Penemuan Kerangka Manusia Purba Berusia 7.400 Tahun di Maros Perkaya Jejak Peradaban Wallacea.

Penemuan Kerangka Manusia Purba Berusia 7.400 Tahun di Maros Perkaya Jejak Peradaban Wallacea.

Pusat Riset Arkeologi Sejarah dan Prasejarah (PR APS) di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengumumkan sebuah penemuan arkeologis yang monumental di Kawasan Maros, Sulawesi Selatan. Sebuah kerangka manusia purba yang diperkirakan berusia 7.400 tahun telah berhasil diidentifikasi, membawa babak baru dalam pemahaman kita tentang sejarah prasejarah di wilayah Wallacea, khususnya di Indonesia timur. Penemuan signifikan ini diungkapkan oleh Hasanuddin, seorang peneliti dari PR APS, dalam ajang Konferensi Internasional ‘Gau Maraja Leang-Leang Maros 2025’ yang diselenggarakan di Maros pada hari Sabtu, 5 Juli. Pernyataan tersebut, yang juga dirilis melalui situs resmi BRIN, menyoroti betapa berharganya temuan ini dalam memperkaya khazanah pengetahuan arkeologi dan antropologi.

Kawasan Maros, yang dikenal dengan lanskap karsnya yang megah dan sistem gua-guanya yang kompleks, telah lama menjadi surga bagi para arkeolog. Hasanuddin menjelaskan bahwa di area Mallawa, Maros, terdapat setidaknya 28 gua atau ceruk yang telah menjalani penelitian ekstensif, dan semuanya menunjukkan indikasi kuat sebagai situs hunian prasejarah. Fakta yang lebih mencengangkan adalah bahwa gua tertua di antara situs-situs tersebut diperkirakan telah dihuni oleh manusia sejak 10.000 tahun yang lalu, sebuah periode yang merentang jauh ke belakang dalam garis waktu sejarah manusia di Nusantara. Temuan kerangka manusia berusia 7.400 tahun ini, yang digali pada penelitian tahun 2021, diidentifikasi oleh para ahli sebagai bagian dari kelompok yang dikenal dengan sebutan "Toalean". Penamaan "Toalean" merujuk pada kebudayaan prasejarah yang khas di Sulawesi Selatan, ditandai dengan penggunaan alat-alat batu mikrolit yang unik, terutama "Maros Point" atau mata panah Maros, yang sangat spesifik dan berbeda dari tradisi alat batu lainnya.

Penemuan kerangka Toalean ini bukan sekadar penambahan koleksi artefak, melainkan sebuah jendela yang membuka wawasan mendalam tentang kehidupan, adaptasi, dan evolusi manusia di masa lampau. Hasanuddin menekankan bahwa temuan ini secara fundamental telah menginspirasi dan memperkaya pemahaman kolektif kita tentang masa prasejarah. Salah satu aspek paling menarik dari penelitian ini adalah bukti adanya interaksi kompleks yang terjadi di Mallawa antara kelompok manusia Toalean, yang merupakan penduduk asli dan pembawa kebudayaan khas, dengan kelompok Austronesia yang datang kemudian. Interaksi ini diyakini berlangsung melalui proses adaptasi bertahap, di mana kedua kelompok saling memengaruhi dan membentuk dinamika budaya yang unik di wilayah tersebut. Kelompok Austronesia, yang dikenal sebagai pelaut ulung dan penyebar kebudayaan Neolitik (pertanian, gerabah, dan bahasa), memainkan peran krusial dalam transformasi sosial dan ekonomi di Nusantara. Bukti interaksi ini memberikan gambaran tentang bagaimana kebudayaan dapat berakulturasi dan beradaptasi seiring dengan migrasi dan pertemuan populasi yang berbeda.

Lebih lanjut, Hasanuddin menguraikan bahwa Kawasan Mallawa memiliki potensi luar biasa sebagai laboratorium alami untuk mengkaji dinamika kehidupan manusia prasejarah, tidak hanya di kawasan Indonesia timur tetapi juga di wilayah Wallacea secara umum. Wallacea adalah sebuah bioregion biogeografis yang unik, terletak di antara lempeng benua Asia dan Australia, ditandai dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan menjadi koridor penting bagi migrasi flora, fauna, dan tentu saja, manusia purba. Kawasan Mallawa, dengan stratifikasi geologisnya yang kaya, menunjukkan kesinambungan hunian manusia yang luar biasa panjang, dimulai sejak akhir zaman Pleistosen hingga periode Neolitik Akhir dan Paleometalik. Zaman Pleistosen, sering disebut Zaman Es, adalah periode di mana manusia purba mulai bermigrasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim ekstrem. Sementara itu, periode Neolitik Akhir ditandai dengan revolusi pertanian dan penggunaan alat batu yang diasah, serta munculnya gerabah. Paleometalik menandai dimulainya penggunaan logam dalam kehidupan manusia.

Kesinambungan hunian ini dibuktikan melalui serangkaian metode penelitian yang cermat dan mutakhir. Hasanuddin menjelaskan bahwa temuan stratigrafi, yaitu studi lapisan-lapisan tanah dan endapan yang menyimpan jejak aktivitas manusia, memberikan bukti kronologis yang jelas. Analisis DNA, khususnya DNA purba (aDNA) yang diambil dari sisa-sisa kerangka, juga memainkan peran vital dalam mengidentifikasi garis keturunan genetik, pola migrasi, dan hubungan kekerabatan antara populasi Toalean dan kelompok-kelompok manusia lainnya. Selain itu, penemuan artefak yang beragam dalam satu konteks stratigrafis yang sama semakin memperkuat klaim kesinambungan dan interaksi budaya. Artefak-artefak kunci yang ditemukan meliputi Maros Point yang khas, berbagai jenis mikrolit (alat batu kecil dan tajam), gerabah berlapis slip merah yang menunjukkan teknik pembuatan dan estetika tertentu, serta beliung, alat pertanian atau pengolah kayu yang menandai transisi ke gaya hidup yang lebih menetap dan berbasis pertanian. Seluruh temuan ini membentang dalam rentang waktu sekitar 7.400 hingga 3.600 tahun sebelum tahun 1950, memberikan gambaran evolusi budaya yang sangat detail.

Interaksi yang kompleks antara berbagai kelompok manusia purba di Mallawa tercermin tidak hanya dari percampuran artefak, tetapi juga dari fleksibilitas ekologis yang berkelanjutan yang ditunjukkan oleh penghuni prasejarah. Hasanuddin menjelaskan bahwa pola pemanfaatan ruang hunian sangat adaptif, meliputi penggunaan gua sebagai tempat tinggal utama maupun situs terbuka untuk aktivitas tertentu. Pola konsumsi makanan mereka juga menunjukkan adaptasi yang cerdas terhadap sumber daya lokal, yang dapat dipelajari dari sisa-sisa makanan yang ditemukan. Lebih jauh, praktik penguburan yang ditemukan di situs-situs ini memberikan wawasan tentang sistem kepercayaan, struktur sosial, dan ritus-ritus yang dipegang teguh oleh masyarakat purba tersebut. Misalnya, posisi jenazah, barang bekal kubur, dan lokasi penguburan dapat memberikan petunjuk tentang status individu dalam masyarakat atau pandangan mereka tentang kehidupan setelah mati.

Transformasi budaya yang berlangsung secara dinamis juga sangat jelas terlihat dari keseluruhan temuan di Mallawa, Maros. Dari gaya hidup pemburu-pengumpul murni dengan alat-alat batu sederhana, hingga munculnya pengaruh pertanian dan penggunaan gerabah dari kelompok Austronesia, situs ini menyajikan narasi evolusi budaya yang komprehensif. Perubahan ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses akulturasi dan adaptasi yang panjang dan kompleks. Hasanuddin menyimpulkan bahwa temuan-temuan ini secara kolektif menjadikan wilayah Mallawa, Maros, sebagai salah satu situs arkeologi paling penting tidak hanya untuk memahami sejarah prasejarah di Sulawesi Selatan, tetapi juga untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai dinamika kehidupan manusia purba di seluruh kawasan Wallacea.

Implikasi dari penemuan ini sangat luas. Selain memperkaya literatur ilmiah, temuan ini juga berpotensi besar untuk pendidikan dan pariwisata budaya, dengan syarat pelestarian dan pengelolaan situs yang berkelanjutan. BRIN, sebagai lembaga riset utama di Indonesia, memegang peran krusial dalam memfasilitasi penelitian lanjutan, melindungi situs-situs bersejarah, dan menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat luas. Konferensi Internasional ‘Gau Maraja Leang-Leang Maros 2025’ sendiri menjadi platform vital untuk diskusi ilmiah, pertukaran data, dan kolaborasi antarpeneliti dari berbagai negara, memastikan bahwa penemuan di Maros ini mendapatkan perhatian global yang layak dan memberikan kontribusi maksimal bagi ilmu pengetahuan. Dengan setiap artefak dan setiap sisa tulang yang ditemukan, kita semakin dekat untuk merangkai kembali puzzle besar tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana peradaban manusia terbentuk di salah satu sudut bumi yang paling menakjubkan ini.

Penemuan Kerangka Manusia Purba Berusia 7.400 Tahun di Maros Perkaya Jejak Peradaban Wallacea.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *