
Harga mobil di Indonesia saat ini dinilai tidak lagi sejalan dengan tingkat pendapatan mayoritas masyarakat, sebuah kesenjangan yang semakin melebar akibat kombinasi faktor pungutan pajak pemerintah yang tinggi dan margin keuntungan pabrikan. Situasi ini bukan hanya menjadi beban bagi konsumen, melainkan juga ancaman serius bagi keberlangsungan industri otomotif nasional yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian.
Riyanto, Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyoroti secara tajam disparitas ini. Menurutnya, jurang antara pendapatan riil masyarakat dan harga jual mobil baru kian menganga, khususnya bagi segmen pembeli yang mengincar kendaraan di bawah kisaran harga Rp 300 juta. Segmen ini, yang notabene merupakan pangsa pasar terbesar dan paling sensitif terhadap harga, kini dihadapkan pada dilema besar antara kebutuhan mobilitas dan kemampuan finansial.
Permasalahan utama terletak pada struktur biaya yang membentuk harga akhir sebuah mobil baru. Komponen pajak yang melekat pada harga kendaraan baru di Indonesia memang sangat signifikan, bahkan dapat mencapai hampir 50% dari total harga. Pungutan ini meliputi berbagai jenis, mulai dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga berbagai biaya administratif terkait penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Setiap lapisan pajak ini menambah beban yang harus ditanggung konsumen, mengubah mobil dari kebutuhan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau.
Baca Juga:
- Kemenhub Tegaskan Kenaikan Tarif Ojol Masih dalam Kajian Mendalam: Menyeimbangkan Kesejahteraan Mitra dan Keterjangkauan Pengguna
- Tina Talisa: Dari Stafsus Wapres Gibran ke Komisaris Pertamina Patra Niaga, Kekayaan dan Garasi Mewah Jadi Sorotan
- Gugatan Terhadap Mobil Esemka Memasuki Babak Krusial: Penolakan Pemeriksaan Pabrik dan Pertaruhan Janji Nasional.
- Ancaman ODOL: Jeratan Menahun, Korban Berjatuhan, dan Beban Triliunan Rupiah di Balik Isu Tanggung Jawab Sopir
- BYD Seagull: Dari Rekor Penjualan Global Hingga Antisipasi Kedatangan di Indonesia
PPnBM, misalnya, adalah pajak yang dikenakan pada barang-barang yang dianggap mewah atau memiliki nilai jual tinggi, termasuk mobil. Tujuannya adalah untuk mengendalikan konsumsi barang mewah dan sekaligus menjadi sumber pendapatan negara. Namun, dengan tarif yang mencapai 15% atau lebih untuk beberapa kategori mobil, PPnBM secara langsung meningkatkan harga jual kendaraan. Sementara itu, PPN sebesar 12% adalah pajak konsumsi umum yang dikenakan pada hampir semua barang dan jasa, termasuk mobil. Penjumlahan kedua pajak ini saja sudah memberikan kontribusi substansial pada harga akhir.
Belum lagi PKB dan BBNKB, yang merupakan pajak daerah dan bea atas kepemilikan dan transfer kepemilikan kendaraan. Kedua jenis pajak ini memiliki tarif yang bervariasi antar provinsi, namun secara umum berkontribusi sekitar 10-14% dari harga kendaraan. Meskipun tujuannya adalah untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan layanan publik di daerah, akumulasi dari berbagai jenis pajak ini menciptakan "beban pajak berganda" yang membuat harga mobil baru menjadi sangat mahal di mata konsumen.
Untuk mengatasi permasalahan harga yang tidak kompetitif ini, Riyanto menawarkan serangkaian rekomendasi yang perlu dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah. Langkah pertama dan paling krusial adalah mengurangi porsi pungutan pajak. "Komponen pajak mobil yang sekarang sekitar 41% harus dikurangi," tegas Riyanto. Ia secara spesifik menyarankan penurunan PPnBM dari 15%, PPN dari 12%, serta PKB dan BBNKB dari 14%. Penyesuaian tarif ini diharapkan dapat secara langsung memangkas harga jual kendaraan, membuatnya lebih terjangkau bagi lapisan masyarakat yang lebih luas.
Lebih lanjut, Riyanto menyoroti isu "opsen PKB dan BBNKB," sebuah kebijakan yang memungkinkan pemerintah daerah untuk memungut bagian dari pendapatan pajak pusat. Ia menekankan pentingnya formulasi kebijakan opsen ini sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan kenaikan PKB dan BBNKB, meskipun ada penambahan pungutan opsen. "Ini bisa? Bisa, karena beberapa provinsi bisa," jelasnya, mengisyaratkan bahwa ada preseden dan praktik terbaik yang dapat diadopsi untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak justru menambah beban pajak bagi masyarakat. Fleksibilitas dalam pengelolaan pajak daerah ini menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan antara pendapatan negara dan daya beli masyarakat.
Selain intervensi pajak dari pemerintah, Riyanto juga menekankan pentingnya peran serta produsen kendaraan. Dalam kondisi pasar yang sedang lesu dan daya beli yang menurun, satu-satunya cara bagi pabrikan untuk tetap kompetitif dan menjaga volume penjualan adalah dengan mengorbankan sebagian margin keuntungan mereka. "Di samping itu, diskon harga ya, produsen mengurangi margin," ujarnya. Ini adalah langkah strategis yang, meskipun mungkin mengurangi keuntungan jangka pendek, dapat menjaga roda produksi tetap berputar, mencegah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif di sektor industri otomotif, dan pada akhirnya menjaga stabilitas ekonomi. Sinergi antara pemerintah yang mengurangi pajak dan pabrikan yang merelakan margin menjadi kunci untuk menyelamatkan industri dan daya beli masyarakat.
Namun, resep untuk mendorong pembelian mobil tidak berhenti pada penyesuaian harga dan margin. Riyanto juga menyoroti pentingnya mempermudah fasilitas kredit kendaraan. Realitasnya, tidak semua lapisan masyarakat mampu membeli mobil secara tunai. Kredit menjadi jalur utama bagi banyak konsumen untuk memiliki kendaraan. Oleh karena itu, kebijakan yang mempermudah akses kredit, seperti suku bunga yang lebih rendah, persyaratan uang muka yang lebih ringan, atau tenor pinjaman yang lebih panjang, akan sangat membantu menggerakkan pasar. Di tengah perlambatan ekonomi, fasilitas kredit yang lebih akomodatif dapat menjadi stimulus vital yang menjaga aktivitas pembelian tetap berjalan.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah peningkatan daya beli masyarakat secara umum melalui kebijakan fiskal yang pro-rakyat. Salah satunya adalah dengan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP adalah batas pendapatan seseorang yang tidak dikenai pajak penghasilan. Jika batas PTKP dinaikkan, lebih banyak pendapatan masyarakat yang tidak terpotong pajak, sehingga meningkatkan pendapatan bersih atau daya beli mereka. Riyanto mengusulkan kenaikan batas PTKP, misalnya, agar hanya pendapatan di atas Rp 10 juta per bulan yang mulai dikenai pajak penghasilan. Peningkatan PTKP akan memberikan lebih banyak uang saku bagi masyarakat, yang dapat dialokasikan untuk uang muka mobil, cicilan, atau kebutuhan lainnya, secara langsung meningkatkan kapasitas mereka untuk membeli barang-barang konsumsi, termasuk mobil.
Semua resep kebijakan ini, menurut Riyanto, sejatinya selaras dengan teori ekonomi Keynesian yang dikemukakan oleh John Maynard Keynes. Dalam situasi ekonomi yang melambat atau resesi, teori Keynesian menganjurkan intervensi pemerintah melalui stimulus fiskal dan moneter, termasuk pengurangan pajak, untuk mendorong permintaan agregat dan memulihkan pertumbuhan ekonomi. Dengan mengurangi beban pajak dan memberikan stimulus langsung atau tidak langsung kepada konsumen, pemerintah dapat memicu kembali roda perekonomian, meningkatkan konsumsi, dan pada gilirannya, mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja. Sektor otomotif, dengan rantai pasok yang panjang dan penyerapan tenaga kerja yang besar, adalah salah satu sektor yang paling responsif terhadap stimulus semacam ini.
Indikasi jelas dari melemahnya daya beli dan pasar otomotif tercermin dari data penjualan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Penjualan mobil secara wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) pada periode Januari hingga Juni 2025 tercatat hanya 374.740 unit. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar 8,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Januari hingga Juni 2024, yang mampu mencapai 410.020 unit. Penurunan wholesales ini merupakan sinyal awal bahwa pasokan ke dealer mulai dikurangi karena ekspektasi permintaan yang menurun.
Situasi serupa juga terlihat pada data retail sales (penjualan langsung dari dealer ke konsumen). Gaikindo mencatat bahwa retail sales pada Januari-Juni 2024 mencapai 432.453 unit. Namun, pada periode yang sama tahun ini, angka tersebut merosot menjadi 390.467 unit, menunjukkan penurunan sebesar 9,7%. Penurunan retail sales yang lebih besar dibandingkan wholesales mengindikasikan bahwa konsumen memang menahan diri untuk membeli mobil, mengkonfirmasi kekhawatiran Riyanto mengenai daya beli yang menurun. Data-data ini tidak hanya sekadar angka, melainkan cerminan nyata dari perlambatan ekonomi yang mempengaruhi sektor otomotif secara langsung, berpotensi memicu konsekuensi yang lebih luas bagi lapangan kerja dan pertumbuhan industri.
Keseluruhan analisis ini menegaskan bahwa permasalahan harga mobil yang tidak terjangkau bukanlah isu tunggal, melainkan kompleksitas yang melibatkan berbagai faktor struktural, fiskal, dan perilaku pasar. Untuk mengembalikan gairah pasar otomotif dan memastikan mobilitas yang lebih inklusif bagi masyarakat, diperlukan pendekatan multi-pronged yang melibatkan koordinasi erat antara pemerintah dan pelaku industri. Pemerintah perlu berani mereformasi struktur pajak kendaraan bermotor, menciptakan iklim fiskal yang lebih kondusif bagi konsumen dan industri. Di sisi lain, produsen harus fleksibel dalam strategi penetapan harga dan margin keuntungan, mengutamakan volume penjualan dan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Bersamaan dengan itu, kebijakan yang mendukung peningkatan daya beli masyarakat melalui kemudahan akses kredit dan penyesuaian PTKP akan menjadi katalisator penting. Hanya dengan langkah-langkah komprehensif dan kolaboratif ini, sektor otomotif Indonesia dapat kembali bergeliat, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat secara lebih merata.
