
Jakarta – Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait operasional dan investasi Starlink, layanan internet satelit milik perusahaan SpaceX besutan Elon Musk, kini menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Kritik keras dialamatkan pada sikap pemerintah yang dinilai terlalu lunak, bahkan terkesan permisif, terhadap kehadiran raksasa teknologi global ini. Di tengah gelombang kritik tersebut, SpaceX sendiri telah mengumumkan penghentian penambahan jumlah pelanggan baru untuk wilayah Indonesia, sebuah langkah yang memicu berbagai spekulasi dan menambah kompleksitas permasalahan.
Pengumuman Starlink untuk menghentikan akuisisi pelanggan baru di Indonesia, yang bertepatan dengan menguatnya desakan dari pelaku industri dan akademisi, mengindikasikan adanya tekanan yang signifikan atau peninjauan ulang strategi bisnis mereka di tengah iklim regulasi yang belum jelas. Firdaus Adinugroho, Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), dengan tegas mengungkapkan bahwa pelaku usaha di sektor satelit nasional mendorong agar Pemerintah Indonesia bersikap lebih tegas dan adil terhadap Starlink. "Prinsip keadilan akses dan pemerataan digital tetap harus menjadi pegangan utama dalam setiap kebijakan konektivitas nasional," ujarnya, menyoroti pentingnya landasan fundamental dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya mengakomodasi kemajuan teknologi, tetapi juga melindungi kepentingan nasional.
Keadilan akses dan pemerataan digital, sebagaimana ditekankan oleh ASSI, bukan sekadar retorika. Ini mencakup perlindungan dan pemberdayaan industri satelit nasional agar tetap memiliki ruang tumbuh yang adil dan berkelanjutan. Tanpa intervensi regulasi yang jelas dan tegas, industri lokal yang telah berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia berisiko tergerus oleh pemain global yang beroperasi dengan aturan main yang berbeda. ASSI juga mendorong agar pemerintah memastikan bahwa kapasitas yang tersedia dari penyedia layanan satelit global seperti Starlink diprioritaskan untuk mendukung konektivitas di wilayah-wilayah yang belum terlayani, khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Hal ini selaras dengan semangat Universal Service Obligation (USO) yang selama ini diemban oleh operator telekomunikasi nasional, memastikan bahwa keuntungan komersial tidak mengesampingkan tanggung jawab sosial untuk menghubungkan seluruh pelosok negeri.
Namun, isu kehadiran Starlink jauh melampaui sekadar persaingan bisnis atau pemerataan akses. Dimensi kedaulatan digital dan keamanan nasional menjadi perhatian utama, sebagaimana diungkapkan oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG UI). Kajian dan rekomendasi kebijakan yang telah diterbitkan Universitas Indonesia pada tahun 2023, dan disampaikan kepada Komisi I DPR RI serta Kementerian/Lembaga terkait, menggarisbawahi ancaman serius yang ditimbulkan oleh kehadiran Starlink yang tidak diatur secara ketat.
Syauqillah dari SKSG UI mengingatkan bahwa ancaman tersebut mencakup berbagai aspek kedaulatan Indonesia, mulai dari kontrol spektrum nasional, pelindungan data, hingga potensi penyebaran separatisme digital di wilayah-wilayah sensitif. "Starlink bisa menjangkau Papua tanpa melewati jaringan nasional. Ini bukan sekadar soal koneksi, ini soal siapa yang mengendalikan informasi di wilayah rawan separatisme," ungkapnya dengan nada serius. Pernyataan ini menyoroti kerentanan serius dalam keamanan nasional, di mana komunikasi yang tidak dapat dipantau atau dikendalikan oleh otoritas negara dapat menjadi alat bagi kelompok-kelompok separatis untuk mengorganisir diri, menyebarkan propaganda, atau bahkan merencanakan aksi tanpa jejak yang dapat dideteksi oleh aparat keamanan. Ketersediaan akses internet di daerah terpencil memang krusial, namun tanpa pengawasan yang memadai, hal itu dapat menjadi pedang bermata dua.
Lebih lanjut, Syauqillah menilai bahwa pemerintah gagal memahami esensi kedaulatan digital. Kedaulatan digital bukan hanya tentang kecepatan internet, melainkan tentang kendali penuh atas infrastruktur dan data bangsa. Saat ini, data yang ditransmisikan melalui Starlink tidak tunduk pada otoritas lokal, tidak dikendalikan melalui gateway Indonesia, dan tidak diaudit sesuai hukum dalam negeri. Ini menciptakan celah hukum dan keamanan yang besar. Data-data sensitif, mulai dari informasi pribadi warga negara, data strategis pemerintah, hingga transaksi keuangan, berpotensi melintasi batas negara tanpa pengawasan yang memadai, membuka peluang bagi penyalahgunaan, spionase siber, atau bahkan intervensi asing.
Perbandingan antara Starlink dan operator nasional semakin memperjelas ketidakadilan dalam regulasi. Meskipun Starlink turut menghadirkan akses internet, mereka tidak bisa disamakan dengan operator nasional. Operator nasional diwajibkan untuk melakukan investasi besar dalam pembangunan jaringan fisik seperti menara BTS, kabel serat optik, dan infrastruktur pendukung lainnya di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah 3T yang secara komersial kurang menguntungkan. Mereka juga bertanggung jawab membangun SDM lokal, membayar pajak, retribusi spektrum frekuensi, serta memenuhi berbagai kewajiban layanan publik lainnya. Starlink, di sisi lain, beroperasi dengan model bisnis yang sangat berbeda, mengandalkan jaringan satelit global mereka dan titik layanan yang minim di darat, sehingga tidak memiliki beban investasi dan kewajiban serupa.
"Apakah data intelijen, data kesehatan, dan komunikasi strategis kita boleh begitu saja terbang ke luar angkasa dan kembali tanpa melewati kontrol nasional? Ini preseden yang sangat berbahaya," tegas peneliti SKSG UI tersebut. Kekhawatiran ini sangat beralasan. Dalam konteks keamanan siber global yang semakin kompleks, kedaulatan data menjadi pilar utama ketahanan nasional. Negara harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan, memantau, dan mengaudit lalu lintas data yang melintasi wilayah yurisdiksinya. Tanpa mekanisme kontrol ini, Indonesia berisiko menjadi "lahan bebas" bagi entitas asing untuk mengumpulkan informasi, melakukan pengawasan, atau bahkan memanipulasi data tanpa akuntabilitas.
Kondisi ini menempatkan Pemerintah Indonesia di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk mempercepat pemerataan akses internet, terutama di daerah yang belum terjangkau. Starlink, dengan kemampuannya menyediakan konektivitas di lokasi terpencil, menawarkan solusi cepat untuk celah ini. Namun, di sisi lain, ada taruhan besar terhadap kedaulatan digital, keamanan nasional, dan keberlangsungan industri telekomunikasi dalam negeri. Pemerintah perlu menimbang secara cermat antara manfaat konektivitas instan dan risiko jangka panjang terhadap kedaulatan dan ketahanan bangsa.
Langkah penghentian penambahan pelanggan baru oleh Starlink di Indonesia bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan yang ada. Ini adalah kesempatan untuk memperkuat kerangka regulasi, memastikan prinsip keadilan dan kedaulatan digital ditegakkan. Pemerintah perlu secara proaktif memastikan bahwa setiap penyedia layanan telekomunikasi, baik domestik maupun asing, tunduk pada hukum dan peraturan yang sama. Hal ini mencakup kewajiban untuk membangun gateway lokal, mematuhi undang-undang perlindungan data pribadi, membayar pajak dan retribusi yang adil, serta berkontribusi pada pengembangan sumber daya manusia dan industri lokal.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk terus mendorong dan mendukung pengembangan kapasitas industri satelit nasional. Proyek-proyek strategis seperti Satelit Republik Indonesia (SATRIA) dan inisiatif Palapa Ring harus terus diperkuat sebagai tulang punggung infrastruktur digital nasional. Dengan demikian, ketergantungan pada penyedia layanan asing dapat diminimalisir, dan Indonesia dapat membangun ketahanan digital yang mandiri dan berkelanjutan, demi menjaga kedaulatan di era digital yang semakin kompleks. Masa depan kedaulatan digital Indonesia sangat bergantung pada keberanian dan ketegasan pemerintah dalam mengambil keputusan strategis saat ini.
