Beras Oplosan Marak, Pimpinan DPR Mendesak Penghentian Segera Demi Keadilan Konsumen

Beras Oplosan Marak, Pimpinan DPR Mendesak Penghentian Segera Demi Keadilan Konsumen

Beras Oplosan Marak, Pimpinan DPR Mendesak Penghentian Segera Demi Keadilan Konsumen

Praktik pengoplosan beras yang merugikan masyarakat luas kembali mencuat, memicu kekesalan publik dan desakan keras dari kalangan legislatif. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Cucun Ahmad Syamsurijal, dengan tegas meminta aparat penegak hukum (APH) untuk bertindak sigap dan menindak tegas para pelaku yang memalsukan atau mengoplos beras, terutama yang dikemas seolah-olah bernilai premium. Fenomena ini, yang kian meresahkan, dianggap Cucun sebagai tindakan yang tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap kualitas pangan yang beredar di pasar.

"Hal-hal kayak gini ini kan harus sudah dihentikan. Nanti biarkan APH yang akan turun," ujar Cucun di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada Minggu (13/7/2025), menunjukkan urgensi penanganan kasus ini. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut menyoroti bahwa tindakan pengoplosan ini memiliki dampak kerugian yang sangat luas, menyentuh jutaan konsumen di seluruh Indonesia. Keberanian para pelaku untuk memalsukan kualitas beras, komoditas pokok yang sangat esensial bagi masyarakat, adalah sebuah bentuk penipuan yang tidak bisa ditoleransi.

Cucun lantas menarik perbandingan dengan kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, di mana salah satu modusnya melibatkan praktik blending untuk mengubah bahan bakar minyak Pertalite menjadi Pertamax. Analogi ini digunakan untuk menekankan bahwa modus penipuan melalui manipulasi kualitas produk, baik itu bahan bakar maupun pangan, harus ditangani dengan pendekatan hukum yang serupa. "Kan sekarang juga terkait Pertamina kemarin Patra Niaga seperti melakukan itu (dibawa ke ranah hukum), kita berharap kalau misalkan laporan-laporan di bawah, ini sudah hal yang merugikan orang banyak, biarkan nanti aparat penegak hukum," katanya, menegaskan harapan agar kasus beras oplosan ini juga dibawa ke ranah hukum dan ditangani secara serius.

Lebih lanjut, Cucun menyatakan komitmen DPR untuk mengawal isu ini. "Dan kita juga akan dorong nanti dari Komisi III, kalau memang itu kejadiannya sangat masif di beberapa daerah untuk memeriksa," imbuhnya, menunjukkan kesiapan parlemen untuk melakukan pengawasan jika skala masalah ini terbukti sangat besar dan meluas di berbagai wilayah. Ia juga berharap Satuan Tugas Pangan (Satgas Pangan) dapat lebih gencar dalam menertibkan praktik-praktik pengoplosan semacam ini, mengingat peran strategis Satgas dalam menjaga stabilitas dan keamanan pangan nasional.

Keresahan terkait beras oplosan ini semakin mengemuka setelah Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan hasil temuan mengejutkan. Beras oplosan, menurut Amran, tidak hanya beredar di pasar tradisional, tetapi juga telah merambah rak-rak supermarket dan minimarket, dikemas sedemikian rupa seolah-olah sebagai beras premium, namun dengan kualitas dan kuantitas yang menipu. Temuan ini adalah hasil investigasi mendalam yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan. Investigasi tersebut berhasil mengidentifikasi bahwa sebanyak 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Discrepansi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari berat kemasan yang tidak sesuai, komposisi beras yang tidak jujur, hingga label mutu yang menyesatkan.

Mentan Amran memberikan contoh konkret dari modus penipuan ini. "Contoh ada volume yang mengatakan 5 kilogram padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa," jelas Amran dalam video yang diterima Kompas.com, dikutip Sabtu (12/7/2025). Praktik kecurangan semacam ini, meskipun terlihat sepele dalam skala per individu, jika dikalikan dengan volume konsumsi beras nasional, menghasilkan kerugian finansial yang sangat fantastis. "Artinya apa? Satu kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram," tambahnya.

Jika dihitung secara kumulatif, dampak kerugian akibat beras oplosan ini mencapai angka yang mencengangkan. Amran memperkirakan kerugian total bagi masyarakat Indonesia akibat praktik ini mencapai kurang lebih Rp 99 triliun setiap tahun. "Ini kan merugikan masyarakat Indonesia, itu kurang lebih Rp 99 triliun, hampir Rp 100 triliun kira-kira, karena ini terjadi setiap tahun. Katakanlah 10 tahun atau 5 tahun, kalau 10 tahun kan Rp 1.000 triliun, kalau 5 tahun kan Rp 500 triliun, ini kerugian," papar Amran, menggambarkan betapa masifnya dampak ekonomi dari kecurangan ini dalam jangka panjang. Angka ini setara dengan ratusan triliun rupiah yang seharusnya menjadi penghematan bagi rumah tangga atau dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain, namun justru hilang karena praktik penipuan.

Beras oplosan adalah istilah yang merujuk pada beras yang telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menipu konsumen. Modus yang paling umum adalah mencampur beras berkualitas rendah dengan beras berkualitas tinggi, atau mencampur beras lama dengan beras baru. Ada juga praktik mengurangi berat kemasan tanpa mengubah label, atau bahkan menambahkan bahan lain yang tidak seharusnya ada untuk menambah bobot atau memberikan kesan tertentu. Tujuan utama dari praktik ini adalah untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak sah dengan menjual produk berkualitas rendah dengan harga premium. Ini adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dampak dari beras oplosan jauh melampaui kerugian finansial semata. Bagi konsumen, hal ini berarti mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan ekspektasi dan harga yang dibayar. Kualitas gizi yang mungkin menurun, rasa yang tidak enak, hingga potensi risiko kesehatan jika ada penambahan zat-zat yang tidak aman, menjadi ancaman nyata. Dari sisi ekonomi makro, praktik ini mendistorsi harga pasar beras, merugikan petani dan pedagang jujur yang memproduksi dan menjual beras sesuai standar. Pasar menjadi tidak sehat karena adanya persaingan tidak adil, yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas pasokan dan harga beras secara nasional. Kepercayaan publik terhadap produk pangan lokal juga dapat terkikis, yang berpotensi mendorong ketergantungan pada produk impor.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka hukum dan lembaga pengawasan untuk mencegah praktik semacam ini. Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Satgas Pangan, Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan dan kualitas pangan. Namun, maraknya kasus beras oplosan menunjukkan bahwa ada celah dalam pengawasan, penegakan hukum, atau bahkan sanksi yang belum memberikan efek jera yang cukup. Kurangnya pengawasan di hulu hingga hilir, serta kemungkinan adanya sindikat yang terorganisir, menjadi tantangan besar bagi otoritas.

Untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif, diperlukan upaya kolaboratif dan terintegrasi dari berbagai pihak. Pertama, APH harus melakukan investigasi menyeluruh dan menindak tegas para pelaku dengan sanksi yang berat, termasuk pembekuan izin usaha dan penyitaan aset, untuk menciptakan efek jera. Kedua, Satgas Pangan perlu mengintensifkan inspeksi mendadak (sidak) di seluruh rantai pasok, mulai dari penggilingan, distributor, hingga ritel modern dan tradisional. Ketiga, Kementerian Pertanian dan Bapanas harus memperkuat sistem pengawasan mutu dan standar beras, mungkin dengan implementasi sistem sertifikasi yang lebih ketat dan transparan.

Selain itu, edukasi publik juga sangat krusial. Konsumen perlu diberdayakan dengan pengetahuan tentang cara mengidentifikasi beras oplosan, pentingnya membaca label dengan cermat, dan saluran pengaduan yang efektif jika menemukan praktik curang. Peran media massa dalam menyebarluaskan informasi ini juga sangat penting. Retailer, baik supermarket maupun minimarket, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa produk yang mereka jual berasal dari pemasok terpercaya dan memenuhi standar kualitas. Mereka harus melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap setiap pemasok beras dan tidak ragu untuk menarik produk yang terbukti bermasalah.

Penerapan teknologi, seperti sistem blockchain untuk ketertelusuran (traceability) beras dari petani hingga konsumen, dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok. Dengan sistem ini, setiap tahapan produksi dan distribusi beras dapat dipantau, sehingga meminimalkan peluang terjadinya manipulasi. Laboratorium pengujian mutu beras juga perlu diperkuat kapasitas dan jangkauannya, agar pengujian dapat dilakukan secara lebih cepat dan akurat.

Kasus beras oplosan ini adalah peringatan serius bagi kita semua. Ini bukan hanya tentang kecurangan dalam berdagang, tetapi juga tentang integritas sistem pangan nasional dan perlindungan hak-hak dasar konsumen. Desakan dari pimpinan DPR dan temuan dari Kementerian Pertanian harus menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk bersatu padu memberantas praktik-praktik curang ini. Hanya dengan komitmen kuat, penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, dan partisipasi aktif dari masyarakat, kita dapat mewujudkan pasar beras yang adil, transparan, dan menyediakan pangan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengakhiri praktik penipuan ini adalah langkah esensial untuk menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Beras Oplosan Marak, Pimpinan DPR Mendesak Penghentian Segera Demi Keadilan Konsumen

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *