
Bukan sekadar ramalan klenik atau mitos kuno, namun gagasan tentang akhir jagat raya kini menjadi fokus penelitian serius dalam dunia fisika dan kosmologi. Sebuah skenario yang disebut "Big Crunch" atau "Kemunduran Besar" telah diperhitungkan oleh para ilmuwan, memprediksi bahwa alam semesta kita, setelah mengembang selama miliaran tahun, pada akhirnya akan mengerut kembali dan kolaps menjadi satu titik tunggal. Ramalan ini, yang didasarkan pada perhitungan fisika dan data observasi terkini, menyebutkan bahwa peristiwa kiamat jagat raya ini akan terjadi sekitar 20 miliar tahun dari sekarang.
Riset monumental ini merupakan kolaborasi antara fisikawan terkemuka dari Cornell University di Amerika Serikat dan Jiao Tong University di Shanghai, Tiongkok, dengan dukungan dari beberapa lembaga penelitian lain yang ikut serta. Publikasi hasil riset mereka telah memicu diskusi luas di kalangan komunitas ilmiah dan publik, memberikan perspektif baru tentang takdir kosmik kita. Para ilmuwan ini menyatakan bahwa alam semesta, yang pernah mengalami periode ekspansi dahsyat setelah Big Bang, akan mencapai titik balik. Menurut model mereka, alam semesta akan terus mengembang untuk sekitar 7 miliar tahun ke depan, setelah itu ekspansi akan melambat, berhenti, dan kemudian berbalik arah, menyebabkan jagat raya mulai menciut. Proses penciutan ini akan berlanjut hingga seluruh materi dan energi di alam semesta kembali menyatu dalam satu titik, sebuah kebalikan fundamental dari momen penciptaan alam semesta itu sendiri.
Secara konseptual, Big Crunch adalah antitesis sempurna dari teori Big Bang, yang menjelaskan bagaimana alam semesta bermula dari singularitas yang sangat padat dan panas, kemudian mengembang dengan cepat dan terus-menerus hingga membentuk struktur-struktur yang kita kenal sekarang. Jika Big Bang adalah ledakan raksasa yang menciptakan ruang dan waktu, Big Crunch adalah implosi raksasa yang mengakhiri semuanya. Untuk mencapai kesimpulan ini, para fisikawan memanfaatkan data ekstensif dari berbagai survei astronomi mutakhir. Data tersebut mencakup hasil dari Dark Energy Survey (DES) dan Dark Energy Spectroscopic Instrument (DESI), dua proyek observasi besar yang dirancang untuk mengukur laju ekspansi alam semesta dan memahami sifat energi gelap.
Dark Energy Survey, misalnya, telah memetakan ratusan juta galaksi selama bertahun-tahun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang distribusi materi dan bagaimana energi gelap memengaruhi struktur skala besar alam semesta. Sementara itu, Dark Energy Spectroscopic Instrument (DESI) dirancang untuk menciptakan peta 3D terbesar alam semesta, mengukur jarak hingga puluhan juta galaksi dan quasar untuk melacak sejarah ekspansi alam semesta dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Data dari instrumen-instrumen ini, bersama dengan observasi supernova Tipe Ia dan fluktuasi latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB), memungkinkan para ilmuwan untuk membangun model kosmologis yang semakin akurat.
Berdasarkan analisis data ini, para peneliti memprediksi bahwa peristiwa Big Crunch akan terjadi dalam sekitar 33,3 miliar tahun dari titik singularitas Big Bang. Mengingat bahwa usia alam semesta saat ini diperkirakan adalah 13,8 miliar tahun, ini berarti kita memiliki waktu sekitar 19,5 miliar hingga 20 miliar tahun lagi sebelum skenario Big Crunch ini terwujud. Waktu yang terdengar sangat lama, namun dalam skala kosmik, ini adalah periode yang dapat dihitung.
Meskipun Big Crunch adalah takdir pamungkas jagat raya secara keseluruhan, nasib planet Bumi dan sistem tata surya kita akan tiba jauh lebih cepat. Diperkirakan dalam waktu sekitar 7 miliar tahun lagi, Matahari kita akan kehabisan bahan bakar hidrogen di intinya dan mulai membengkak menjadi raksasa merah. Dalam proses ini, Matahari akan menelan planet-planet terdekat, termasuk Merkurius, Venus, dan kemungkinan besar Bumi. Setelah itu, sekitar 20 miliar tahun dari sekarang, di tengah-tengah periode penciutan jagat raya menuju Big Crunch, Galaksi Bima Sakti kita juga diperkirakan akan bertabrakan dan bergabung dengan galaksi tetangga terdekat kita, Andromeda. Peristiwa ini, meskipun disebut ‘tabrakan’, sebenarnya lebih merupakan penggabungan gravitasi di mana bintang-bintang jarang sekali bertabrakan langsung, melainkan galaksi-galaksi akan saling melewati dan akhirnya membentuk satu galaksi elips yang lebih besar.
Teori Big Crunch ini bukan satu-satunya skenario akhir alam semesta yang dipertimbangkan oleh para ilmuwan. Ada pula teori lain yang menggambarkan alam semesta seperti gelang karet: ia kini dalam kondisi meregang atau mengembang, namun suatu saat nanti akan menjeplak kembali ke ukuran yang lebih ciut. Konsep ini mendukung gagasan alam semesta siklik, di mana serangkaian Big Bang dan Big Crunch terjadi berulang kali dalam siklus tanpa akhir. Namun, model Big Crunch yang baru-baru ini diusulkan lebih spesifik, didasarkan pada data ekspansi yang mulai melambat.
Untuk memahami mengapa para ilmuwan mulai mempertimbangkan skenario Big Crunch, kita perlu melihat komposisi alam semesta. Saat ini, jagat raya kita diyakini terdiri dari sekitar 72% Energi Gelap (Dark Energy), 23% Materi Gelap (Dark Matter), dan hanya sekitar 4,6% materi biasa yang membentuk atom, bintang, planet, dan galaksi yang dapat kita amati. Energi gelap dipercaya sebagai kekuatan misterius yang mendorong perluasan alam semesta dengan kecepatan yang terus meningkat. Sifatnya yang anti-gravitasi menyebabkan galaksi-galaksi saling menjauh dengan laju yang semakin cepat.
Namun, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa laju perluasan jagat raya ini mungkin perlahan melambat. Model yang diusulkan menunjukkan bahwa alam semesta akan mencapai ukuran maksimum, sekitar 69% dari ukurannya saat ini, sebelum akhirnya mulai menciut kembali. Ini berarti bahwa pengaruh energi gelap yang dominan saat ini mungkin akan melemah atau berubah seiring waktu, memungkinkan gravitasi, yang bersifat menarik, untuk akhirnya memenangkan "tarik-menarik" kosmik. Para ilmuwan kini sedang mendalami lebih lanjut sifat energi gelap dan teori Big Crunch ini, karena pemahaman kita tentang energi gelap masih sangat terbatas. Jika energi gelap tidak konstan dan memiliki dinamika tertentu, hal itu bisa mengubah takdir akhir alam semesta secara drastis.
Perbandingan waktu 20 miliar tahun bagi kiamat kosmik ini adalah skala waktu yang super lama, hampir tak terbayangkan oleh akal manusia. Sebagai perbandingan, kehidupan kompleks di Bumi, dari makhluk hidup bersel tunggal sederhana hingga munculnya kehidupan modern seperti sekarang, hanya membutuhkan waktu sekitar 600 juta tahun. Peradaban manusia modern, dalam bentuknya yang kita kenal, bahkan hanya eksis selama beberapa ribu tahun. Jeda waktu 20 miliar tahun berarti bahwa semua yang kita ketahui tentang sejarah manusia, sejarah Bumi, dan bahkan sejarah tata surya kita akan menjadi sekejap mata dalam rentang waktu kosmik ini.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa ini adalah model ilmiah, dan seperti semua model ilmiah, ia punya disclaimer soal kemungkinan kesalahan. Para ilmuwan memahami bahwa permodelan kiamat yang mereka buat memiliki margin error yang besar, terutama karena keterbatasan data observasi dan kompleksitas fisika alam semesta pada skala yang begitu luas. Energi gelap dan materi gelap, dua komponen terbesar alam semesta, masih merupakan entitas misterius yang belum sepenuhnya dipahami. Perubahan kecil dalam pemahaman kita tentang sifat-sifat ini bisa secara drastis mengubah prediksi akhir alam semesta.
Selain Big Crunch, ada skenario lain yang juga dipertimbangkan oleh para kosmolog. Skenario yang paling diterima secara luas saat ini adalah "Big Freeze" atau "Heat Death" (Kematian Panas), di mana alam semesta akan terus mengembang tanpa henti. Dalam skenario ini, materi akan semakin menyebar dan mendingin, bintang-bintang akan kehabisan bahan bakar, lubang hitam akan menguap melalui radiasi Hawking, dan akhirnya alam semesta akan menjadi tempat yang dingin, gelap, dan kosong, di mana semua energi telah tersebar secara merata dan tidak ada lagi proses yang dapat terjadi. Ada juga skenario "Big Rip" yang lebih ekstrem, di mana jika energi gelap terus meningkat dalam densitasnya, ia akan menjadi begitu kuat sehingga tidak hanya memisahkan galaksi, tetapi juga memecah atom dan partikel subatomik itu sendiri, merobek seluruh struktur alam semesta hingga ke tingkat paling fundamental.
Meskipun akhir jagat raya masih menjadi subjek studi intensif dan perdebatan ilmiah, penelitian semacam ini memperkaya pemahaman kita tentang tempat kita di alam semesta yang luas dan misterius. Ini menunjukkan betapa dinamisnya ilmu pengetahuan, yang terus-menerus merevisi dan menyempurnakan pemahaman kita berdasarkan data baru dan wawasan teoretis. Prediksi Big Crunch ini, meski jauh di masa depan dan masih mengandung ketidakpastian, adalah bukti kemampuan manusia untuk merenungkan takdir kosmik dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang keberadaan kita.
