
Dimulai dari keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 hingga pertengahan abad ke-15, Abad Pertengahan adalah periode sejarah yang penuh dengan tantangan dan kesulitan yang tak terbayangkan oleh standar kehidupan modern. Dengan populasi global yang jauh lebih sedikit, berkisar beberapa ratus juta jiwa, dan kurang dari 25 juta di Eropa, kehidupan saat itu sangatlah keras. Tanpa kemajuan medis, hak-hak asasi yang terbatas, dan kerja keras yang tiada henti, bahkan 24 jam di era ini akan terasa seperti siksaan. Berikut adalah 10 alasan kuat mengapa kamu tidak akan sanggup bertahan hidup di Abad Pertengahan:
1. Pes dan Wabah yang Mengerikan
Salah satu momok terbesar di Abad Pertengahan adalah wabah penyakit yang mematikan. Puncak kengerian ini terjadi pada tahun 1347 dengan munculnya ‘Black Death’ atau Maut Hitam di Eropa. Wabah ini, yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang dibawa oleh kutu pada tikus, menyebar dengan kecepatan yang mengerikan dan menyebabkan kekacauan sosial dan demografis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para sejarawan memperkirakan sekitar 20 juta orang tewas dalam beberapa tahun pertama, dan dalam waktu singkat, hampir setengah populasi Eropa musnah. Wabah ini bukan hanya membunuh, tetapi juga menghancurkan struktur sosial, ekonomi, dan bahkan keagamaan masyarakat. Ketakutan akan kematian yang tak terhindarkan, seringkali dalam hitungan hari, menciptakan suasana keputusasaan yang mendalam. Selain Black Death, wabah lain seperti tifus, disentri, dan campak juga terus-menerus mengancam, memastikan bahwa penyakit adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
2. Kehidupan yang Buruk dan Kematian Dini
Di Abad Pertengahan, kehidupan adalah perjuangan yang konstan melawan kelaparan, penyakit, dan kondisi sanitasi yang sangat buruk. Wabah ‘Black Death’ hanyalah salah satu dari sekian banyak ancaman. Penyakit endemik seperti tuberkulosis, kusta, kolera, cacar, dan disentri merajalela karena kurangnya pemahaman tentang kebersihan dan sanitasi. Konsep dasar kebersihan seperti mencuci tangan atau membuang limbah dengan benar hampir tidak ada. Di kota-kota yang padat seperti London atau Paris, tidak ada sistem pembuangan limbah yang memadai. Kotoran manusia dan limbah rumah tangga seringkali dibuang langsung ke jalanan, menciptakan lingkungan yang menjadi sarang penyakit dan bau busuk yang tak tertahankan. Air minum sering terkontaminasi. Meskipun orang kaya mungkin memiliki akses ke fasilitas kebersihan yang lebih baik, bagi mayoritas penduduk, kebersihan adalah kemewahan yang langka. Akibatnya, angka harapan hidup sangat rendah, seringkali tidak lebih dari 30 hingga 40 tahun, dengan tingkat kematian bayi dan anak yang sangat tinggi.
3. Perang Tiada Henti yang Brutal
Abad Pertengahan adalah era yang diwarnai oleh konflik bersenjata yang hampir tak pernah berhenti. Selain perang-perang lokal antar tuan tanah feodal, ada pula konflik berskala besar yang berlangsung selama beberapa dekade, bahkan lebih dari satu abad. Salah satu contoh paling terkenal adalah Perang Seratus Tahun (1337-1453) antara Inggris dan Prancis. Perang-perang ini seringkali berlangsung sangat lama dan brutal karena kurangnya senjata modern yang mampu memberikan pukulan telak yang menentukan. Taktik perang didominasi oleh pengepungan benteng yang memakan waktu lama, pertempuran jarak dekat dengan pedang, tombak, dan busur, serta penjarahan wilayah musuh. Dampak perang ini sangat menghancurkan bagi penduduk sipil; lahan pertanian hancur, desa-desa dibakar, dan pasokan makanan terganggu, menyebabkan kelaparan dan pengungsian massal. Konsep perlindungan warga sipil hampir tidak ada, dan kekejaman adalah hal yang lumrah di medan perang.
4. Kekejaman dalam Sistem Hukum dan Sosial
Sistem hukum di Abad Pertengahan sangatlah keras dan seringkali tidak proporsional. Penjahat berat seperti pembunuh atau perampok menghadapi hukuman yang mengerikan, termasuk hukuman mati dengan cara yang menyakitkan dan memalukan di depan umum. Namun, masalahnya adalah banyak pelanggaran kecil pun dapat menerima hukuman yang sama kejamnya. Menjadi gelandangan, pengemis, atau bahkan sekadar menganggur seringkali dianggap sebagai tindak pidana yang serius di sebagian besar wilayah Eropa, yang dapat berujung pada cambuk, branding, atau bahkan kematian. Orang miskin seringkali dilarang menikah tanpa izin tuan mereka, menunjukkan betapa rendahnya otonomi pribadi mereka. Di beberapa tempat, perempuan bahkan bisa dihukum karena "terlalu banyak bergosip" atau "mencaci maki" dengan alat penyiksaan seperti scold’s bridle atau ducking stool. Anehnya, bahkan bermain sepak bola sempat dilarang di Inggris pada tahun 1314 karena dianggap terlalu gaduh dan mengganggu ketertiban umum. Kekejaman ini mencerminkan upaya keras para penguasa untuk menjaga tatanan sosial yang kaku melalui ketakutan.
5. Kehidupan Feodal yang Brutal dan Tak Adil
Struktur sosial Abad Pertengahan didominasi oleh sistem feodal yang membagi masyarakat menjadi kelas-kelas yang kaku: bangsawan, klerus, dan rakyat jelata. Kehidupan yang layak hanya dinikmati oleh segelintir orang yang terlahir sebagai raja, bangsawan, atau tuan tanah. Mayoritas penduduk adalah petani atau hamba (serf) yang terikat pada tanah dan tuan mereka. Para penguasa ini memiliki hak istimewa yang luas, termasuk kemampuan untuk memberlakukan pajak sesuka hati, seringkali dengan sangat brutal. Pajak ini bisa berupa sebagian besar hasil panen, kerja paksa di tanah tuan (corvée), atau biaya penggunaan fasilitas milik tuan seperti penggilingan atau oven. Hamba tidak memiliki kebebasan untuk meninggalkan tanah tanpa izin tuan mereka, dan hidup mereka sepenuhnya didikte oleh kehendak penguasa. Mobilitas sosial hampir tidak ada; seseorang yang terlahir sebagai petani hampir pasti akan mati sebagai petani, tanpa harapan untuk meningkatkan taraf hidupnya atau mendapatkan pendidikan.
6. Pengobatan yang Sangat Kacau dan Mitos Medis
Pengobatan di Abad Pertengahan jauh dari kata ilmiah dan seringkali didasarkan pada takhayul dan teori yang salah. Sekitar tahun 540 SM, seorang dokter Yunani bernama Alkmaeon dari Kroton memperkenalkan konsep populer bahwa kesehatan manusia bergantung pada keseimbangan empat cairan tubuh, atau "humor": darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam. Meskipun teori ini salah, ia bertahan selama ribuan tahun dan menjadi dasar praktik medis di Abad Pertengahan. Tidak seperti orang Yunani kuno yang mulai mengakui penyebab fisik suatu penyakit, orang-orang di Abad Pertengahan sering mengaitkan penyakit dengan alasan supernatural, seperti hukuman ilahi atau pengaruh iblis. Pemeriksaan medis sering diawali dengan analisis bagan astrologi pasien. Diagnosis umum adalah ketidakseimbangan humor, dan perawatan yang diresepkan melibatkan pengeluaran darah (bloodletting) melalui sayatan atau penggunaan lintah, yang diyakini dapat "mengeluarkan" humor yang tidak seimbang. Tanpa antibiotik, anestesi, atau pemahaman tentang sterilisasi, operasi sangatlah primitif dan seringkali berakibat fatal karena infeksi.
7. Sulitnya Mendapatkan Pekerjaan dan Kondisi Kerja yang Berat
Selama Abad Pertengahan, mayoritas penduduk (diperkirakan sekitar 80%) hidup dan bekerja di sektor pertanian, mengolah lahan untuk menopang diri sendiri dan tuan mereka. Namun, seiring berkembangnya kota-kota, muncullah peluang kerja baru, meskipun seringkali dengan gaji rendah, jam kerja panjang, dan kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Salah satu pekerjaan yang tidak biasa namun populer adalah pengumpul lintah, yang sangat dicari oleh profesi medis untuk praktik bloodletting. Pekerjaan ini berbahaya, seringkali dilakukan di rawa-rawa yang kotor. Pekerjaan lain yang menawarkan penghasilan sedikit lebih tinggi adalah sebagai penjahit kain atau "fuller". Meskipun lebih umum daripada pengumpul lintah dan bisa menghasilkan tiga kali lipat dari petani, pekerjaan ini jauh dari ideal. Tanggung jawab mereka adalah membersihkan minyak, kotoran, dan kotoran lainnya dari kain yang baru ditenun. Metode paling efektif yang mereka gunakan adalah menginjak-injak kain dengan kaki mereka di dalam tong berisi urin manusia, yang berfungsi sebagai agen pembersih. Proses ini berlangsung berjam-jam, dari fajar hingga senja, enam hari seminggu, dalam kondisi yang sangat bau dan tidak higienis.
8. Kurangnya Kebebasan Beragama dan Dominasi Gereja Katolik
Di Abad Pertengahan Eropa, Gereja Katolik Roma memegang kekuasaan yang luar biasa, tidak hanya dalam hal spiritual tetapi juga politik, sosial, dan intelektual. Mayoritas penduduk Eropa adalah penganut Katolik Roma yang taat, dan Gereja memiliki pengaruh yang mendalam atas setiap aspek kehidupan. Meskipun ada sejumlah kecil penganut pagan, Yahudi, dan individu yang menganut ajaran lain, mereka tidak dapat terlalu terbuka tentang keyakinan mereka. Minoritas agama ini menghadapi ancaman penganiayaan, diskriminasi, dan kematian yang terus-menerus karena sistem kepercayaan mereka yang dianggap "tidak populer" atau bahkan "sesat". Inkuisisi, sebuah lembaga Gereja, didirikan untuk memberantas bidah (ajaran sesat) dengan metode yang seringkali brutal, termasuk penyiksaan. Kaum Yahudi, khususnya, sering menjadi kambing hitam atas bencana seperti wabah atau kelaparan, yang berujung pada pogrom (pembantaian massal) dan pengusiran dari berbagai negara Eropa. Keberagaman dalam praktik keagamaan menjadi sangat berisiko bagi mereka yang berani berbeda.
9. Nasib Perempuan yang Menyedihkan dan Rentan
Nasib perempuan di Abad Pertengahan sangatlah memprihatinkan. Mereka memiliki sedikit hak dan seringkali dianggap sebagai properti, pertama oleh ayah mereka dan kemudian oleh suami mereka setelah menikah. Dalam kasus penyerangan atau bahkan pembunuhan, fokus hukum seringkali lebih pada kerugian yang dialami oleh suami sebagai pemilik "properti" daripada pada penderitaan perempuan itu sendiri. Kehamilan dan melahirkan adalah pengalaman yang mengerikan dan sangat berbahaya. Tanpa pengetahuan medis yang memadai dan sanitasi yang buruk, tingkat kematian ibu dan bayi sangat tinggi. Banyak perempuan meninggal saat melahirkan atau tidak lama setelahnya. Meskipun perempuan memberikan kontribusi besar sebagai ibu dan penjaga anak-anak, serta seringkali bekerja keras di ladang bersama laki-laki, mereka menerima upah yang jauh lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Pendidikan bagi perempuan sangat terbatas, dan peran mereka dalam masyarakat sangat dibatasi pada lingkup domestik dan reproduksi.
10. "Zaman Es Kecil" dan Iklim yang Dingin Ekstrem
Sekitar tahun 1300, Eropa dan belahan bumi utara mengalami penurunan suhu rata-rata global yang signifikan, yang dikenal sebagai "Zaman Es Kecil" (Little Ice Age). Selama beberapa abad, suhu rata-rata turun sekitar 2-3 derajat Fahrenheit (sekitar 1,5 derajat Celsius). Meskipun angka ini mungkin tidak tampak banyak, dampaknya sangat besar dan berlangsung lama. Di seluruh Eropa utara, musim dingin menjadi lebih panjang dan lebih dingin, dengan dampak yang lebih buruk daripada di tempat lain. Sungai dan pelabuhan membeku selama berbulan-bulan, mengganggu transportasi dan perdagangan. Musim tanam yang lebih pendek dan suhu yang lebih rendah menyebabkan gagal panen berulang kali, yang berujung pada kelaparan massal yang merenggut puluhan ribu nyawa, seperti "Kelaparan Besar" tahun 1315-1317. Dingin yang merana ini tidak hanya menyebabkan kematian langsung akibat hipotermia atau kelaparan, tetapi juga melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat populasi lebih rentan terhadap wabah penyakit yang sudah ada. Kehidupan sehari-hari menjadi perjuangan terus-menerus melawan cuaca ekstrem tanpa pemanas modern atau pakaian yang memadai.
Melihat semua alasan di atas, jelas bahwa Abad Pertengahan adalah era yang penuh dengan penderitaan, bahaya, dan perjuangan tanpa henti. Berada di sana bahkan untuk 24 jam saja akan menjadi pengalaman yang tak tertahankan bagi siapa pun yang terbiasa dengan kenyamanan dan kemajuan dunia modern.
+Eropa+berlangsung+dari+tahun+M.jpg)