
Jaringan jalan di Jakarta, sebagai urat nadi mobilitas dan ekonomi ibu kota, seringkali menampilkan pemandangan yang memprihatinkan: lubang menganga, retakan memanjang, hingga gelombang aspal yang mengganggu. Kondisi ini bukan sekadar ketidaknyamanan visual, melainkan sebuah ancaman laten yang berdampak luas, mulai dari keselamatan berkendara, kelancaran lalu lintas, hingga kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Fenomena kerusakan jalan ini, yang bagaikan jerawat di wajah kota metropolitan, ternyata disebabkan oleh kombinasi kompleks berbagai faktor, baik alamiah maupun antropogenik. Pemahaman mendalam mengenai "biang kerok" di balik kerusakan ini menjadi krusial untuk merumuskan solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Bina Marga DKI Jakarta, Wiwik Wahyuni, yang pernyataannya dikutip oleh detikNews, pihaknya secara rutin memantau kondisi jalan melalui survei lapangan dan juga sangat mengandalkan laporan dari masyarakat. Dari hasil pemantauan dan analisis tersebut, terungkap beberapa penyebab utama mengapa jalanan di Jakarta cenderung cepat rusak dan memerlukan perbaikan berulang. Faktor-faktor ini saling terkait dan seringkali memperparah satu sama lain, menciptakan siklus kerusakan yang sulit diputus tanpa intervensi komprehensif.
Salah satu penyebab paling dominan dan seringkali diremehkan adalah faktor curah hujan. Jakarta, sebagai kota tropis, mengalami musim hujan yang panjang dan intensitas curah hujan yang tinggi. Air hujan yang meresap ke dalam struktur perkerasan jalan, terutama melalui retakan-retakan kecil yang awalnya tidak signifikan, dapat melemahkan lapisan fondasi jalan (sub-base dan base course). Ketika lapisan di bawah aspal jenuh dengan air, daya dukungnya menurun drastis. Beban kendaraan yang melintas di atasnya akan menyebabkan tekanan hidrostatis yang berulang, mendorong air keluar dan membawa serta partikel-partikel halus dari material jalan. Proses ini secara bertahap menciptakan rongga di bawah permukaan aspal, yang pada akhirnya akan ambles dan membentuk lubang. Semakin sering dan semakin lama jalan tergenang air, semakin cepat pula proses kerusakan ini terjadi.
Baca Juga:
- Kecelakaan Maut Tol Batang: Pajero Hancur Lebur, Tiga Jiwa Melayang Diduga Akibat Sopir Mengantuk
- Isuzu Siapkan Traga Edisi Spesial 50 Tahun di GIIAS 2025: Perayaan Setengah Abad dan Strategi Pemasaran Unik
- LHKPN Teranyar Wapres Gibran: Harta Tembus Rp 25 Miliar dengan Dinamika Aset Tanah dan Kendaraan yang Menarik.
- Mitsubishi Destinator Siap Menggebrak Pasar SUV Indonesia: Antara XForce dan Pajero Sport, Inilah Detail Lengkapnya!
- Suzuki Fronx Mengukir Sejarah Baru di Indonesia: 55 Unit Perdana Diserahkan, Menandai Era Mobilitas Modern
Faktor berikutnya yang tak kalah krusial adalah sistem drainase yang belum optimal. Meskipun pemerintah terus berupaya memperbaiki dan membangun sistem drainase, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak saluran air di Jakarta yang masih belum berfungsi maksimal. Penyebabnya beragam, mulai dari kapasitas saluran yang tidak memadai untuk menampung volume air hujan yang besar, sedimentasi lumpur, hingga penyumbatan akibat sampah. Ketika drainase tidak bekerja dengan baik, air hujan akan meluap dan menggenangi permukaan jalan dalam waktu yang lama. Genangan air berkepanjangan ini mempercepat proses peresapan air ke dalam struktur jalan, menjenuhkan tanah di bawahnya, dan secara signifikan melemahkan kekuatan perkerasan. Akibatnya, jalan menjadi lebih rentan terhadap retakan, lubang, dan deformasi lainnya bahkan oleh beban kendaraan yang tidak terlalu berat sekalipun. Kondisi ini juga sangat membahayakan pengendara, karena genangan air dapat menyembunyikan lubang atau menyebabkan efek hydroplaning yang mengurangi cengkeraman ban.
Selain faktor alam dan infrastruktur drainase, kendaraan Over Dimension Over Load (ODOL) menjadi "biang kerok" utama yang secara masif berkontribusi terhadap kerusakan jalan di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta. ODOL merujuk pada kendaraan angkutan barang yang dimensi atau muatannya melebihi batas standar yang ditetapkan. Truk-truk dengan muatan berlebih ini memberikan tekanan aksel yang jauh melampaui kapasitas desain jalan. Desain jalan umumnya dihitung berdasarkan beban aksel standar (misalnya, 8 ton). Ketika sebuah truk ODOL dengan beban aksel 12 ton atau bahkan lebih melintas, tekanan yang ditimbulkan pada struktur jalan bisa berlipat ganda secara eksponensial, bukan sekadar proporsional. Beban berlebih ini menyebabkan kelelahan material jalan (fatigue cracking), retakan buaya (alligator cracking), deformasi permanen seperti rutting (alur ban), dan bahkan keruntuhan struktur jalan secara keseluruhan. Wiwik Wahyuni menegaskan bahwa beban kendaraan yang melebihi kapasitas jalan, khususnya kendaraan ODOL, adalah salah satu penyebab utama kerusakan parah. Pemerintah bahkan harus menggelontorkan puluhan triliun rupiah setiap tahunnya untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak akibat praktik ODOL ini, sebuah angka fantastis yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur lain jika masalah ODOL dapat diatasi secara tuntas. Upaya penegakan hukum terhadap truk ODOL masih menghadapi tantangan besar, termasuk keterbatasan jumlah jembatan timbang dan praktik suap yang masih terjadi di lapangan.
Kondisi tanah yang tidak stabil juga merupakan faktor fundamental yang memperparah kerusakan jalan di Jakarta. Sebagian besar wilayah Jakarta dibangun di atas tanah aluvial yang lunak, berupa endapan sungai dan rawa-rawa. Karakteristik tanah seperti ini, terutama jika sudah jenuh air akibat genangan berkepanjangan, memiliki daya dukung yang rendah dan rentan terhadap penurunan (subsidence). Ketika tanah di bawah perkerasan jalan mengalami penurunan atau pergeseran, struktur jalan di atasnya akan ikut retak atau ambles, membentuk gelombang atau lubang. Pergerakan tanah ini bisa diperparah oleh aktivitas seismik ringan atau bahkan getaran akibat lalu lintas padat. Oleh karena itu, perencanaan dan konstruksi jalan di Jakarta harus mempertimbangkan kondisi geoteknik yang spesifik ini, seringkali memerlukan perlakuan khusus seperti penggunaan tiang pancang atau perbaikan tanah.
Faktor lain yang sering luput dari perhatian adalah laju kendaraan di persimpangan yang padat. Di persimpangan jalan atau area-area dengan tingkat kemacetan tinggi, kendaraan seringkali berhenti, berakselerasi, dan mengerem secara berulang-ulang di titik yang sama. Aktivitas ini memberikan tekanan beban yang terpusat dan berulang pada area jalan tersebut. Saat kendaraan mengerem, gaya gesek yang besar terjadi antara ban dan permukaan jalan, menyebabkan gaya dorong horizontal yang dapat menggeser agregat aspal. Demikian pula saat berakselerasi, gaya traksi yang kuat dapat merusak permukaan. Konsentrasi beban dan gaya ini, ditambah dengan panas yang dihasilkan dari pengereman dan pergerakan ban, mempercepat kelelahan material jalan dan menyebabkan retakan dini atau deformasi plastis seperti shoving (penumpukan material).
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya, adalah masalah pengembalian kondisi jalan pasca-galian utilitas yang tidak sesuai standar teknis. Jakarta adalah kota yang dinamis, dengan berbagai proyek pembangunan dan pemeliharaan utilitas seperti jaringan pipa air bersih, saluran kabel listrik, fiber optik, dan gas. Untuk memasang atau memperbaiki infrastruktur ini, seringkali diperlukan penggalian di bawah permukaan jalan. Masalah timbul ketika pengembalian kondisi galian (penimbunan kembali dan pengaspalan) tidak dilakukan sesuai standar yang ketat. Wiwik Wahyuni mengakui bahwa meskipun Bina Marga telah memiliki standardisasi untuk pengembalian kondisi jalan terdampak galian utilitas, namun di lapangan implementasinya kadang belum sesuai. Praktik yang sering terjadi adalah pemadatan tanah yang tidak sempurna, penggunaan material timbunan yang tidak sesuai, atau lapisan aspal yang terlalu tipis dan tidak kompatibel dengan perkerasan jalan yang ada. Akibatnya, area bekas galian menjadi titik lemah yang rentan terhadap penurunan, retakan, dan pembentukan lubang, bahkan dalam waktu singkat setelah perbaikan. Ini tidak hanya merusak jalan, tetapi juga seringkali menyebabkan ketidakrataan yang membahayakan pengendara.
Dampak dari kerusakan jalan ini sangat multidimensional. Dari segi keselamatan, jalan berlubang adalah momok menakutkan bagi pengendara, terutama sepeda motor, yang berisiko tinggi mengalami kecelakaan fatal. Lubang yang tersembunyi di balik genangan air menjadi jebakan mematikan. Dari segi ekonomi, kerusakan jalan menyebabkan peningkatan biaya operasional kendaraan (perbaikan ban, suspensi, dan komponen lainnya), peningkatan konsumsi bahan bakar akibat kecepatan yang tidak stabil, serta waktu tempuh yang lebih lama. Hal ini secara langsung memengaruhi efisiensi logistik dan distribusi barang, yang pada gilirannya dapat menekan daya saing ekonomi kota. Selain itu, kemacetan lalu lintas juga diperparah karena pengendara harus menghindari area rusak atau memperlambat laju, menciptakan botol leher yang memperpanjang antrean kendaraan dan meningkatkan emisi gas buang. Kualitas hidup masyarakat pun menurun akibat frustrasi dan stres yang dialami setiap hari di jalanan.
Menyikapi kompleksitas masalah ini, Bina Marga DKI Jakarta tidak tinggal diam. Mereka melakukan perbaikan jalan secara berkesinambungan melalui dua tahapan utama. Tahap pertama adalah perbaikan sementara untuk kerusakan ringan, yang dilakukan oleh Tim Satgas Pasukan Kuning. Pasukan Kuning adalah tim respons cepat yang sigap menambal lubang-lubang kecil atau retakan yang baru muncul untuk mencegah kerusakan meluas dan segera mengembalikan keamanan jalan. Mereka beroperasi 24 jam dan sering menjadi garda terdepan dalam menjaga kondisi jalan. Tahap kedua adalah perbaikan permanen yang melibatkan rekonstruksi atau overlay (pelapisan ulang) jalan untuk kerusakan yang lebih parah atau area yang sering rusak. Perbaikan permanen ini biasanya melibatkan penggalian lapisan jalan yang rusak, perbaikan fondasi, dan pengaspalan ulang dengan material yang lebih berkualitas. Wiwik Wahyuni mengungkapkan bahwa dari total 175,43 kilometer jalan rusak ringan yang teridentifikasi di Jakarta, 60 persen di antaranya telah berhasil diperbaiki. Targetnya, sisa kerusakan ringan akan diperbaiki secara bertahap hingga akhir tahun 2025.
Namun demikian, upaya perbaikan ini harus dibarengi dengan strategi jangka panjang dan pendekatan holistik. Diperlukan investasi yang lebih besar dalam peningkatan kualitas material jalan, seperti penggunaan aspal modifikasi atau beton yang lebih tahan lama. Pengembangan sistem pemantauan jalan berbasis teknologi, seperti sensor IoT atau citra satelit, dapat membantu mengidentifikasi kerusakan lebih dini dan merencanakan perbaikan secara proaktif. Peningkatan kapasitas dan pemeliharaan sistem drainase juga menjadi prioritas utama untuk mengurangi dampak air hujan. Selain itu, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap kendaraan ODOL mutlak diperlukan, disertai dengan solusi alternatif bagi pelaku usaha angkutan barang agar tidak merugikan infrastruktur jalan. Kolaborasi lintas sektor antara Bina Marga, Dinas Perhubungan, kepolisian, dan perusahaan utilitas menjadi kunci untuk mengatasi masalah galian yang tidak sesuai standar. Masyarakat juga memiliki peran penting dengan aktif melaporkan kerusakan jalan melalui aplikasi resmi seperti JAKI atau QLUE, sehingga pemerintah dapat merespons lebih cepat.
Jakarta, dengan segala dinamikanya, akan terus menghadapi tantangan dalam menjaga kualitas infrastruktur jalan. Pertumbuhan penduduk yang pesat, peningkatan volume kendaraan, serta dampak perubahan iklim yang memicu curah hujan ekstrem, semuanya akan terus menguji ketahanan jalanan ibu kota. Oleh karena itu, komitmen berkelanjutan dari pemerintah, dukungan teknologi, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan jaringan jalan yang lebih aman, nyaman, dan efisien demi menopang roda perekonomian dan kualitas hidup di Jakarta. Memahami akar masalah adalah langkah pertama; tindakan nyata dan terkoordinasi adalah satu-satunya jalan menuju solusi permanen bagi momok kerusakan jalan di ibu kota.
