
Perpanjangan insentif LCGC hingga satu dekade ke depan ini bukanlah tanpa alasan kuat. Agus Gumiwang menjelaskan bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjaga keterjangkauan kendaraan bagi segmen masyarakat luas, khususnya kelas menengah ke bawah, sekaligus berfungsi sebagai jembatan penting dalam mendukung transisi elektrifikasi industri otomotif secara bertahap. Dalam pernyataannya yang dikutip pada Minggu (13/7/2025), Agus Gumiwang menekankan, "Program LCGC terbukti berhasil meningkatkan kepemilikan kendaraan masyarakat dan mendukung industri otomotif nasional. Oleh karena itu, insentif untuk LCGC akan kami lanjutkan hingga 2031." Pernyataan ini menggarisbawahi peran krusial LCGC dalam mendorong motorisasi nasional dan memperkuat basis industri manufaktur otomotif domestik.
Program LCGC sendiri telah menjadi tulang punggung pertumbuhan pasar otomotif Indonesia sejak diluncurkan. Konsepnya adalah menyediakan kendaraan roda empat yang terjangkau, efisien dalam konsumsi bahan bakar, dan memiliki emisi gas buang yang relatif rendah, sesuai dengan namanya "Green Car." Keberadaan program ini telah membuka akses bagi jutaan keluarga Indonesia untuk memiliki kendaraan pribadi, yang sebelumnya mungkin terkendala oleh harga yang tinggi. Dampak positifnya tidak hanya terasa pada tingkat kepemilikan individu, tetapi juga pada roda ekonomi secara keseluruhan, mulai dari sektor manufaktur, rantai pasok komponen, hingga jaringan distribusi dan purna jual, menciptakan lapangan kerja yang signifikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tarif PPnBM, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 141/PMK.010/2021, kini didasarkan pada emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan, sebuah pergeseran fundamental dari basis kapasitas silinder mesin yang diterapkan sebelumnya. Perubahan regulasi ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk mendorong produksi dan penggunaan kendaraan yang lebih ramah lingkungan, sejalan dengan agenda keberlanjutan global. Regulasi tersebut membedakan tarif PPnBM secara signifikan berdasarkan jenis dan emisi kendaraan. Sebagai contoh, kendaraan penumpang dengan daya angkut 10-15 orang dan kapasitas silinder hingga 3.000 cc dapat dikenai PPnBM sebesar 15-40 persen. Sementara itu, untuk kendaraan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc hingga 4.000 cc, tarif PPnBM yang dikenakan jauh lebih tinggi, berkisar antara 40-70 persen. Perhitungan PPnBM ini dilakukan dengan mengalikan tarif yang berlaku dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang umumnya adalah harga jual kendaraan.
Baca Juga:
- Jorge Martin Kembali ke Lintasan MotoGP Ceko 2025: Perjalanan Penuh Cobaan Sang Juara Bertahan
- Dunia Sepak Bola Berduka: Bintang Liverpool Diogo Jota dan Saudaranya Tewas dalam Kecelakaan Tragis di Spanyol.
- MotoGP Jerman 2025: Duel Sengit di Sachsenring, Marc Marquez Siap Pertahankan Tahta Raja!
- Recall Mesin Nissan dan Infiniti: Hampir Setengah Juta Unit Terancam, Penggantian Mesin Jadi Opsi Terburuk
- Suzuki GSX-8T dan GSX-8TT Resmi Meluncur, Moge Retro Gahar Bermesin Modern!
Namun, untuk mobil LCGC, pemerintah memberlakukan skema khusus yang membedakannya dari kategori kendaraan lain. Meskipun aturan sebelumnya sempat membebaskan mobil LCGC dari tarif PPnBM, kebijakan tersebut telah mengalami penyesuaian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM, mobil-mobil LCGC kini dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 15 persen. Namun, ada pengecualian penting: dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan hanya sebesar 20 persen dari harga jual. Dengan demikian, secara efektif, mobil-mobil LCGC seperti Toyota Calya dan Agya, Daihatsu Sigra dan Ayla, serta Honda Brio Satya, hanya dikenakan tarif PPnBM sebesar 3 persen dari harga jual riilnya. Skema ini diatur pula dalam Pasal 5 ayat 6 (a) Permenperin No.36, yang memungkinkan pemerintah menetapkan penyesuaian harga dengan ketentuan pengenaan PPnBM paling tinggi sebesar 15% untuk mobil-mobil yang tergolong KBH2 (Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau).
Angka 3 persen ini menjadi kunci keberlanjutan program LCGC, menjaga agar harga jualnya tetap berada dalam jangkauan daya beli masyarakat luas. Tanpa insentif ini, harga LCGC kemungkinan akan melambung tinggi, mengurangi daya saingnya di pasar dan berpotensi menghambat program motorisasi yang telah berjalan baik. Kebijakan ini juga mengirimkan sinyal positif kepada para pelaku industri otomotif untuk terus berinvestasi dan mengembangkan kapasitas produksi di Indonesia, mengingat adanya kepastian regulasi hingga tahun 2031.
Perpanjangan insentif LCGC juga harus dilihat dalam konteks strategi yang lebih besar, yaitu transisi menuju kendaraan listrik (elektrifikasi). Meskipun LCGC adalah kendaraan berbasis bahan bakar konvensional, pemerintah memandangnya sebagai "jembatan" atau "stepping stone" yang memungkinkan masyarakat beradaptasi secara bertahap menuju teknologi yang lebih ramah lingkungan. Proses transisi ini tidak bisa dilakukan secara instan, mengingat berbagai tantangan seperti infrastruktur pengisian daya, ketersediaan komponen, dan harga kendaraan listrik yang masih relatif tinggi. Dengan mempertahankan LCGC, pemerintah memberikan opsi bagi masyarakat untuk tetap memiliki kendaraan baru yang terjangkau sambil menunggu ekosistem kendaraan listrik benar-benar matang dan merata.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang juga menegaskan pentingnya kolaborasi yang erat antara pemerintah dan prinsipal otomotif, baik produsen domestik maupun prinsipal global yang berinvestasi di Indonesia. Kolaborasi ini krusial dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk transisi elektrifikasi, dinamika pasar global, serta menjaga keseimbangan antara produksi lokal untuk memenuhi kebutuhan domestik dan kapasitas ekspor untuk bersaing di pasar internasional. Industri otomotif adalah salah satu sektor padat karya terbesar di Indonesia, menyerap jutaan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung, mulai dari pabrik perakitan, manufaktur komponen, hingga jaringan penjualan dan servis. Stabilitas kebijakan dan dukungan pemerintah sangat vital untuk menjaga keberlangsungan sektor ini dari guncangan ekonomi atau perubahan tren pasar yang mendadak.
"Pasar otomotif Indonesia sangat besar, dan industri ini telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kita harus jaga bersama agar tidak terjadi guncangan di sektor ini," pungkas Agus Gumiwang. Pernyataan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan industri otomotif nasional, yang merupakan salah satu pilar ekonomi utama. Perpanjangan insentif LCGC hingga 2031 ini adalah bukti nyata dari komitmen tersebut, memberikan kepastian bagi investor, pelaku industri, dan yang terpenting, bagi konsumen Indonesia. Ini adalah langkah strategis yang menggarisbawahi pendekatan pragmatis pemerintah dalam menyeimbangkan antara tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan demikian, program LCGC tidak hanya sekadar program insentif, melainkan bagian integral dari visi pembangunan industri otomotif Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif.
![]()