
Semester II-2025 Masih Penuh Risiko, Bank Kecil Kompak Bilang Gini
Perbankan di Indonesia, khususnya bank-bank yang tergolong dalam Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) I atau bank kecil, secara kompak menerapkan strategi yang sangat konservatif dalam mengejar target pertumbuhan bisnis mereka memasuki semester kedua tahun 2025. Sikap kehati-hatian ini muncul di tengah proyeksi ekonomi yang masih diliputi ketidakpastian global maupun domestik, yang berpotensi menghadirkan berbagai tantangan signifikan bagi sektor keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah mengonfirmasi adanya sejumlah bank yang telah melakukan revisi ke bawah pada target pertumbuhan yang tercantum dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) mereka.
Penyesuaian target ini bukan tanpa alasan. Data menunjukkan adanya tren perlambatan laju pertumbuhan kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) di industri perbankan hingga Mei 2025. Bersamaan dengan itu, tekanan terhadap Net Interest Margin (NIM) atau margin bunga bersih, yang merupakan salah satu indikator profitabilitas utama bank, juga semakin terasa. Kondisi ini memaksa perbankan untuk lebih realistis dalam menetapkan ekspektasi dan merancang strategi mereka. Bagi bank berukuran kecil, yang kerap memiliki basis modal lebih terbatas dan portofolio yang kurang terdiversifikasi dibandingkan bank besar, dampak dari perlambatan ini bisa jauh lebih terasa.
OJK sendiri memberikan kelonggaran bagi perbankan untuk melakukan revisi RBB hingga September 2025. Kebijakan ini merupakan bentuk respons adaptif regulator terhadap dinamika pasar dan ekonomi yang cepat berubah, memberikan ruang bagi bank untuk menyelaraskan rencana mereka dengan kondisi riil yang ada. Fleksibilitas ini diharapkan dapat membantu bank dalam menjaga kualitas aset dan solvabilitas di tengah potensi gejolak.
Tantangan Makroekonomi di Balik Sikap Konservatif
Sikap konservatif perbankan kecil ini tidak lepas dari bayang-bayang ketidakpastian makroekonomi yang diproyeksikan akan berlanjut di paruh kedua 2025. Secara global, ancaman resesi di negara-negara maju, inflasi yang persisten di beberapa kawasan, serta ketidakpastian geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina yang berkelanjutan dan tensi di Timur Tengah, masih menjadi faktor risiko utama. Kondisi ini dapat memicu volatilitas harga komoditas, mengganggu rantai pasok global, dan pada akhirnya, memengaruhi kinerja ekspor-impor Indonesia serta iklim investasi.
Di dalam negeri, meskipun ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan yang cukup baik, ada beberapa faktor yang perlu diwaspadai. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) yang masih berada pada level tinggi untuk menahan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, secara langsung berdampak pada biaya dana bank dan kemampuan masyarakat serta korporasi untuk mengambil kredit. Permintaan kredit cenderung melambat karena biaya pinjaman yang lebih mahal, sementara kemampuan bank untuk mengumpulkan DPK murah juga menjadi tantangan di tengah persaingan ketat dan preferensi nasabah terhadap instrumen investasi lain.
Selain itu, tekanan inflasi yang masih terasa, meskipun cenderung terkendali, dapat menggerus daya beli masyarakat dan pada akhirnya memengaruhi kemampuan mereka dalam memenuhi kewajiban kredit. Risiko kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) menjadi perhatian utama, terutama di segmen-segmen yang rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Oleh karena itu, bank-bank kecil perlu memperketat manajemen risiko kredit mereka dan melakukan diversifikasi portofolio untuk mengurangi konsentrasi risiko.
Strategi Bank Kecil: Antara Optimisme Realistis dan Adaptasi Digital
Respons dari bank-bank kecil ini menunjukkan bahwa mereka tidak pasrah begitu saja terhadap tantangan, melainkan merancang strategi adaptif yang berfokus pada keberlanjutan dan kualitas.
PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA), misalnya, mengaku bahwa mereka sejak awal sudah menyusun RBB dengan pendekatan konservatif. Wakil Direktur Utama Bank Ina, Yulius Purnama Junaedi, menjelaskan bahwa meskipun ada penyesuaian minor dalam beberapa hal di RBB untuk menyikapi tantangan di paruh kedua tahun ini, secara umum strategi mereka masih konsisten. Bank INA tetap optimistis terhadap kinerja tahun 2025, namun dengan optimisme yang dibalut kehati-hatian.
Yulius menekankan bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan harus ditopang oleh basis nasabah yang luas, pertumbuhan dana masyarakat yang sehat (khususnya dana murah atau CASA – Current Account Saving Account), serta layanan transaksi digital yang mampu menjawab kebutuhan nasabah secara real-time, efisien, dan aman. Ini mengindikasikan pergeseran fokus dari sekadar pertumbuhan volume kredit menjadi pertumbuhan ekosistem dan pendapatan berbasis transaksi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, bank milik Grup Salim ini berupaya mengejar pertumbuhan melalui pendekatan hybrid, yaitu kombinasi produk dan layanan digital yang didukung oleh jaringan cabang fisik yang strategis. Pertumbuhan bisnis digital ditujukan untuk peningkatan jumlah nasabah, akuisisi DPK yang lebih efisien, serta peningkatan pendapatan transaksi (fee-based income). Yulius juga mengungkapkan bahwa Bank Ina secara aktif mendorong layanan digital baik melalui sinergi dengan Grup Salim maupun kolaborasi dengan partner fintech dan digital lainnya. Kolaborasi ini dapat mencakup berbagai aspek, mulai dari penyediaan layanan pembayaran digital, embedded finance dalam ekosistem e-commerce, hingga pengembangan produk pinjaman digital yang lebih tersegmentasi dan efisien. Rencana kolaborasi strategis ini diharapkan akan diumumkan secara resmi pada waktunya, membuka potensi pasar baru dan memperluas jangkauan layanan bank.
Di sisi lain, PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) telah mengambil langkah lebih konkret dengan memangkas target pertumbuhan kredit 2025 dari sebelumnya 11% menjadi 10%. Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, menyebut bahwa target baru ini disesuaikan dengan proyeksi pertumbuhan kredit oleh Bank Indonesia (BI), yaitu sebesar 10%.
Efdinal merinci berbagai faktor yang menjadi pertimbangan dalam revisi target ini, termasuk perlambatan permintaan kredit di pasar, kondisi likuiditas perbankan yang cenderung ketat, serta tren suku bunga yang tinggi. Selain itu, risiko kredit yang meningkat dan kebutuhan untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat guna menjaga kualitas kredit agar tidak menjadi NPL, juga menjadi faktor penentu.
Untuk menyiasati keadaan ini, bank yang terafiliasi dengan OK Next asal Korea Selatan tersebut fokus pada penguatan aset bank dengan manajemen risiko kredit yang lebih ketat. Ini berarti penerapan standar underwriting yang lebih ketat, pemantauan portofolio secara berkala, dan kesiapan dalam melakukan restrukturisasi kredit jika diperlukan. Diversifikasi portofolio juga menjadi kunci, dengan mencari peluang di segmen-segmen yang lebih resilient atau memiliki risiko yang terukur. Peningkatan DPK, khususnya dana murah (CASA), menjadi prioritas strategis karena dapat menurunkan biaya dana bank secara keseluruhan. Upaya ini dapat dilakukan melalui inovasi produk simpanan, layanan digital yang menarik, dan program loyalitas nasabah. Terakhir, investasi pada teknologi dan digitalisasi terus digenjot tidak hanya untuk efisiensi operasional, tetapi juga untuk memperluas jangkauan layanan dan meningkatkan pengalaman nasabah.
Bank digital PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) atau BNC, sebagai salah satu pemain utama di segmen bank digital, juga tidak menutup kemungkinan akan melakukan penyesuaian RBB. Direktur Utama BNC, Eri Budiono, menyatakan bahwa potensi penyesuaian ini berkaca pada situasi ekonomi di semester II-2025 yang perlu diantisipasi secara cermat.
Sebagai bank digital yang mengandalkan pertumbuhan cepat melalui akuisisi nasabah secara daring, BNC memahami pentingnya menjaga kualitas portofolio kredit di tengah iklim ekonomi yang menantang. Eri menegaskan bahwa secara umum, mereka akan berhati-hati dengan fokus utama pada menjaga kualitas portofolio kredit. Bagi bank digital, yang mungkin memiliki data historis kredit nasabah yang lebih terbatas dibandingkan bank konvensional, manajemen risiko kredit berbasis data dan analisis big data menjadi sangat krusial untuk meminimalkan risiko NPL. Mereka juga perlu menyeimbangkan antara ambisi pertumbuhan dengan prinsip kehati-hatian untuk memastikan keberlanjutan bisnis jangka panjang.
Implikasi dan Outlook ke Depan
Sikap konservatif yang kompak ditunjukkan oleh bank-bank kecil ini mencerminkan realitas pasar yang menuntut kehati-hatian. Ini bukan berarti tidak ada peluang, melainkan bahwa peluang tersebut harus didekati dengan strategi yang lebih terukur dan berbasis kualitas. Bank-bank kecil yang mampu beradaptasi dengan cepat, memanfaatkan teknologi digital secara efektif, dan membangun ekosistem yang kuat, akan memiliki daya tahan yang lebih baik.
Di masa depan, tren ini kemungkinan akan mendorong konsolidasi di antara bank-bank kecil yang kesulitan bersaing atau mencapai skala ekonomi yang efisien. Kolaborasi dengan fintech dan pemain digital lainnya juga akan menjadi semakin vital, memungkinkan bank-bank ini untuk memperluas jangkauan tanpa harus membangun infrastruktur fisik yang mahal. Fokus pada DPK murah, efisiensi operasional melalui digitalisasi, dan manajemen risiko yang prudent akan menjadi kunci keberhasilan di tengah lanskap perbankan yang semakin kompetitif dan dinamis.
Secara keseluruhan, semester kedua tahun 2025 memang masih penuh dengan risiko, namun perbankan kecil menunjukkan kesiapan untuk menghadapinya dengan adaptasi strategis dan pendekatan yang lebih konservatif. Ini adalah langkah yang realistis dan perlu untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan sektor perbankan Indonesia di tengah ketidakpastian global.
![]()