Menyingkap Tantangan Akselerasi Internet 100 Mbps Nasional: Ketika Kejenuhan Pasar dan Kabel Semrawut Menjadi Penghalang Digitalisasi

Menyingkap Tantangan Akselerasi Internet 100 Mbps Nasional: Ketika Kejenuhan Pasar dan Kabel Semrawut Menjadi Penghalang Digitalisasi

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) baru-baru ini menyoroti serangkaian persoalan krusial yang membentang di hadapan Indonesia dalam upaya mewujudkan pemerataan kecepatan internet tetap atau fixed broadband hingga menembus angka 100 Mbps. Target ambisius ini, yang menjadi fondasi bagi visi Indonesia sebagai negara maju dengan ekonomi digital yang kuat, ternyata dihadapkan pada realitas lapangan yang kompleks dan multifaset. Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, dalam sebuah kesempatan, memaparkan secara rinci akar masalah yang menghambat capaian tersebut, sekaligus menggarisbawahi urgensi penataan industri telekomunikasi nasional.

Salah satu temuan paling mencolok, berdasarkan data yang dihimpun oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), adalah kondisi pasar yang terlampau jenuh di 24 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di wilayah-wilayah ini, cakupan layanan fixed broadband telah mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan melampaui 90%. Sebuah capaian yang sekilas terlihat positif, namun Edwin menjelaskan bahwa di balik angka tersebut tersembunyi ironi yang menghambat efisiensi dan kualitas layanan. Kondisi kejenuhan ini, alih-alih meningkatkan efisiensi dan kompetisi sehat, justru memicu tumpang tindih infrastruktur secara masif. Berbagai penyedia layanan internet (ISP) berlomba-lomba membangun jaringan mereka sendiri di area yang sama, menyebabkan duplikasi investasi dan pemanfaatan jaringan yang tidak optimal. Imbasnya, selain pada aspek ekonomi berupa pemborosan sumber daya, juga berdampak serius pada tata ruang kota dan estetika lingkungan, dengan munculnya jaringan kabel yang ruwet dan semrawut.

Permasalahan kabel semrawut yang menggantung di udara merupakan gambaran nyata dari inefisiensi dan ketidakteraturan tersebut. Jaringan kabel fiber optik yang seharusnya menjadi tulang punggung konektivitas modern, kini justru menjadi pemandangan yang mengganggu, bahkan berpotensi membahayakan. Gulungan kabel yang kusut, menjuntai tak beraturan di tiang-tiang listrik atau telepon, menjadi simbol visual dari kekacauan infrastruktur yang belum tertata. Relokasi kabel fiber optik untuk ditempatkan di bawah tanah, melalui sistem ducting bersama, merupakan pekerjaan rumah raksasa yang menanti. Tantangan ini tidak hanya mencakup aspek teknis dan finansial yang besar, tetapi juga memerlukan koordinasi lintas sektor yang sangat erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh pelaku industri.

APJII juga mengungkapkan fakta lain yang tak kalah mengejutkan: jumlah penyedia layanan internet (ISP) yang menjadi anggotanya saat ini diperkirakan mencapai lebih dari 1.300 perusahaan. Angka yang fantastis ini mencerminkan dinamika pertumbuhan industri yang pesat, namun juga menyiratkan tantangan serius dalam hal regulasi dan penataan. Edwin Hidayat Abdullah menegaskan, "Kami percaya bahwa tanpa penataan yang tepat, maka pertumbuhan yang kita capai hari ini justru menimbulkan masalah baru bagi tata kota, efisiensi bisnis, dan bahkan terhadap kualitas layanan bagi masyarakat." Pernyataan ini mengindikasikan kekhawatiran Komdigi terhadap potensi terjadinya persaingan tidak sehat, praktik bisnis yang tidak berkelanjutan, hingga munculnya ISP tanpa izin yang tidak memenuhi standar layanan minimum, yang pada akhirnya merugikan konsumen dan menghambat pencapaian target kecepatan internet nasional.

Melihat situasi yang kompleks ini, Edwin menyebutkan bahwa industri telekomunikasi dalam negeri sedang menghadapi tantangan serius terkait ketimpangan dan ketidakseimbangan penyebaran penyelenggara internet. Ada wilayah yang terlalu padat dengan ISP, sementara di sisi lain, masih banyak daerah yang minim atau bahkan belum tersentuh layanan fixed broadband berkualitas. Kondisi ini menciptakan kesenjangan digital yang semakin melebar dan menghambat inklusi digital. Oleh karena itu, diperlukan upaya komprehensif untuk menata "kesehatan industri" dan konektivitas telekomunikasi secara menyeluruh. Penataan ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem yang lebih efisien, kompetitif secara sehat, dan berkelanjutan, sehingga mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, Komdigi telah merumuskan empat pilar strategi utama yang akan menjadi fokus penataan industri telekomunikasi nasional:

Pertama, Peningkatan Kualitas Layanan dengan Mendorong Optimalisasi Pemanfaatan Infrastruktur dan Penerapan Standar Layanan Lebih Baik. Edwin menekankan pentingnya memaksimalkan penggunaan infrastruktur yang sudah ada, terutama di 24 wilayah yang sudah padat. Ini berarti mendorong ISP untuk berbagi infrastruktur pasif, seperti tiang, menara, atau saluran ducting, daripada membangun jaringan baru yang tumpang tindih. Selain itu, Komdigi akan mendorong penerapan standar layanan yang lebih ketat, termasuk Service Level Agreement (SLA) yang jelas mengenai kecepatan, stabilitas, dan waktu perbaikan gangguan. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat tidak hanya mendapatkan akses, tetapi juga akses internet dengan kualitas yang handal dan sesuai janji. Mekanisme pengawasan dan sanksi bagi pelanggaran standar akan diperkuat untuk melindungi konsumen.

Kedua, Penataan Kota Lebih Tertib Melalui Penerapan Ducting Bersama, Infrastruktur Sharing, dan Skema Open Access. Ini adalah solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah kabel semrawut dan tumpang tindih infrastruktur. Ducting bersama mengacu pada pembangunan saluran bawah tanah terpadu yang dapat digunakan oleh berbagai ISP, sehingga tidak perlu lagi ada penggalian berulang-ulang di jalanan kota. Infrastruktur sharing mencakup berbagi menara telekomunikasi, tiang, hingga serat optik gelap (dark fiber). Sementara itu, skema open access berarti bahwa pemilik infrastruktur jaringan utama wajib membuka akses bagi ISP lain untuk menggunakan jaringannya dengan biaya yang adil dan transparan. Model ini telah terbukti efektif di banyak negara untuk mengurangi biaya investasi, mempercepat penyebaran jaringan, dan mendorong kompetisi di tingkat layanan, bukan di tingkat pembangunan infrastruktur. Kolaborasi antara pemerintah daerah, badan usaha milik daerah (BUMD), dan pihak swasta menjadi kunci keberhasilan implementasi skema ini.

Ketiga, Pengendalian Praktik Usaha Ilegal, Seperti ISP Tanpa Izin yang Tidak Memenuhi Standar. Maraknya ISP yang beroperasi tanpa izin resmi atau tidak memenuhi standar teknis dan layanan yang ditetapkan dapat merusak reputasi industri secara keseluruhan dan merugikan konsumen. Komdigi akan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap entitas-entitas semacam ini. Ini meliputi peninjauan ulang perizinan, peningkatan koordinasi dengan aparat penegak hukum, serta edukasi publik mengenai pentingnya memilih penyedia layanan yang legal dan terpercaya. Tujuan akhirnya adalah menciptakan iklim usaha yang adil dan transparan, di mana hanya operator yang bertanggung jawab dan memenuhi standar yang dapat beroperasi.

Keempat, Mendukung Target Pencapaian Kecepatan Internet Hingga 100 Mbps Secara Nasional dan Merata. Seluruh upaya penataan di atas bermuara pada satu tujuan besar: mempercepat pencapaian target kecepatan internet 100 Mbps yang merata di seluruh Indonesia. Dengan infrastruktur yang tertata rapi, industri yang sehat, dan layanan yang berkualitas, diharapkan hambatan teknis dan non-teknis dalam penyediaan internet cepat dapat dieliminasi. Kecepatan 100 Mbps bukan sekadar angka, melainkan fondasi penting bagi pengembangan ekonomi digital, mendukung kegiatan work from home (WFH), pembelajaran jarak jauh, telemedisin, hingga inovasi di berbagai sektor. Pencapaian target ini akan meningkatkan daya saing digital Indonesia di kancah global dan memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat penuh dari transformasi digital.

Seorang pakar telekomunikasi dan kebijakan publik, Dr. Ir. Cahyo Widodo, dari Universitas Gadjah Mada (UGM), secara terpisah memberikan pandangannya. "Apa yang diungkapkan Komdigi ini adalah diagnosis yang tepat. Industri telekomunikasi kita memang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada pertumbuhan yang pesat, tapi di sisi lain, pertumbuhan itu belum dibarengi dengan tata kelola yang matang. Kabel semrawut dan ISP yang terlalu banyak di satu area, sementara area lain kering, adalah indikator ketidakseimbangan," ujarnya. Dr. Cahyo menambahkan bahwa solusi ducting bersama dan open access adalah langkah maju yang esensial. "Ini bukan hanya tentang efisiensi infrastruktur, tapi juga tentang menciptakan ekosistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan open access, kompetisi beralih dari pembangunan infrastruktur yang mahal ke inovasi layanan, yang pada akhirnya akan menguntungkan konsumen," jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mendukung regulasi ini, terutama dalam aspek perizinan dan penataan tata ruang. Tanpa dukungan aktif dari pemerintah daerah, implementasi ducting bersama akan sulit terwujud.

Upaya penataan industri telekomunikasi ini merupakan bagian integral dari strategi besar pemerintah untuk mengakselerasi transformasi digital Indonesia. Tantangan yang ada memang tidak sederhana, melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari regulator, operator telekomunikasi, pemerintah daerah, hingga masyarakat pengguna. Namun, dengan visi yang jelas, strategi yang komprehensif, dan kolaborasi yang kuat dari seluruh pihak, optimisme untuk mencapai kecepatan internet 100 Mbps yang merata di seluruh penjuru negeri dapat terwujud. Ini adalah langkah fundamental menuju Indonesia yang lebih terkoneksi, lebih produktif, dan lebih berdaya saing di era digital.

Menyingkap Tantangan Akselerasi Internet 100 Mbps Nasional: Ketika Kejenuhan Pasar dan Kabel Semrawut Menjadi Penghalang Digitalisasi

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *