
Aturan Pajak Pedagang Online 0,5 Persen Berlaku Kapan?
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mengambil langkah progresif dalam mengatur perpajakan di sektor ekonomi digital yang berkembang pesat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi menunjuk sejumlah platform marketplace besar, termasuk Shopee dan Tokopedia, sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari para pedagang online. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan keadilan fiskal dan memperluas basis pajak di tengah dinamika ekonomi digital yang semakin dominan. Namun, pertanyaan krusial yang muncul di kalangan pedagang dan pelaku ekonomi digital adalah: kapan aturan pajak 0,5 persen ini benar-benar akan berlaku secara efektif?
Besaran tarif pajak yang ditetapkan adalah 0,5 persen dari peredaran bruto yang diterima oleh pedagang online. Perlu ditegaskan bahwa perhitungan ini di luar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang memiliki regulasi terpisah. Peredaran bruto sendiri didefinisikan sebagai imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. Definisi ini penting untuk memastikan keseragaman dalam penghitungan dasar pengenaan pajak.
Ketentuan mengenai penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. PMK ini secara spesifik mengatur tentang Penunjukan Pihak lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE). Kehadiran PMK ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi implementasi kebijakan perpajakan di ranah digital.
Secara formal, PMK 37/2025 telah diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tanggal 11 Juni 2025. Selanjutnya, peraturan ini resmi diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 14 Juni 2025. Berdasarkan tanggal ini, secara hukum, aturan tersebut sudah sah dan mengikat. Namun, perlu dicatat bahwa keberlakuan secara praktis di lapangan memiliki nuansa yang lebih kompleks dan bertahap, tidak serta-merta berlaku secara otomatis bagi seluruh pedagang online pada tanggal tersebut.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa pelaksanaan aturan ini akan dilakukan secara bertahap. Hal ini mempertimbangkan kesiapan sistem dari pihak-pihak terkait, khususnya para platform marketplace yang ditunjuk sebagai pemungut pajak. "Kami sudah berkomunikasi dengan marketplace. Kami sosialisasikan dan mereka juga butuh penyesuaian di sistemnya. Ketika mereka sudah siap untuk implementasi, mungkin dalam sebulan-dua bulan ke depan baru kami tetapkan mereka sebagai pemungut PMSE," ujar Yoga dalam taklimat media pada Senin (14/47), seperti dikutip oleh Antara.
Pernyataan dari perwakilan DJP ini memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai lini masa implementasi. Artinya, meskipun PMK sudah berlaku secara hukum sejak 14 Juni 2025, pemungutan pajak oleh marketplace baru akan dimulai setelah mereka secara resmi ditetapkan sebagai pemungut oleh DJP dan sistem mereka siap. Proses penetapan ini diperkirakan memakan waktu antara satu hingga dua bulan setelah sosialisasi dan penyesuaian sistem dilakukan. Dengan demikian, pedagang online dapat memperkirakan bahwa pemungutan pajak ini kemungkinan besar akan mulai terlihat pada periode bulan Agustus atau September 2025, tergantung pada kesiapan masing-masing marketplace.
Kriteria pedagang online yang menjadi sasaran pemungutan pajak ini diatur secara rinci pada Bab Kedua PMK Nomor 37/2025. Ada dua kriteria utama yang harus dipenuhi oleh pedagang: pertama, mereka menerima penghasilan menggunakan rekening bank atau rekening keuangan sejenis; kedua, mereka bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol (IP) di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon negara Indonesia. Kriteria ini dirancang untuk memastikan bahwa yang dikenai pajak adalah pedagang dalam negeri yang secara substansial beroperasi di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Lebih lanjut, Pasal 5 Ayat (2) PMK 37/2025 menegaskan bahwa kriteria pedagang dalam negeri yang dimaksud tidak hanya mencakup penjual barang atau jasa secara langsung, tetapi juga meluas ke pihak-pihak lain yang terlibat dalam ekosistem PMSE. "Termasuk pedagang dalam negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), yaitu perusahaan jasa pengiriman atau ekspedisi, perusahaan asuransi, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik," bunyi pasal tersebut. Hal ini menunjukkan cakupan yang komprehensif dari kebijakan ini, mencakup seluruh mata rantai transaksi digital.
Salah satu aspek penting yang memberikan keringanan bagi pedagang skala kecil adalah adanya batasan penghasilan. Penghasilan yang dikenakan pajak diatur dalam Pasal 6 Ayat (6), yaitu ketika pedagang online memperoleh peredaran bruto lebih dari Rp500 juta per tahun. Batasan ini seringkali dikaitkan dengan kebijakan pajak penghasilan final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, di mana UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dapat memilih dikenakan PPh final 0,5 persen. Angka Rp500 juta per tahun ini berfungsi sebagai ambang batas di mana marketplace baru akan mulai memungut PPh Pasal 22.
Mekanisme pelaporan untuk batasan penghasilan ini juga diatur dengan jelas. Pedagang yang peredaran brutonya telah melebihi Rp500 juta per tahun diharuskan bersurat kepada marketplace tempatnya berjualan untuk menyampaikan bukti peredaran bruto tersebut. Surat pernyataan ini harus disampaikan paling lambat pada akhir bulan ketika peredaran bruto pedagang online sudah melebihi Rp500 juta. Ini memberikan tanggung jawab kepada pedagang untuk secara aktif melaporkan status omzet mereka.
Pasal 7 Ayat (3) PMK 37/2025 kemudian menjelaskan konsekuensi dari pelaporan tersebut: "Dalam hal pedagang dalam negeri menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (6), pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (1) wajib melakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mulai awal bulan berikutnya setelah surat pernyataan diterima oleh pihak lain." Artinya, jika seorang pedagang mencapai omzet Rp500 juta pada bulan Juli dan melaporkannya di akhir Juli, maka pemungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace akan dimulai pada awal bulan Agustus.
Kebijakan ini memiliki beberapa tujuan strategis bagi pemerintah. Pertama, untuk menciptakan kesetaraan perlakuan pajak antara pedagang konvensional (offline) dan pedagang online. Selama ini, pedagang online seringkali dianggap belum sepenuhnya berkontribusi pada penerimaan negara sebagaimana pedagang konvensional. Kedua, untuk memperluas basis pajak dan mengoptimalkan potensi penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus tumbuh pesat. Ketiga, untuk menyederhanakan kepatuhan pajak bagi UMKM online. Dengan adanya pemungutan oleh marketplace, pedagang tidak perlu lagi menghitung dan menyetor sendiri PPh Pasal 22 mereka, melainkan secara otomatis dipungut oleh platform.
Namun, implementasi kebijakan ini juga tidak lepas dari tantangan. Tantangan utama adalah sosialisasi yang masif dan efektif kepada jutaan pedagang online di seluruh Indonesia, terutama mereka yang masih berskala mikro dan mungkin kurang familiar dengan regulasi perpajakan. Selain itu, kesiapan sistem teknologi informasi dari pihak marketplace menjadi kunci. Integrasi sistem yang mulus antara DJP dan berbagai platform marketplace memerlukan investasi teknologi dan sumber daya yang tidak sedikit. Ada pula potensi kekhawatiran dari pedagang mengenai transparansi data dan privasi.
Meskipun demikian, kebijakan ini diharapkan dapat membawa dampak positif jangka panjang bagi ekosistem ekonomi digital di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang jelas, pedagang online akan memiliki kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Pemerintah juga akan memiliki data yang lebih akurat mengenai aktivitas ekonomi digital, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran di masa depan. Kerjasama yang erat antara pemerintah, marketplace, dan para pedagang akan menjadi kunci keberhasilan implementasi PMK 37/2025 ini. Para pedagang online disarankan untuk terus memantau informasi resmi dari DJP dan marketplace tempat mereka berjualan untuk memastikan kepatuhan dan menghindari potensi sanksi di kemudian hari. Dengan demikian, meskipun aturan telah berlaku secara hukum, waktu penerapan secara praktis akan mengikuti kesiapan infrastruktur dan koordinasi antarpihak terkait.
