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipertahankan setiap hari, bukan sesuatu yang datang secara permanen.
Hujan pujian memang tak henti-hentinya diarahkan kepada Luis Enrique sendiri. Mantan pembesut AS Roma, Barcelona, dan Timnas Spanyol ini dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas melesatnya prestasi PSG musim ini. Kedatangannya di Paris musim panas lalu disambut dengan keraguan oleh sebagian pihak, terutama setelah kepergian Kylian Mbappe yang sangat memengaruhi kekuatan lini serang tim. Banyak yang memprediksi bahwa PSG akan kesulitan, kehilangan identitas, atau bahkan mengalami penurunan performa signifikan tanpa megabintang asal Prancis itu. Namun, Enrique justru membuktikan sebaliknya.
Ia tak limbung setelah Kylian Mbappe meninggalkan Paris di musim panas tahun lalu untuk bergabung dengan Real Madrid. Kepergian Mbappe, yang sebelumnya menjadi poros serangan dan pencetak gol utama, justru menjadi katalis bagi Enrique untuk membentuk kembali identitas tim. PSG menjelma sebagai monster tanpa pemain-pemain superstar yang menjadi pusat gravitasi. Enrique berhasil menggeser fokus dari individu ke kolektif, menekankan kerja sama tim, disiplin taktik, dan intensitas tinggi di setiap pertandingan. Ia memberdayakan pemain-pemain yang sebelumnya mungkin berada di bawah bayang-bayang Mbappe, seperti Achraf Hakimi, Vitinha, Warren Zaïre-Emery, dan Randal Kolo Muani, untuk mengambil peran lebih sentral. Hasilnya, PSG menampilkan gaya bermain yang lebih cair, tidak terduga, dan sulit dihentikan, dengan gol-gol yang bisa datang dari berbagai sumber. Filosofi "tim adalah bintangnya" benar-benar diterapkan di bawah kepemimpinannya.
Meskipun banyak yang memujinya sebagai dalang di balik transformasi ini, Luis Enrique tetap rendah hati. "Saya bukan bintang… Saya suka pekerjaan saya. Saya menikmati karier saya, terutama di masa-masa sulit. Ketika segala sesuatunya tidak berjalan baik, saya merasa lebih baik. Senang rasanya ketika semuanya berjalan lancar karena hal terbaik dari kemenangan adalah membahagiakan orang-orang yang mengikuti kita. Saya jauh lebih baik ketika dikritik daripada ketika dipuji," dia menambahkan.
Pernyataan ini mencerminkan karakter Enrique yang unik. Ia adalah pelatih yang tidak mencari sorotan, melainkan fokus pada proses dan peningkatan berkelanjutan. Baginya, kritik adalah bahan bakar untuk introspeksi dan perbaikan, sementara pujian bisa menjadi racun yang melenakan. Filosofi ini tampaknya telah meresap ke dalam skuad PSG, membuat mereka tetap lapar dan termotivasi bahkan setelah meraih begitu banyak kesuksesan. Mereka tidak lagi bergantung pada kejeniusan individu semata, melainkan pada kekuatan kolektif yang solid dan terorganisir.
Kini, dengan trofi Piala Dunia Antarklub di depan mata, PSG memiliki kesempatan untuk mengukir sejarah yang tak tertandingi. Namun, seperti yang diperingatkan oleh Enrique, tantangan terbesar mungkin bukan lagi lawan di lapangan, melainkan menjaga mentalitas dan fokus di tengah gemerlap kesuksesan. Pertandingan melawan Chelsea akan menjadi ujian terakhir dari musim yang luar biasa ini, dan jika PSG berhasil meraih quintuple, itu akan menjadi penutup yang sempurna bagi musim yang mendefinisikan ulang era baru di Parc des Princes, sebuah era yang dibangun di atas fondasi kerendahan hati, kerja keras, dan visi kolektif di bawah arahan seorang pelatih yang lebih suka kritik daripada pujian. Realitas keras sepak bola, seperti yang dicontohkan Enrique dengan Manchester City, akan selalu menjadi pengingat bahwa di puncak sekalipun, satu-satunya jalan untuk bertahan adalah dengan terus melangkah maju dengan kerendahan hati dan dedikasi yang tak tergoyahkan.
