
Tim Cook telah mengukir sejarah panjang sebagai CEO Apple sejak tahun 2011, mewarisi tahta kepemimpinan dari mendiang Steve Jobs. Di bawah kepemimpinannya, Apple telah mencapai kapitalisasi pasar yang belum pernah terjadi sebelumnya, memperluas lini produknya, dan menggandakan pendapatan dari layanan. Namun, setelah lebih dari satu dekade di pucuk pimpinan, pertanyaan-pertanyaan krusial mulai muncul mengenai arah strategis perusahaan, terutama di tengah pergeseran seismik dalam lanskap teknologi yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI). Dua analis terkemuka, Walter Piecyk dan Joe Galone dari firma riset LightShed, baru-baru ini menyuarakan kekhawatiran yang signifikan, bahkan menyarankan agar Apple segera mencari pengganti Cook, mengingat kekhawatiran bahwa raksasa teknologi ini mulai tertinggal jauh dalam perlombaan AI.
Kritik utama dari LightShed menyoroti fokus kepemimpinan Cook. "Saat ini Apple membutuhkan CEO yang fokus pada produk, bukan yang fokus pada logistik," tulis Piecyk dan Galone dalam memo untuk klien yang pertama kali dilaporkan oleh Bloomberg. Pernyataan ini secara implisit membandingkan gaya kepemimpinan Cook yang dikenal ahli dalam optimalisasi rantai pasok global, efisiensi operasional, dan manajemen finansial yang cermat, dengan visi Steve Jobs yang berorientasi pada inovasi produk radikal dan pengalaman pengguna yang transformatif. Di era AI, di mana inovasi produk didorong oleh kemampuan kecerdasan buatan, pergeseran fokus ini dianggap krusial. Apple, yang selama ini dikenal sebagai pionir dalam integrasi teknologi mutakhir ke dalam produk konsumen, kini menghadapi persepsi sebagai pengikut, bukan pemimpin, dalam revolusi AI generatif.
Kekhawatiran ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga tercermin dalam kinerja pasar saham. Bloomberg menambahkan bahwa saham Apple ikut tertinggal jika dibandingkan kompetitor utamanya seperti Meta dan Microsoft, yang telah lebih dulu menancapkan benderanya di sektor AI. Pada tahun 2025, saham Apple tercatat turun 16%, sementara Meta dan Microsoft masing-masing melonjak 25% dan 19%. Perbedaan mencolok ini menggarisbawahi bagaimana investor kini memprioritaskan perusahaan yang menunjukkan kepemimpinan dan kemajuan yang jelas di bidang AI. Ini bukan hanya tentang pendapatan kuartalan, melainkan tentang proyeksi pertumbuhan jangka panjang dan kemampuan beradaptasi di tengah paradigma teknologi yang berubah. Investor tampaknya memberikan premi kepada perusahaan yang dianggap memiliki posisi lebih baik untuk memanfaatkan gelombang AI yang akan datang, dan sayangnya, Apple belum termasuk dalam kategori tersebut di mata banyak pihak.
Memo dari LightShed secara tegas menyatakan bahwa "Ketinggalan di sektor AI dapat mengubah arah jangka panjang dan kemampuan perusahaan untuk tumbuh secara fundamental. AI akan mengubah industri-industri di seluruh ekonomi global, dan Apple berisiko menjadi salah satu korbannya." Pernyataan ini bukan sekadar peringatan, melainkan sebuah alarm keras. Apple, dengan ekosistemnya yang luas dan basis pengguna yang loyal, selalu bergantung pada inovasi yang mendorong batasan. Namun, jika AI menjadi "komputasi berikutnya" atau "antarmuka berikutnya," seperti yang banyak diyakini oleh para ahli, maka dominasi Apple di era smartphone bisa jadi tidak relevan tanpa adaptasi yang cepat dan mendalam. Kritik terhadap Siri, asisten virtual Apple, yang sering dianggap tertinggal jauh dari kompetitor seperti Google Assistant atau ChatGPT, menjadi salah satu contoh nyata dari kelambatan ini. Sementara perusahaan lain berlomba-lomba meluncurkan model bahasa besar (LLM) dan fitur AI generatif yang revolusioner, Apple cenderung lebih konservatif dan lambat dalam pergerakannya, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang strategi AI jangka panjangnya.
Komentar para analis ini muncul di tengah gejolak internal dalam kepemimpinan Apple. Baru-baru ini, Apple mengumumkan bahwa Chief Operating Officer (COO) Jeff Williams akan mengundurkan diri dari jabatannya pada akhir bulan ini. Williams, yang telah lama dianggap sebagai tangan kanan Cook dan bahkan sempat diproyeksikan sebagai kandidat kuat pengganti Cook di masa depan, kini akan digantikan oleh Sabih Khan, yang saat ini menjabat sebagai SVP of Operations di Apple. Kepergian Williams yang mendadak ini menimbulkan spekulasi lebih lanjut tentang dinamika internal dan perencanaan suksesi di Apple. Dengan mundurnya Williams, bursa calon CEO baru Apple mengalami perubahan signifikan. John Ternus, SVP of Hardware Engineering, kini diyakini sebagai kandidat terkuat untuk menggantikan Cook. Ternus dikenal karena perannya dalam pengembangan produk-produk hardware ikonik Apple, termasuk iPhone, iPad, dan Mac. Pergeseran fokus ke Ternus, seorang "orang produk" sejati, bisa jadi merupakan indikasi bahwa dewan direksi Apple mulai menyadari perlunya pemimpin dengan orientasi produk yang kuat, meskipun Cook tetap berada di pucuk pimpinan.
Meskipun tekanan eksternal dan pergeseran internal mulai terasa, Tim Cook kemungkinan tidak akan mundur dalam waktu dekat. Jurnalis Bloomberg, Mark Gurman, yang dikenal memiliki sumber-sumber kuat di Apple, mengatakan bahwa belum ada penerus yang benar-benar siap untuk mengambil alih posisi CEO. Lebih jauh lagi, Cook sendiri belum menunjukkan tanda-tanda untuk mundur atau secara aktif mempersiapkan penerusnya secara transparan. Gurman juga menyoroti fakta bahwa direksi Apple saat ini diisi oleh orang-orang kepercayaan Cook, yang membuat mereka tidak merasa perlu melakukan perubahan drastis. Ada spekulasi bahwa pria berusia 64 tahun itu bahkan diyakini akan merangkap jabatan di Apple sebagai chairman setelah ia lengser dari kursi CEO, sebuah langkah yang akan memberinya pengaruh berkelanjutan di perusahaan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor dan analis bahwa transisi kepemimpinan mungkin tidak akan terjadi secepat atau sekomprehensif yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan AI.
Namun, bukan berarti tidak ada kesadaran internal akan perlunya perubahan signifikan di perusahaan. Sejumlah eksekutif Apple menyadari bahwa stagnasi bisa berakibat fatal. Eddy Cue, SVP of Services Apple, belum lama ini secara blak-blakan memperingatkan bahwa Apple bisa bernasib sama seperti BlackBerry jika tidak beradaptasi dengan cepat. Analogi BlackBerry sangatlah kuat dan mengerikan bagi perusahaan teknologi mana pun. BlackBerry, yang dulunya adalah raja pasar smartphone, runtuh karena gagal beradaptasi dengan era smartphone layar sentuh dan ekosistem aplikasi yang terbuka. Peringatan Cue ini mengindikasikan adanya diskusi dan kekhawatiran yang mendalam di tingkat eksekutif Apple mengenai masa depan perusahaan di tengah gelombang AI yang tidak bisa diabaikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun Cook dan dewan direksi mungkin merasa nyaman dengan status quo, ada elemen-elemen kunci dalam kepemimpinan Apple yang melihat ancaman eksistensial jika perusahaan gagal berinovasi dan memimpin di bidang AI.
Di tengah semua ini, Apple berdiri di persimpangan jalan. Reputasinya sebagai inovator terkemuka, terutama di bawah Steve Jobs, dibangun di atas kemampuan perusahaan untuk melihat masa depan dan menciptakan kategori produk baru. iPhone mengubah dunia, dan Apple terus mendominasi pasar smartphone premium. Namun, di era AI, di mana data adalah minyak baru dan algoritma adalah mesin pembakaran, Apple harus membuktikan bahwa ia bisa mempertahankan keunggulannya. Tantangan terbesar bagi Apple dan Tim Cook bukanlah masalah logistik atau efisiensi produksi, melainkan masalah visi dan kecepatan inovasi di bidang yang akan mendefinisikan dekade berikutnya. Apakah Apple akan mampu bangkit dan memimpin di era AI, ataukah akan menjadi korban dari kelambanan dan terlalu berpegang pada kejayaan masa lalu? Pertanyaan ini akan menjadi penentu masa depan salah satu perusahaan paling berharga di dunia.
