
Nama Ibrahim Arief mendadak menjadi pusat perhatian publik setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkannya sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pria yang dikenal luas di kancah teknologi nasional, dengan rekam jejak cemerlang di perusahaan startup ternama, kini harus menghadapi babak baru dalam hidupnya sebagai pihak yang terjerat dalam kasus hukum. Proyek pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) senilai fantastis Rp 9,3 triliun ini, yang seharusnya mendukung transformasi digital pendidikan, justru berujung pada dugaan kerugian negara yang mencapai angka Rp 1,98 triliun.
Dari Bukalapak, Unicorn Kebanggaan, Menuju Birokrasi Digital
Sebelum pusaran kasus ini melilitnya, Ibrahim Arief, atau akrab disapa Ibam, adalah sosok yang sangat dikenal dan dihormati di kalangan startup dan komunitas teknologi Indonesia. Ia pernah memegang posisi strategis sebagai Vice President (VP) di Bukalapak, salah satu unicorn e-commerce terkemuka di Indonesia. Di Bukalapak, perannya tidak hanya sebatas manajerial, melainkan juga melibatkan diri secara langsung dalam pengembangan teknologi inti dan perumusan strategi bisnis yang menjadikan perusahaan tersebut salah satu pemain kunci di pasar digital tanah air. Sebagai seorang engineer dengan kapabilitas kepemimpinan yang kuat, Ibam turut berkontribusi dalam membangun fondasi teknis Bukalapak dari nol hingga mencapai valuasi miliaran dolar, sebuah pencapaian yang menempatkannya sebagai salah satu talenta teknologi terbaik di Indonesia. Pengalamannya di Bukalapak memberinya pemahaman mendalam tentang inovasi, skalabilitas, dan implementasi teknologi dalam skala besar.
Namun, setelah menorehkan jejak gemilang di sektor swasta, Ibrahim Arief mengambil sebuah keputusan yang mengejutkan banyak pihak: ia memilih untuk beralih ke sektor publik. Keputusan ini diambil di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sebelum Riset dan Teknologi digabung) Nadiem Makarim, yang memiliki visi ambisius untuk mentransformasi pendidikan Indonesia melalui digitalisasi. Pada awalnya, Ibrahim bergabung sebagai konsultan individu, memberikan keahliannya untuk membantu menyusun infrastruktur manajemen sumber daya sekolah yang lebih efisien dan berbasis teknologi. Perannya kemudian berkembang signifikan ketika ia menjabat sebagai Chief Technology Officer (CTO) di GovTech Edu selama periode 2020 hingga 2024. GovTech Edu sendiri merupakan entitas yang dibentuk untuk mengakselerasi digitalisasi sistem pendidikan nasional, sebuah inisiatif yang sangat vital mengingat tantangan geografis dan kesenjangan akses teknologi di Indonesia. Sebagai CTO, Ibrahim memiliki wewenang besar dalam menentukan arah dan spesifikasi teknologi yang akan digunakan dalam berbagai program digitalisasi pendidikan, termasuk proyek pengadaan perangkat keras seperti laptop.
Terjerat Proyek Chromebook Kemendikbud: Dugaan Rekayasa dan Kerugian Negara
Di GovTech Edu, Ibrahim Arief memang memegang peranan sentral dalam upaya digitalisasi pendidikan nasional. Salah satu proyek besar yang menjadi tanggung jawabnya adalah pengadaan perangkat teknologi, khususnya laptop berbasis Chrome OS atau yang lebih dikenal dengan Chromebook. Proyek pengadaan laptop ini, yang secara total bernilai mencapai Rp 9,3 triliun, bertujuan untuk mendukung proses belajar mengajar di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah yang selama ini minim akses teknologi.
Namun, harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui teknologi justru tercoreng oleh dugaan praktik korupsi. Menurut hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, Ibrahim Arief bersama dengan tiga tersangka lain yang belum disebutkan namanya, diduga kuat melakukan rekayasa dalam pengambilan keputusan teknis terkait pemilihan jenis perangkat. Dugaan rekayasa ini mengarah pada pemilihan Chromebook sebagai perangkat utama, meskipun hasil uji coba yang dilakukan pada tahun 2019 telah menunjukkan bahwa perangkat ini memiliki banyak keterbatasan dan tidak cocok untuk diterapkan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang memiliki koneksi internet yang sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Ketergantungan Chromebook pada koneksi internet untuk fungsionalitas penuh menjadi salah satu kelemahan krusial yang diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa para tersangka diduga menyalahgunakan kewenangan mereka dengan membuat petunjuk pelaksanaan yang secara eksplisit mengarahkan pada produk tertentu, yaitu Chrome OS, untuk pengadaan teknologi informasi dan komunikasi selama tahun anggaran 2020-2022. "Perbuatan tersebut tidak hanya merugikan keuangan negara secara signifikan, tetapi juga menggagalkan tujuan mulia dari pengadaan TIK untuk siswa sekolah, karena Chrome OS memiliki banyak kelemahan yang sangat krusial untuk daerah 3T," tegas Abdul Qohar seperti dikutip dari detiknews. Akibat perbuatan melawan hukum ini, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 1,98 triliun, sebuah angka yang mencerminkan besarnya dampak korupsi terhadap anggaran negara yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan pendidikan.
Dijemput Paksa dan Status Tahanan Kota: Lika-Liku Proses Hukum
Proses hukum yang dihadapi Ibrahim Arief tidak berjalan mulus. Ia sempat mangkir dari beberapa panggilan pemeriksaan yang dilayangkan oleh penyidik Kejagung. Kondisi ini membuat Kejagung terpaksa mengambil tindakan tegas dengan melakukan penjemputan paksa terhadap Ibrahim Arief pada tanggal 15 Juli 2025 (mengikuti tanggal dalam sumber asli). Penjemputan paksa ini menunjukkan keseriusan Kejagung dalam menangani kasus dugaan korupsi ini dan menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pihak yang berusaha menghindar dari proses hukum.
Meskipun demikian, setelah ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap, Ibrahim Arief tidak langsung ditahan di balik jeruji besi. Ia berstatus tahanan kota karena memiliki riwayat penyakit jantung kronis, sebuah pertimbangan kemanusiaan yang diberikan oleh pihak berwenang. Keputusan ini memungkinkan Ibrahim untuk tetap menjalani pengobatan dan pemulihan, meskipun tetap berada di bawah pengawasan ketat aparat hukum.
Kuasa hukum Ibrahim Arief, Indra Haposan Sihombing, dengan tegas menyatakan bahwa kliennya bukanlah Staf Khusus Menteri Nadiem Makarim, melainkan seorang konsultan independen yang dikontrak oleh salah satu direktorat di Kemendikbudristek. "Beliau bukan pejabat struktural, bukan ASN, dan bukan staf khusus menteri," tegas Indra. Klarifikasi ini penting untuk menegaskan posisi hukum Ibrahim Arief, yang meskipun memiliki peran strategis, secara formal tidak berada dalam struktur birokrasi inti kementerian. Peran sebagai konsultan independen bisa memiliki implikasi berbeda dalam konteks pertanggungjawaban hukum dibandingkan dengan pejabat struktural atau Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menolak Meta Demi Edukasi: Ironi Sebuah Idealism
Salah satu fakta menarik dan sekaligus ironis dalam profil Ibrahim Arief adalah keputusannya yang pernah menjadi perbincangan hangat di kalangan profesional teknologi. Sebelum terseret dalam kasus korupsi ini, Ibrahim sempat menolak tawaran kerja dari raksasa teknologi global sekelas Meta (induk perusahaan Facebook) yang berbasis di London. Tawaran tersebut tentu merupakan impian bagi banyak profesional teknologi di seluruh dunia, sebuah kesempatan langka untuk berkarier di perusahaan kelas dunia dengan kompensasi dan fasilitas yang menggiurkan. Namun, Ibrahim memilih untuk tetap tinggal di Indonesia dan berkontribusi dalam proyek digital pendidikan di bawah naungan GovTech Edu.
"Rencana awal saya adalah berangkat ke Eropa dan membangun karir saya di Facebook London. Namun setelah melalui pertimbangan yang matang dan proses pengambilan keputusan yang alot, saya memilih untuk tetap tinggal di Indonesia bekerja sama dengan GovTech Edu," ujar Ibrahim Arief seperti dikutip dari CNBC Indonesia kala itu. Ia melanjutkan, "Saya memahami kesempatan dipekerjakan oleh Facebook – peluangnya mungkin satu dari seribu. Tapi, seperti yang kita tahu, pemerintah kita jarang menggunakan pendekatan teknologi yang berpusat pada pengguna dalam program mereka – kemungkinannya mungkin satu dari sejuta, menurut saya. GovTech Edu adalah kesempatan yang bagus dan langka. Saatnya kita memberi tahu dunia apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia dengan teknologi." Pernyataan ini menunjukkan idealismenya yang tinggi dan keyakinannya pada potensi transformasi digital di sektor publik Indonesia. Keputusan tersebut saat itu dianggap sebagai langkah patriotik dan patut diapresiasi, menggambarkan dedikasinya untuk memajukan bangsa melalui teknologi.
Ironisnya, langkah idealis yang memilih mengabdi di sektor publik inilah yang justru menyeretnya ke dalam pusaran kasus korupsi. Sebuah pilihan yang berawal dari niat baik untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa, kini justru berakhir dengan tuduhan merugikan negara. Setelah menyelesaikan masa baktinya di kementerian, Ibrahim Arief bahkan mendirikan perusahaan teknologi baru bernama Asah AI, yang fokus pada pengembangan kecerdasan buatan di bidang pendidikan, menunjukkan komitmennya yang berkelanjutan terhadap sektor ini.
Pukulan Telak bagi Reputasi dan Desakan Penuntasan Kasus
Kasus ini menjadi pukulan telak tidak hanya bagi reputasi pribadi Ibrahim Arief yang selama ini dikenal sebagai salah satu talenta teknologi terbaik Indonesia, tetapi juga bagi kepercayaan publik terhadap inisiatif GovTech dan transformasi digital di sektor pemerintahan. Banyak pihak menyayangkan bagaimana karier cemerlangnya, yang dimulai dari Bukalapak dan diperkuat oleh idealismenya untuk mengabdi pada negara, justru harus berakhir di pusaran kasus korupsi yang memilukan.
Lembaga pengawas seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KOPEL) telah menyuarakan kritik keras terhadap proyek pengadaan Chromebook ini sejak awal. Mereka menyebut proyek ini tidak prioritas dan sangat rawan korupsi, mengingat besarnya anggaran dan potensi manipulasi dalam proses pengadaan. ICW dan KOPEL mendesak agar penegak hukum menuntaskan kasus ini hingga ke akar-akarnya, termasuk mengungkap siapa saja yang bertanggung jawab menunjuk para konsultan proyek dan bagaimana keputusan-keputusan strategis yang merugikan negara bisa terjadi.
Sementara itu, Kejagung terus memperkuat bukti-bukti dalam proses penyidikan. Hingga saat ini, lebih dari 80 saksi dan tiga ahli telah diperiksa untuk dimintai keterangan, serta sejumlah dokumen penting terkait proyek pengadaan telah disita. Seluruh langkah ini dilakukan untuk memperkuat berkas perkara yang nantinya akan dilimpahkan ke pengadilan. Kasus ini diharapkan tidak hanya menyeret para pelaku ke meja hijau, tetapi juga menjadi momentum untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proyek pengadaan pemerintah, terutama yang melibatkan teknologi tinggi dan anggaran besar. Kegagalan dalam memastikan integritas proyek semacam ini tidak hanya berarti kerugian finansial, tetapi juga hilangnya kesempatan emas untuk memajukan pendidikan dan masa depan bangsa.
