
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terus berupaya untuk mengadaptasi kerangka perpajakan nasional seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi digital. Salah satu langkah konkret adalah penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK-37/2025). Regulasi ini hadir sebagai respons terhadap dinamika pasar daring yang semakin kompleks, bertujuan untuk menciptakan keadilan perpajakan dan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor digital.
Seiring dengan diberlakukannya PMK ini, muncul berbagai pertanyaan di tengah masyarakat, khususnya mengenai nasib para pelaku usaha di sektor ekonomi gig, seperti pengemudi ojek online (ojol), yang sangat bergantung pada platform digital untuk mencari nafkah. Kekhawatiran akan adanya beban pajak baru yang dapat memberatkan mitra pengemudi ojol menjadi sorotan publik. Menjawab kekhawatiran tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan secara tegas memberikan klarifikasi.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, menegaskan bahwa mitra ojek online tidak akan dipungut pajak penghasilan sehubungan dengan transaksi yang mereka lakukan di platform marketplace. "Ojek online ini tidak dipungut (pajak e-commerce), termasuk dalam pengecualian," ujar Hestu Yoga Saksama dalam taklimat media di Jakarta pada Selasa (15/7), sebagaimana dikutip dari Antaranews. Penegasan ini membawa angin segar bagi jutaan pengemudi ojol yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, memastikan bahwa beban pajak tambahan tidak akan membebani mereka di tengah tantangan ekonomi yang ada.
Baca Juga:
- Yamaha Tmax 560 2025: Penyegaran Warna dan Eksklusivitas Sang Raja Skuter Matic.
- Penyelidikan Mendalam Kecelakaan Maut Diogo Jota: Misteri Kecepatan, Ban Pecah, dan Lamborghini yang Hancur Lebur
- Ferrari Amalfi: Gran Turismo Revolusioner Penerus Tahta Roma dengan Performa dan Teknologi Terdepan.
- Daftar Provinsi yang Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan: Denda dan Tunggakan Dihapus!
- Daftar Ruas Tol yang Dapat Diskon Tarif, Saldo e-Toll Nggak Boleh Kurang!
Pengecualian ini bukan tanpa dasar. PMK 37/2025 secara spesifik mengatur lingkup dan jenis transaksi yang menjadi objek pemungutan pajak e-commerce, serta daftar pihak-pihak yang dikecualikan. Pemahaman mendalam terhadap substansi PMK ini penting untuk menghindari kesalahpahaman. Aturan ini menitikberatkan pada pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh "pedagang dalam negeri" yang melakukan transaksi melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dalam konteks ojol, status mereka lebih sebagai penyedia jasa transportasi atau pengiriman, bukan "pedagang" dalam pengertian konvensional yang menjual barang atau jasa secara mandiri di marketplace. Pendapatan mereka berasal dari layanan yang diberikan, dengan tarif yang telah ditentukan oleh platform, dan seringkali telah memiliki skema perpajakan atau pelaporan yang berbeda.
Selain ojek online, PMK 37/2025 juga mengecualikan beberapa jenis transaksi dan pelaku usaha lainnya dari pemungutan pajak e-commerce ini. Salah satunya adalah penjualan pulsa dan kartu perdana. Sektor ini telah memiliki aturan perpajakan tersendiri yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/2021. PMK 6/2021 mengatur secara spesifik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penyerahan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Adanya regulasi terpisah menunjukkan bahwa pemerintah telah memiliki skema khusus untuk sektor ini, mengingat karakteristik bisnisnya yang unik, volume transaksi yang tinggi, dan margin keuntungan yang relatif kecil. Oleh karena itu, untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan potensi pembebanan ganda, penjualan pulsa dan kartu perdana dikecualikan dari cakupan PMK 37/2025.
Pengecualian lain yang penting adalah penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan emas, batu permata, dan/atau batu lainnya yang sejenis, yang dilakukan oleh pabrik emas perhiasan, pedagang emas perhiasan, dan/atau pengusaha emas batangan. Industri emas dan perhiasan merupakan sektor yang memiliki karakteristik khusus, termasuk dalam hal harga yang fluktuatif, nilai komoditas yang tinggi, serta mekanisme perdagangan yang sudah mapan dan seringkali diatur oleh peraturan khusus. Pengecualian ini bertujuan untuk memastikan bahwa sektor ini tetap dapat beroperasi secara efisien tanpa terhambat oleh tambahan lapisan pajak e-commerce yang mungkin tidak sesuai dengan model bisnis dan regulasi yang sudah ada.
Terakhir, pungutan juga tidak dilakukan terhadap penjualan barang dan/atau jasa oleh pedagang yang menyampaikan informasi Surat Keterangan Bebas (SKB) pemotongan atau pemungutan PPh penjualan. SKB adalah dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dibebaskan dari pemotongan atau pemungutan PPh atas penghasilan tertentu, biasanya karena penghasilan tersebut telah dikenakan pajak final, telah dibayar di muka, atau Wajib Pajak sedang dalam kondisi rugi fiskal. Pengecualian ini menunjukkan komitmen DJP untuk menghindari pemungutan pajak berulang atau tidak semestinya, serta menghargai kepatuhan Wajib Pajak yang telah memenuhi kewajiban perpajakan mereka melalui mekanisme lain.
Penerbitan PMK 37/2025 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam sistem perpajakan, terutama antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha di sektor digital. Dengan semakin besarnya porsi transaksi yang beralih ke ranah digital, penting bagi pemerintah untuk memiliki mekanisme yang efektif dalam memungut pajak dari aktivitas ekonomi tersebut. Hal ini juga sejalan dengan tren global di mana banyak negara mulai meninjau ulang dan mengadaptasi kebijakan perpajakan mereka untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh ekonomi digital.
Meskipun PMK 37/2025 telah diterbitkan, implementasinya memerlukan persiapan yang matang dari berbagai pihak, terutama platform marketplace yang ditunjuk sebagai pihak pemungut. Hestu Yoga Saksama menyatakan, "Kami sudah berkomunikasi dengan marketplace. Kami sosialisasikan dan mereka juga butuh penyesuaian di sistemnya. Ketika mereka sudah siap untuk implementasi, mungkin dalam sebulan-dua bulan ke depan baru kami tetapkan mereka sebagai pemungut PMSE." Pernyataan ini mengindikasikan pendekatan yang hati-hati dan kolaboratif dari DJP, memberikan waktu yang cukup bagi platform untuk menyesuaikan sistem teknologi mereka agar dapat menjalankan fungsi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan. Kesiapan sistem merupakan kunci utama untuk memastikan kelancaran implementasi dan meminimalkan potensi kendala teknis yang dapat menghambat transaksi atau menimbulkan kebingungan di kalangan pedagang dan konsumen.
Langkah pemerintah ini juga mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya sektor UMKM yang banyak berpartisipasi di platform e-commerce. Dengan pengecualian yang jelas bagi ojek online dan jenis usaha tertentu lainnya, pemerintah menunjukkan sensitivitas terhadap dampak sosial ekonomi dari kebijakan perpajakan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa regulasi baru tidak justru menghambat inovasi atau membebani segmen masyarakat yang rentan.
Dalam jangka panjang, kebijakan perpajakan di sektor digital akan terus berkembang seiring dengan evolusi teknologi dan model bisnis. Pemerintah diharapkan terus melakukan evaluasi dan penyesuaian regulasi agar tetap relevan, adil, dan efektif. Komunikasi yang transparan dan sosialisasi yang masif kepada seluruh pemangku kepentingan, mulai dari platform, pedagang, hingga konsumen, akan menjadi kunci keberhasilan implementasi PMK 37/2025 dan regulasi perpajakan digital lainnya di masa depan. Dengan demikian, ekosistem ekonomi digital Indonesia dapat terus tumbuh secara berkelanjutan, memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional, sembari memastikan setiap pihak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan semestinya. Pembebasan ojek online dari pajak e-commerce ini menjadi contoh nyata komitmen pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan perlindungan terhadap sektor informal yang krusial bagi perekonomian.