Kapasitas Starlink Penuh di Indonesia: Komdigi Beberkan Solusi E-Band di Tengah Desakan Kedaulatan Digital Nasional

Kapasitas Starlink Penuh di Indonesia: Komdigi Beberkan Solusi E-Band di Tengah Desakan Kedaulatan Digital Nasional

Jakarta diguncang kabar mengejutkan dari raksasa teknologi antariksa, SpaceX, yang mengumumkan penghentian penambahan pelanggan baru untuk layanan internet berbasis satelit Starlink di Indonesia. Keputusan ini, menurut pernyataan resmi dari perusahaan milik Elon Musk tersebut, diambil karena kapasitas satelit Starlink untuk seluruh wilayah Indonesia diklaim telah habis terjual. Situasi ini sontak memicu beragam pertanyaan dan kekhawatiran, terutama mengingat ambisi Indonesia dalam pemerataan akses internet.

Menanggapi kondisi ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Direktur Jenderal Infrastruktur Digital, Wayan Toni Supriyanto, memberikan penjelasan gamblang mengenai langkah-langkah yang sedang ditempuh untuk mengatasi kendala kapasitas ini. Wayan Toni mengungkapkan bahwa Starlink saat ini tengah dalam proses intensif untuk menambah kapasitas jaringannya melalui pemanfaatan pita frekuensi E-Band. "Proses evaluasi dilakukan oleh Komdigi untuk memastikan penggunaan frekuensi E-Band tersebut memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia," ujar Wayan kepada awak media pada Selasa (15/7/2025).

Pita frekuensi E-Band, yang merujuk pada spektrum di rentang frekuensi radio antara 71-76 GHz dan 81-86 GHz, merupakan kunci dalam peningkatan kapasitas ini. Karakteristik utama frekuensi ini adalah panjang gelombangnya yang sangat pendek, berkisar antara 3,33 mm hingga 5 mm. Keunggulan ini memungkinkan penggunaan untuk aplikasi komunikasi dengan bandwidth sangat tinggi, menjadikannya ideal untuk keperluan backhaul radio frekuensi tinggi (RF) dan gelombang mikro. Inilah yang menjadikan E-Band sangat cocok untuk komunikasi satelit, termasuk yang diterapkan oleh SpaceX dalam jaringan Starlink mereka yang luas. Dengan memanfaatkan E-Band, Starlink dapat meningkatkan throughput data secara signifikan antara stasiun bumi (gateway) dan satelitnya di orbit rendah (LEO), sehingga mampu melayani lebih banyak pelanggan dengan kualitas layanan yang optimal.

Namun, penambahan kapasitas ini tidak serta merta dapat langsung diimplementasikan. Wayan Toni menegaskan bahwa ada beberapa tahapan krusial yang harus dipenuhi oleh Starlink. "Pita frekuensi E-Band tersebut akan dapat digunakan setelah Hak Labuh diperbaharui dan Starlink membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi sebagai tahap akhir prosesnya," sambungnya. Hak Labuh (Landing Rights) adalah izin yang wajib dimiliki oleh operator satelit asing untuk dapat mengoperasikan layanannya di suatu negara, memastikan kedaulatan spektrum frekuensi dan kepatuhan terhadap regulasi nasional. Sementara itu, PNBP BHP frekuensi merupakan kontribusi finansial yang dibayarkan kepada negara atas penggunaan sumber daya frekuensi radio yang terbatas. Kedua persyaratan ini merupakan bagian integral dari kerangka regulasi telekomunikasi di Indonesia, bertujuan untuk mengatur dan memastikan pemanfaatan spektrum frekuensi yang tertib, efisien, dan memberikan manfaat bagi negara.

Besaran kapasitas tambahan yang akan diperoleh dari pemanfaatan pita frekuensi E-Band ini sangat bergantung pada skema implementasi di lapangan oleh Starlink. Wayan Toni menjelaskan, faktor-faktor seperti jumlah stasiun gateway yang menggunakan E-Band, daya pancar yang diizinkan, dan lebar bandwidth yang diutilisasi akan sangat menentukan kapasitas total yang dapat disediakan. "Misalnya, jumlah stasiun gateway yang menggunakan E-Band, daya pancar, lebar bandwidth yang diutilisasi, dan lain sebagainya," ucap Wayan, mengindikasikan bahwa Starlink perlu mempresentasikan rencana teknis yang komprehensif kepada Komdigi.

Terkait estimasi waktu penyelesaian proses penambahan kapasitas ini, Komdigi menekankan bahwa kecepatan proses sepenuhnya berada di tangan SpaceX. "Sama dengan proses izin, tergantung kelengkapan dokumennya," tegas Wayan. Pernyataan ini menyiratkan bahwa Komdigi siap memproses permohonan dengan cepat begitu semua persyaratan administratif dan teknis telah dipenuhi secara lengkap oleh pihak Starlink. Hal ini juga menyoroti pentingnya koordinasi dan efisiensi dalam penyampaian dokumen dari pihak Starlink agar layanan dapat segera tersedia kembali bagi pelanggan baru di Indonesia.

Pengumuman "kapasitas penuh" ini pertama kali mencuat dari situs resmi Starlink pada Minggu (13/7/2025). Dalam pesannya, Starlink menyatakan, "Layanan Starlink saat ini tidak tersedia untuk pelanggan baru di wilayah Anda karena kapasitasnya telah habis terjual di seluruh Indonesia." Meskipun demikian, SpaceX tetap membuka keran pemesanan dari pelanggan Indonesia yang ingin mengantre untuk mendapatkan layanan internet miliknya itu. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa SpaceX belum mengungkapkan kepastian kapan layanan tersebut akan tersedia kembali, meninggalkan banyak calon pelanggan dalam ketidakpastian.

Starlink, sebagai penyedia layanan internet berbasis satelit orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO), bukanlah pemain baru di kancah telekomunikasi Indonesia. Mereka pertama kali resmi tersedia untuk pelanggan bisnis pada Juni 2022, menggandeng Telkomsat, anak perusahaan Telkom, sebagai penyedia backhaul. Kolaborasi ini memungkinkan Starlink untuk menjangkau segmen pasar korporat dan institusi dengan kebutuhan konektivitas yang tinggi. Perkembangan signifikan terjadi pada Mei 2024, ketika Elon Musk secara langsung hadir di Indonesia untuk meresmikan perluasan cakupan bisnis Starlink yang kini menyasar segmen konsumen atau ritel. Kehadiran Musk saat itu menandai komitmen Starlink untuk menyediakan layanan internet bagi masyarakat umum di seluruh pelosok Indonesia, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh infrastruktur fiber optik atau seluler.

Namun, kehadiran dan operasional Starlink di Indonesia tidak lepas dari sorotan tajam, terutama dari pelaku usaha dalam negeri. Banyak pihak mengkhawatirkan sikap pemerintah Indonesia yang dinilai terlalu lunak terhadap operasional dan investasi Starlink. Kecemasan ini berakar pada potensi ketidakseimbangan persaingan dan dampak terhadap kedaulatan infrastruktur digital nasional. Pelaku usaha dalam negeri, khususnya yang bergerak di sektor satelit dan telekomunikasi, mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih protektif dan memberdayakan satelit nasional agar tetap memiliki ruang tumbuh yang adil dan berkelanjutan.

Firdaus Adinugroho, Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), menyuarakan keprihatinan ini dengan tegas. "Prinsip keadilan akses dan pemerataan digital tetap harus menjadi pegangan utama dalam setiap kebijakan konektivitas nasional," kata Firdaus. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya menjaga ekosistem industri telekomunikasi yang seimbang, di mana pemain domestik dapat bersaing secara sehat dengan raksasa global. Kekhawatiran utama meliputi potensi dominasi pasar oleh Starlink, implikasi terhadap penerimaan pajak, kepatuhan terhadap regulasi lokal, serta isu kedaulatan data.

Kedaulatan dan ketahanan infrastruktur digital Indonesia di masa mendatang menjadi isu krusial dalam perdebatan ini. Ketergantungan yang berlebihan pada satu penyedia layanan asing, meskipun menawarkan teknologi canggih, dapat menimbulkan risiko strategis. Isu-isu seperti lokasi server data, standar keamanan siber, dan kemampuan pemerintah untuk memantau serta mengatur lalu lintas data menjadi sangat relevan. Di sisi lain, Starlink menawarkan solusi konektivitas yang cepat dan relatif mudah diterapkan di wilayah geografis Indonesia yang luas dan tersebar, sebuah keuntungan yang tidak dapat diabaikan dalam upaya pemerintah untuk mencapai pemerataan digital.

Situasi "kapasitas penuh" Starlink di Indonesia saat ini menjadi barometer penting bagi masa depan konektivitas digital di negara ini. Ini bukan hanya masalah teknis penambahan bandwidth, melainkan juga cerminan dari kompleksitas regulasi, persaingan industri, dan visi strategis Indonesia dalam membangun infrastruktur digital yang tangguh dan berdaulat. Bagaimana Komdigi dan Starlink dapat menyelesaikan isu kapasitas ini, serta bagaimana pemerintah akan menyeimbangkan kepentingan investasi asing dengan perlindungan industri nasional, akan sangat menentukan lanskap telekomunikasi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Di tengah ambisi besar untuk menghubungkan seluruh pelosok negeri, memastikan "keadilan akses dan pemerataan digital" akan tetap menjadi pekerjaan rumah utama bagi semua pemangku kepentingan.

Kapasitas Starlink Penuh di Indonesia: Komdigi Beberkan Solusi E-Band di Tengah Desakan Kedaulatan Digital Nasional

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *