
Hujan ekstrem dan banjir kini bukan lagi fenomena lokal yang terisolasi di satu wilayah saja; ia telah menjadi krisis global yang melanda banyak negara secara bersamaan, menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan manusia, perekonomian, dan infrastruktur vital. Perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia semakin memperburuk frekuensi dan intensitas peristiwa-peristiwa ini, mengakibatkan curah hujan yang lebih sering dan lebat, kenaikan permukaan air laut, serta peningkatan gelombang badai yang merusak. Fenomena ini menghadirkan tantangan kompleks yang menuntut pemahaman mendalam dan respons adaptif serta mitigatif yang cepat.
Dari Asia hingga Eropa, Amerika Utara hingga Afrika, laporan tentang banjir bandang, luapan sungai, dan genangan air yang melumpuhkan menjadi berita harian. Di Pakistan, banjir dahsyat pada tahun 2022 menenggelamkan sepertiga wilayah negara itu, menewaskan ribuan orang dan menyebabkan kerugian ekonomi miliaran dolar. Di Eropa, negara-negara seperti Jerman dan Belgia mengalami banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2021, merenggut nyawa dan menghancurkan kota-kota kecil. Sementara itu, di Amerika Serikat, wilayah seperti California menghadapi "banjir atmosfer" yang berulang, dan Texas baru-baru ini dilanda banjir parah yang mengubah lanskap perkotaan menjadi lautan air. China juga tidak luput dari ancaman ini, dengan beberapa provinsi mengalami curah hujan ekstrem yang memicu banjir besar dan tanah longsor.
Ilmuwan iklim terkemuka, Daniel Swain dari California Institute for Water Resources within University of California Agriculture and Natural Resources, menegaskan bahwa meskipun tidak mungkin untuk secara definitif mengatakan bahwa satu peristiwa cuaca tertentu secara langsung disebabkan oleh perubahan iklim, ada kemungkinan besar bahwa curah hujan ekstrem dan banjir yang kita saksikan saat ini telah diperparah secara signifikan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. "Ada banyak bukti bahwa ini adalah salah satu jenis peristiwa cuaca ekstrem yang telah meningkat secara signifikan di seluruh dunia akibat pemanasan yang telah terjadi," ujar Swain. Ia melanjutkan, "Yang saya maksud secara spesifik adalah peristiwa hujan yang sangat ekstrem, baik yang berada di batas atas atau melampaui apa yang pernah kita lihat sebelumnya. Ada bukti kuat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut akan, dan memang sudah, meningkat akibat pemanasan global." Pernyataan ini menyoroti pergeseran pola cuaca menuju ekstremitas yang lebih tinggi, bukan hanya dalam hal frekuensi tetapi juga dalam intensitasnya.
Meskipun ramalan dari lembaga seperti National Weather Services semakin akurat dalam memprediksi pola cuaca besar, Swain mengakui bahwa bahkan proyeksi terbaik sekalipun masih memiliki keterbatasan dalam memprediksi intensitas spesifik atau lokasi pasti di mana banjir akan terjadi beberapa hari atau minggu sebelumnya. Ketidakpastian ini menuntut sistem peringatan dini yang lebih canggih dan respons yang lebih tanggap dari pihak berwenang dan masyarakat.
Andrew Dessler, seorang profesor ilmu atmosfer dan direktur Texas Center for Extreme Weather di Texas A&M University, menjelaskan dasar ilmiah di balik peningkatan intensitas hujan lebat ini. Ia menyatakan bahwa salah satu prediksi tertua ilmu iklim adalah bahwa peristiwa hujan lebat akan menjadi lebih intens, dan alasan utamanya sangat fundamental: udara yang lebih hangat mampu menyimpan lebih banyak uap air. "Jadi, saat udara hangat dan lembap ini mengalir ke dalam badai dan mulai naik dalam badai petir, semua air akan terkuras habis," jelas Dessler. Ini adalah prinsip dasar termodinamika yang dikenal sebagai hubungan Clausius-Clapeyron, di mana setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat Celsius dapat meningkatkan kapasitas penahanan uap air sekitar 7%. Dengan pemanasan global, atmosfer kita menjadi spons yang lebih besar, siap untuk melepaskan volume air yang jauh lebih besar dalam satu kali peristiwa hujan.
Mengambil contoh banjir parah yang terjadi di Texas baru-baru ini, Dessler menyebutkan bahwa hal ini sangat berkaitan dengan Teluk Meksiko, yang berbatasan dengan Texas, yang saat ini menjadi jauh lebih hangat karena perubahan iklim. Perairan yang sangat hangat ini menghasilkan penguapan masif, melepaskan lebih banyak uap air tropis ke udara daripada yang pernah terlihat sebelumnya. "Tergantung di mana Anda berada, udara lembap itu dipaksa naik saat mendaki topografi. Oleh karena itu, udara tersebut mendingin dan mengembun menjadi awan ketika atmosfer mendukung terjadinya badai petir," jelasnya. Mekanisme ini menciptakan kondisi ideal untuk pembentukan badai petir supercell dan sistem konvektif besar yang mampu menjatuhkan curah hujan dalam jumlah luar biasa dalam waktu singkat.
Jennifer Marlon, ilmuwan peneliti senior di Yale School of the Environment, menambahkan perspektif penting. Ia menjelaskan bahwa banjir bandang sebenarnya selalu terjadi sepanjang sejarah bumi. Namun, pemanasan global yang dipicu oleh penggunaan bahan bakar fosil secara besar-besaran telah memperburuk skala dan dampak peristiwa-peristiwa ini. Artinya, perubahan iklim tidak menciptakan banjir dari nol, melainkan memperparah frekuensi, intensitas, dan jangkauan geografisnya, mengubah peristiwa yang dulunya jarang menjadi lebih sering dan merusak.
Dampak dari hujan ekstrem dan banjir ini melampaui kerugian material langsung. Infrastruktur kritis seperti jalan, jembatan, jaringan listrik, dan sistem telekomunikasi seringkali lumpuh, mengisolasi komunitas dan menghambat upaya penyelamatan. Sektor pertanian menderita kerugian besar akibat gagal panen dan lahan yang terendam, mengancam ketahanan pangan. Selain itu, banjir juga meningkatkan risiko penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare dan leptospirosis, serta masalah kesehatan mental akibat trauma dan perpindahan paksa. Kerugian ekonomi bisa mencapai triliunan rupiah, membebani anggaran negara dan menghambat pembangunan. Komunitas yang rentan, terutama di negara berkembang, seringkali menjadi pihak yang paling menderita karena kurangnya sumber daya untuk adaptasi dan pemulihan.
Untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin parah ini, Andrew Dessler menggarisbawahi beberapa langkah krusial yang perlu diambil oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain di seluruh dunia. Pertama, ia menekankan pentingnya peningkatan sistem peringatan dini. Ini mencakup investasi dalam teknologi peramalan cuaca yang lebih akurat, penggunaan sensor yang lebih banyak dan terintegrasi, serta pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk memproses data cuaca secara real-time dan memberikan peringatan yang lebih spesifik dan tepat waktu kepada masyarakat. Sistem ini juga harus mencakup komunikasi yang efektif dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan akses informasi.
Kedua, Dessler menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan dan mengadaptasi infrastruktur agar lebih mampu menangani banjir. Ini berarti membangun infrastruktur yang tangguh dan tahan iklim, seperti sistem drainase yang lebih besar dan efisien, bendungan dan tanggul yang diperkuat, serta pembangunan gedung dan jalan yang lebih tinggi dari potensi ketinggian banjir. Namun, lebih dari sekadar "memperkuat", pendekatan modern juga mencakup "solusi berbasis alam" (Nature-Based Solutions/NBS) seperti restorasi lahan basah, pembangunan ruang hijau perkotaan yang dapat menyerap air, dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan untuk mengurangi aliran permukaan. Penerapan permukaan permeabel di perkotaan, yang memungkinkan air meresap ke dalam tanah daripada mengalir di permukaan, juga merupakan strategi penting untuk mengurangi beban pada sistem drainase.
Ketiga, dan yang paling fundamental menurut Dessler, adalah transisi global menuju sumber energi bersih, khususnya tenaga surya dan angin. Ia menegaskan bahwa energi terbarukan tidak hanya lebih baik bagi lingkungan karena tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca, tetapi juga secara ekonomis lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil dalam jangka panjang. Investasi dalam energi terbarukan akan menciptakan lapangan kerja baru, mendorong inovasi teknologi, dan meningkatkan kemandirian energi suatu negara. "Selama kita terus membakar bahan bakar fosil, ini tidak akan membaik," kata Dessler dengan nada mendesak. "Kita berada di dunia dengan peristiwa yang lebih intens, dan kita seharusnya melihat ke depan dan bertanya, ‘Bagaimana kita mencegahnya menjadi lebih buruk?’"
Jennifer Marlon setuju sepenuhnya dengan Dessler, dan menambahkan bahwa perubahan substansial seperti itu harus datang dari kepemimpinan yang kuat dan visioner. Para pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal, harus menanggapi perubahan iklim dengan serius, mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi iklim ke dalam setiap aspek kebijakan dan perencanaan pembangunan. Lebih dari sekadar retorika, kepemimpinan ini harus ditunjukkan melalui komitmen anggaran, regulasi yang mendukung transisi energi, dan kebijakan yang mendorong praktik berkelanjutan.
Marlon juga menekankan bahwa para pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kepada negara dan masyarakat tentang rencana konkret mereka untuk mengatasi masalah jangka panjang perubahan iklim. Transparansi dan komunikasi yang jelas tentang tantangan dan solusi akan membangun kepercayaan publik dan memobilisasi dukungan untuk tindakan iklim. Warga juga memiliki peran krusial dalam proses ini; mereka dapat secara aktif bertanya kepada para pemimpin mereka tentang bagaimana mereka membantu negara bertransisi ke energi terbarukan, yang merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi akar permasalahan ini. Dengan melibatkan diri dalam dialog publik dan mendukung kebijakan yang pro-iklim, masyarakat dapat mendorong perubahan sistemik yang diperlukan untuk masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan. Tanpa aksi kolektif dan komitmen yang kuat dari semua pihak, ancaman hujan ekstrem dan banjir akan terus meningkat, membawa konsekuensi yang semakin parah bagi planet kita dan generasi mendatang.
