
Penggunaan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) atau pelat nomor dinas palsu di jalan raya terus menjadi fenomena yang meresahkan, dengan mobil SUV seperti Toyota Fortuner kerap kali menjadi sorotan utama dalam kasus-kasus pelanggaran ini. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan indikasi dari perilaku mencari privilese di jalanan yang berpotensi membahayakan keselamatan lalu lintas dan merusak citra institusi negara. Berbagai kasus telah terungkap, menunjukkan modus operandi yang berulang dengan tujuan yang jelas: menghindari penegakan hukum dan mendapatkan prioritas.
Kasus terbaru yang mencuat adalah insiden kecelakaan beruntun di Utan Kayu, Jakarta Timur, pada hari Jumat lalu, yang melibatkan sebuah Toyota Fortuner yang ternyata menggunakan pelat nomor dinas palsu. Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Komaruddin, mengungkapkan bahwa penggunaan pelat dinas palsu ini disinyalir kuat bertujuan untuk menghindari tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). "Salah satu fakta yang kemarin, baru-baru ini terjadi, kecelakaan lalu lintas yang di Rawamangun atau beruntun, itu ternyata TNKB (tanda nomor kendaraan bermotor/pelat nomor)-nya menggunakan TNKB palsu," jelas Kombes Komaruddin, menyoroti betapa dekatnya pelanggaran ini dengan insiden serius di jalan.
Motif utama di balik penggunaan pelat dinas palsu ini adalah upaya untuk mengelabui sistem ETLE. Para pengguna berharap, dengan menyamar sebagai kendaraan dinas, mereka dapat luput dari tangkapan kamera ETLE yang secara otomatis merekam pelanggaran lalu lintas. Padahal, sistem ETLE kini telah dirancang sedemikian rupa untuk dapat mengidentifikasi dan menangkap data kendaraan dinas maupun pribadi. "Bukan hanya kendaraan masyarakat, tapi kendaraan dinas juga ter-capture oleh ETLE," tegas Komaruddin. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa kepolisian telah berkoordinasi erat dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI dan Propam Mabes Polri. Koordinasi ini memastikan bahwa seluruh kendaraan dinas, baik dari TNI maupun Polri, tetap masuk dalam jangkauan pemantauan ETLE. Hal ini dilakukan karena yang menjadi sasaran utama penegakan hukum adalah perilaku pengemudi, bukan semata-mata objek kendaraannya. Pendekatan ini menunjukkan komitmen aparat untuk menindak pelanggaran secara merata, tanpa memandang status kendaraan.
Baca Juga:
- Panduan Lengkap Perpanjangan SIM 2024: Syarat, Biaya, Lokasi, dan Aturan BPJS Terbaru
- Harga Setir Mobil Formula 1: Lebih dari Sekadar Kemudi, Sebuah Mahakarya Teknologi Bernilai Miliaran Rupiah.
- Presiden Prabowo di Paris: Diplomasi Megah, Maybach Mewah, dan Makna Tamu Kehormatan Bastille Day
- GWM Ora 03: Mobil Listrik Mungil Berdesain Retro-Futuristik Siap Menggebrak Pasar Indonesia dengan Harga Promo Menarik
- Insentif LCGC Lanjut sampai 2031
Selain menghindari ETLE, alasan lain yang tak kalah krusial adalah upaya untuk mendapatkan prioritas dan perlakuan khusus di jalan. Praktisi keselamatan berkendara sekaligus Director Training Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), Sony Susmana, menjelaskan bahwa atribut seperti strobo, pelat nomor, dan warna khusus pada kendaraan dinas resmi memang diberikan untuk menunjang tugas negara yang bersifat mendesak. Namun, Sony mengamati bahwa masyarakat atau oknum tak bertanggung jawab banyak memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan fasilitas kelancaran di jalan umum. "Ada beberapa jenis kendaraan yang digunakan oleh pihak TNI/Polri sebagai alat transportasi kedinasan dan beberapa dilengkapi alat bantu seperti strobo, pelat nomor dan warna khusus. Masyarakat atau oknum yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini banyak memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas kelancaran di jalan umum, sehingga segala cara dilakukan supaya tidak kena macet, menerobos barikade dan lain-lain," ujar Sony.
Perilaku ini mencerminkan mentalitas yang mencari keuntungan pribadi dengan melanggar aturan dan etika berlalu lintas. Penggunaan pelat dinas palsu memungkinkan individu tersebut untuk merasa memiliki hak istimewa, seperti menerobos kemacetan, melewati lampu merah, atau bahkan menggunakan jalur khusus yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi kendaraan darurat atau dinas yang sedang dalam tugas. Ini adalah bentuk penyalahgunaan yang serius karena menciptakan disparitas penegakan hukum dan merusak tatanan lalu lintas.
Sony Susmana secara tegas mengingatkan bahwa fasilitas prioritas yang diberikan kepada petugas resmi adalah dalam rangka menjalankan tugas negara yang strategis dan vital, bukan untuk kepentingan pribadi atau semata-mata menghindari kemacetan. Jika diikuti oleh masyarakat sipil yang tidak memahami aturan dan tujuan di baliknya, perilaku ini justru akan mencoreng citra institusi negara dan berpotensi besar membahayakan lalu lintas. "Sehingga justru akan mencoreng institusi negara dan bahkan bisa membahayakan lalu lintas," sebutnya. Ia menekankan pentingnya disiplin diri sebagai fondasi utama keselamatan berkendara. "Jadi banyak masyarakat yang tidak paham dalam melihat dan memahami, sehingga mencontoh yang tidak benar. Pesan saya, mulailah disiplin dari diri sendiri, bukan mencontoh dari yang tidak baik," tutup Sony.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa Toyota Fortuner seringkali menjadi pilihan utama bagi para pelaku yang menggunakan pelat dinas palsu? Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi. Pertama, Fortuner adalah SUV berukuran besar yang secara visual memberikan kesan tangguh dan berwibawa, mirip dengan karakteristik kendaraan dinas resmi yang sering digunakan oleh aparat atau pejabat tinggi. Hal ini menciptakan persepsi otoritas di jalan. Kedua, Fortuner memang seringkali menjadi kendaraan operasional resmi di berbagai instansi pemerintah dan militer, sehingga penggunaan pelat dinas palsu pada mobil jenis ini akan lebih mudah dipercaya atau kurang dicurigai oleh masyarakat umum. Ketiga, ukuran dan performa Fortuner yang mumpuni juga mendukung perilaku agresif di jalan, seperti menerobos atau mengambil hak jalan, yang kerap dilakukan oleh mereka yang mencari prioritas.
Terungkapnya penggunaan pelat dinas palsu pada Fortuner bukanlah kejadian baru. Ini adalah pola berulang yang telah terjadi beberapa kali sebelumnya. Pada tahun 2021, misalnya, viral sebuah video di media sosial yang menunjukkan pengendara Toyota Fortuner diberhentikan oleh petugas karena menggunakan pelat nomor dinas Polri bernomor 351-00. Setelah diperiksa, terbukti bahwa pelat nomor polisi yang digunakan pada Fortuner tersebut palsu. Setahun kemudian, pada tahun lalu, kembali viral kasus pengemudi Fortuner yang menunjukkan sikap arogan saat melintas di Tol Jakarta-Cikampek dengan menggunakan pelat nomor TNI. Hasil penyelidikan kemudian juga mengungkap bahwa pelat TNI yang digunakan pengendara tersebut adalah palsu. Kasus-kasus ini mengindikasikan bahwa fenomena ini bukan insiden sporadis, melainkan masalah sistemik yang membutuhkan penanganan serius dan berkelanjutan.
Implikasi hukum dari penggunaan pelat nomor dinas palsu sangatlah serius. Tindakan ini tidak hanya melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), tetapi juga dapat dikenai pasal pemalsuan dokumen sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat, yang ancaman hukumannya bisa mencapai enam tahun penjara. Selain itu, mereka juga melanggar ketentuan terkait TNKB yang sah, yang dapat berujung pada denda dan bahkan penahanan kendaraan. Lebih dari sekadar sanksi hukum, perilaku ini mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara dan aparat penegak hukum. Ketika masyarakat melihat oknum sipil dengan mudah menyalahgunakan atribut resmi, muncul keraguan terhadap integritas dan efektivitas penegakan hukum. Hal ini pada gilirannya dapat memicu ketidakpatuhan dan anarki di jalan raya.
Untuk mengatasi masalah yang terus berulang ini, diperlukan pendekatan multisektoral. Pertama, penegakan hukum harus lebih masif dan tanpa pandang bulu. Patroli rutin dan operasi penertiban harus ditingkatkan, tidak hanya di jalan-jalan protokol tetapi juga di area-area yang rawan pelanggaran. Kedua, pemanfaatan teknologi ETLE harus terus dioptimalkan, dengan kemampuan identifikasi yang lebih canggih untuk membedakan pelat asli dan palsu, serta integrasi data yang lebih baik antara kepolisian, TNI, dan instansi terkait lainnya. Ketiga, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya dan konsekuensi hukum dari penggunaan pelat dinas palsu perlu digencarkan. Masyarakat harus memahami bahwa mencari privilese dengan cara ilegal tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan keselamatan umum dan merusak tatanan sosial. Keempat, bagi institusi negara, perlu ada pengawasan internal yang lebih ketat terhadap penggunaan kendaraan dinas dan atributnya, memastikan tidak ada celah bagi oknum untuk menyalahgunakannya.
Pada akhirnya, fenomena pelat dinas palsu ini adalah cerminan dari budaya lalu lintas yang masih belum sepenuhnya disiplin di Indonesia. Diperlukan kesadaran kolektif dari setiap individu untuk mematuhi aturan, bukan karena takut ditilang, melainkan karena kesadaran akan pentingnya keselamatan dan ketertiban bersama. Dengan penegakan hukum yang tegas, teknologi yang cerdas, dan kesadaran masyarakat yang tinggi, diharapkan jalan raya kita dapat menjadi tempat yang lebih aman dan tertib bagi semua pengguna.
