
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menggodok sebuah rencana regulasi yang berpotensi mengubah lanskap komunikasi digital di Indonesia secara signifikan. Wacana ini berpusat pada pembatasan layanan dasar telekomunikasi berbasis Voice over Internet Protocol (VoIP) seperti panggilan suara dan video pada aplikasi populer semisal WhatsApp, Skype, Facetime, hingga fitur serupa di Instagram. Kebijakan ini, jika terealisasi, akan menjadi langkah revolusioner dalam upaya pemerintah menciptakan ekosistem digital yang lebih adil dan berkelanjutan, khususnya dalam hal kontribusi finansial dari penyedia layanan Over-The-Top (OTT) terhadap pembangunan infrastruktur telekomunikasi nasional.
Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi, Denny Setiawan, mengungkapkan bahwa inspirasi utama dari wacana ini datang dari praktik yang telah diterapkan di beberapa negara lain, dengan Uni Emirat Arab (UEA) sebagai contoh konkret. "Contoh di Uni Emirat Arab itu mereka (layanan) teks boleh, tapi WhatsApp call, video call, tidak bisa. Jadi, yang basic service (WhatsApp) itu tetap, tapi yang call dan video yang dibatasi," terang Denny di Jakarta pada Rabu, 16 Juli 2025. Pendekatan ini menunjukkan adanya upaya untuk memisahkan antara layanan komunikasi dasar berbasis teks, yang dianggap esensial, dengan layanan yang membutuhkan kapasitas bandwidth lebih besar seperti panggilan suara dan video.
Implikasi dari regulasi ini tidak hanya terbatas pada WhatsApp. Denny Setiawan menambahkan bahwa layanan dasar telekomunikasi yang terintegrasi di platform media sosial lain seperti Instagram, yang mencakup fitur panggilan suara dan video, juga berpotensi masuk dalam cakupan regulasi ini. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa pembatasan ini tidak akan menyentuh akses terhadap media sosial itu sendiri. Pengguna masih dapat menjelajahi linimasa, mengunggah foto, dan berinteraksi melalui pesan teks di platform tersebut seperti biasa. Fokus utama adalah pada fungsi komunikasi real-time yang memakan bandwidth besar dan, menurut pandangan pemerintah serta operator, belum memberikan kontribusi yang setimpal.
Motivasi di balik rencana pembatasan ini sangat jelas dan secara eksplisit diungkapkan oleh Denny Setiawan: "Tujuannya (diregulasi pemanggilan WhatsApp dan lainnya) agar sama-sama menguntungkan. Sekarang kan nggak ada kontribusi dari teman-teman OTT itu, berdarah-darah yang bangun investasi itu operator seluler." Pernyataan ini menyoroti disparitas signifikan dalam ekosistem digital saat ini. Operator telekomunikasi seluler menginvestasikan triliunan rupiah setiap tahun untuk membangun, memelihara, dan mengembangkan infrastruktur jaringan – mulai dari menara BTS, fiber optik, hingga spektrum frekuensi – yang menjadi tulang punggung bagi layanan internet. Namun, penyedia layanan OTT menikmati "jalan bebas hambatan" ini tanpa menanggung beban investasi infrastruktur yang serupa, meskipun layanan mereka menjadi pendorong utama konsumsi data.
Saat ini, wacana regulasi ini masih berada pada tahap yang sangat awal. Denny Setiawan menegaskan bahwa ini adalah "wacana, masih diskusi." Artinya, jalan menuju implementasi kebijakan ini masih panjang dan berliku. Prosesnya akan melibatkan diskusi intensif dengan berbagai pihak terkait, termasuk operator telekomunikasi, penyedia layanan OTT, asosiasi industri, akademisi, hingga perwakilan masyarakat dan konsumen. "Artinya, kita cari jalan tengah, bagaimana (memenuhi) layanan masyarakat, tetap butuh kan WA ini. Tapi untuk yang membutuhkan kapasitas besar ini kan butuh kontribusi, operator yang bangun tapi nggak dapat apa-apa," jelas Denny. Ini menunjukkan keinginan pemerintah untuk mencari solusi win-win yang tidak hanya menjaga kelangsungan investasi operator tetapi juga tetap memperhatikan kebutuhan dan kenyamanan masyarakat pengguna.
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menjadi salah satu pihak yang paling vokal dalam mendukung wacana regulasi ini. Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, secara gamblang mengungkapkan frustrasi yang dialami operator selama ini. Menurutnya, operator telekomunikasi adalah pihak yang selama ini "berdarah-darah" membangun dan merawat infrastruktur telekomunikasi yang kompleks dan mahal. Sementara itu, penyedia layanan OTT seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook, justru menikmati "kue digital" yang sangat besar dari peningkatan penggunaan layanan internet di masyarakat, tanpa memberikan kontribusi finansial yang sepadan.
Marwan O. Baasir menegaskan bahwa OTT harus diregulasi karena mereka pada dasarnya beroperasi sebagai "telecommunication application service." Ini berarti bahwa meskipun mereka tidak membangun jaringan fisik, mereka menyediakan layanan yang esensinya adalah komunikasi, yang seharusnya tunduk pada regulasi tertentu layaknya operator telekomunikasi tradisional. "Artinya diwajibkan kerja sama tetapi masyarakat tidak berdampak justru menerima manfaat. Dulu itu nyaris diwajibkan, sekarang kita dukung (aturan OTT)," ungkap Marwan. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa tuntutan regulasi OTT bukanlah hal baru, melainkan aspirasi lama dari industri telekomunikasi yang kini kembali mengemuka dengan dukungan pemerintah.
Jika wacana ini berlanjut menjadi kebijakan, dampaknya akan terasa luas. Bagi operator telekomunikasi, ini bisa menjadi angin segar yang membuka peluang baru untuk mendapatkan kontribusi finansial dari lalu lintas data yang dihasilkan oleh layanan OTT. Kontribusi ini dapat berupa skema bagi hasil, biaya interkoneksi, atau bentuk lain yang memungkinkan operator memulihkan sebagian dari investasi infrastruktur mereka. Dana ini kemudian dapat dialokasikan kembali untuk meningkatkan kualitas layanan, memperluas jangkauan jaringan, atau berinovasi dalam layanan baru, yang pada akhirnya akan menguntungkan konsumen.
Di sisi lain, bagi penyedia layanan OTT, regulasi ini bisa menjadi tantangan signifikan terhadap model bisnis mereka yang selama ini sangat bergantung pada "gratisan." Mereka mungkin harus mencari cara baru untuk berkolaborasi dengan operator, atau bahkan mempertimbangkan untuk menyesuaikan model monetisasi mereka. Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana bentuk kontribusi yang paling adil dan efektif. Apakah itu berupa skema pembayaran langsung, berbagi pendapatan iklan, atau investasi bersama dalam infrastruktur?
Bagi masyarakat pengguna, wacana ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Kehilangan akses panggilan suara dan video gratis di aplikasi populer bisa menjadi pukulan telak bagi sebagian besar pengguna yang telah terbiasa dengan kemudahan dan efisiensi komunikasi VoIP. Layanan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, baik untuk komunikasi pribadi, pekerjaan, pendidikan jarak jauh, maupun bisnis. Namun, jika regulasi ini berhasil meningkatkan kualitas jaringan secara keseluruhan dan memastikan keberlanjutan investasi infrastruktur, maka dalam jangka panjang, masyarakat juga akan merasakan manfaatnya melalui layanan internet yang lebih stabil dan cepat.
Pemerintah, melalui Komdigi, menghadapi tantangan yang kompleks dalam merumuskan regulasi ini. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk melindungi investasi operator dan memastikan keberlanjutan infrastruktur telekomunikasi nasional. Di sisi lain, pemerintah juga harus menjaga iklim inovasi, tidak menghambat perkembangan teknologi digital, dan tetap memastikan akses komunikasi yang terjangkau bagi masyarakat. Proses "mencari jalan tengah" akan melibatkan negosiasi yang alot antara kepentingan-kepentingan yang berbeda.
Selain aspek finansial dan bisnis, regulasi ini juga akan menyentuh isu-isu teknis dan hukum. Bagaimana secara teknis membatasi fungsi panggilan suara/video tanpa mengganggu fungsi teks atau fitur lain? Apakah ini akan memerlukan perubahan pada aplikasi OTT itu sendiri, ataukah intervensi pada tingkat jaringan oleh operator? Dari segi hukum, dasar regulasi apa yang akan digunakan? Apakah akan ada revisi undang-undang atau peraturan pemerintah yang sudah ada, ataukah akan diterbitkan regulasi baru yang khusus mengatur layanan OTT?
Debat mengenai regulasi OTT dan konsep "net neutrality" telah berlangsung secara global. Banyak negara bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana mengatur raksasa teknologi yang beroperasi lintas batas tanpa fisik dan bagaimana memastikan kontribusi mereka terhadap ekonomi lokal. Indonesia, dengan rencana ini, menempatkan dirinya di garis depan upaya global untuk menyeimbangkan inovasi digital dengan keadilan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur. Masa depan komunikasi digital di Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah berhasil merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang seimbang dan visioner ini. (agt/fay)
