
Kabar tak sedap datang dari pasar mobil listrik (EV) bekas di Indonesia, yang ternyata jauh dari ekspektasi cerah yang selama ini digembar-gemborkan. Balai Lelang Serasi (IBID), sebuah entitas terkemuka di bawah naungan Grup Astra, secara terang-terangan mengakui bahwa mereka masih menghadapi tantangan besar dalam menjual unit-unit mobil listrik bekas, bahkan setelah harga dasarnya dipangkas habis-habisan. Situasi ini menyoroti sejumlah kendala fundamental yang masih membelit ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air, terutama di segmen purnajual.
Presiden Direktur IBID, Daddy Doxa Manurung, mengungkapkan langsung kondisi memprihatinkan ini di Jakarta, seperti dikutip dari CNN Indonesia pada Kamis (17/7). "Sejauh ini masih berat jualannya, padahal secara harga dasar nilai jual kembali itu sudah turun dari harga dasar awalnya," ujar Daddy Doxa, menjelaskan dilema yang dihadapi perusahaannya. Pernyataan ini menjadi alarm keras bahwa meskipun ada dorongan masif untuk transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik, segmen mobil bekasnya masih belum menemukan pijakan yang kokoh di hati konsumen.
Salah satu contoh paling mencolok dari fenomena ini adalah nasib Toyota bZ4X produksi tahun 2022. Model SUV listrik yang kala meluncur dua tahun lalu dibanderol fantastis di angka Rp 1,19 miliar, kini menjadi cerminan nyata dari penurunan nilai yang drastis di pasar bekas. IBID awalnya mematok harga dasar bZ4X bekas di kisaran Rp 700 jutaan dalam sistem lelang mereka. Namun, karena tak kunjung ada peminat yang serius, harga tersebut terpaksa direvisi turun secara signifikan, menjadi sekitar Rp 600 jutaan, bahkan ada unit yang kini hanya ditawarkan di angka Rp 500 jutaan. Penurunan harga yang mencapai 50 hingga 60 persen dari harga barunya dalam waktu singkat adalah sesuatu yang jarang terjadi pada kendaraan konvensional dan sangat mengkhawatirkan bagi calon pembeli EV baru yang memikirkan nilai depresiasi.
Baca Juga:
- Fatwa Haram dan Desakan Regulasi: Meresahkan, Truk Sound Horeg Ancam Kenyamanan dan Infrastruktur
- Jadwal Lengkap dan Analisis Mendalam MotoGP Jerman 2025: Dominasi Marc Marquez di Sachsenring dan Pertarungan Gelar yang Kian Panas
- Driver Grab di Singapura Raup Puluhan Juta: Kisah Afiq Zayany, Antara Fleksibilitas dan Realitas Gig Economy.
- Yamaha X-Ride 125 2025 Meluncur dengan Tiga Pilihan Warna Baru, Siap Pikat Jiwa Petualang Muda
- Daftar Provinsi yang Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan: Denda dan Tunggakan Dihapus!
Sistem lelang yang diterapkan oleh IBID, seperti halnya balai lelang pada umumnya, beroperasi dengan prinsip penawaran terbuka. Harga dasar yang ditetapkan hanyalah patokan awal, sementara harga akhir sebuah unit ditentukan oleh dinamika persaingan antara para peserta lelang. Semakin banyak peminat yang tertarik, semakin tinggi pula harga yang berpotensi tercapai. Ironisnya, untuk mobil listrik bekas, skenario ideal ini justru tidak terwujud. "Jadi secara angka itu sebenarnya sudah turun dari harga dasar awal itu. Awal di Rp 700-an juta sekarang udah Rp 600-an juta, itu pun masih belum ada yang ngambil," tutur Daddy Doxa, menggarisbawahi minimnya daya tarik meskipun diskon sudah diberikan secara masif. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada harga, tetapi juga pada persepsi nilai dan kekhawatiran yang lebih dalam dari konsumen.
Kontras yang mencolok terlihat ketika membandingkan nasib mobil listrik bekas dengan rekan-rekannya yang masih mengandalkan mesin bensin. Di tengah lesunya minat terhadap EV bekas, mobil-mobil konvensional justru tetap menjadi "bintang" di rumah lelang. Model-model populer seperti Toyota Agya, Toyota Calya, Honda Brio, hingga Daihatsu Sigra, dilaporkan memiliki perputaran penjualan yang sangat cepat. Rata-rata, unit-unit ini dapat terjual maksimal dalam dua minggu sejak ditawarkan. Kecepatan transaksi ini mencerminkan tingginya permintaan dan kepercayaan konsumen terhadap kendaraan dengan teknologi yang sudah teruji dan ekosistem pendukung yang matang.
Sebaliknya, mobil listrik bekas menghadapi waktu tunggu yang jauh lebih lama. Jika mobil bensin dapat terjual dalam hitungan minggu, unit EV bekas seringkali memerlukan waktu satu hingga dua bulan, bahkan lebih. Kondisi ini memaksa IBID untuk mengambil langkah-langkah adaptif. "Tapi ya tergantung harga. Kalau dilelang itu misal sudah berapa kali lelang, terus enggak laku. Kami pasti tanya ke pemilik, ini mau ditarik balik atau mau diturunin (harganya)," jelas Daddy. Situasi ini menempatkan pemilik mobil listrik bekas dalam posisi sulit, di mana mereka harus memilih antara menarik unitnya dari lelang tanpa hasil atau menerima kerugian lebih lanjut dengan menurunkan harga jual.
Menurut Daddy Doxa Manurung, sepinya peminat mobil listrik bekas tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia yang memang belum sepenuhnya matang. Ada beberapa faktor krusial yang berkontribusi pada ketidakpastian dan keengganan konsumen untuk berinvestasi pada EV bekas:
-
Kekhawatiran Terhadap Kondisi Baterai: Ini adalah isu paling sentral. Baterai adalah komponen termahal pada mobil listrik, dan usia serta degradasi baterai menjadi momok bagi pembeli bekas. Tidak ada standar sertifikasi kesehatan baterai yang luas dan terpercaya untuk pasar bekas, sehingga konsumen takut mendapatkan unit dengan baterai yang performanya sudah menurun drastis atau bahkan mendekati akhir masa pakainya. Biaya penggantian baterai yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah menjadi risiko yang sangat besar.
-
Infrastruktur Pengisian Daya yang Belum Merata: Meskipun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) terus bertambah, distribusinya masih belum merata, terutama di luar kota-kota besar. Kekhawatiran akan "range anxiety" (kecemasan jangkauan) dan "charging anxiety" (kecemasan menemukan tempat pengisian) masih menghantui calon pembeli, terutama jika mereka tidak memiliki fasilitas pengisian di rumah atau kantor.
-
Ketersediaan dan Biaya Perawatan/Suku Cadang: Mobil listrik membutuhkan perawatan yang berbeda dengan mobil bensin. Bengkel resmi yang memiliki teknisi terlatih dan peralatan khusus untuk EV masih terbatas. Ketersediaan suku cadang, terutama komponen spesifik EV, juga belum seluas mobil konvensional, yang berpotensi meningkatkan biaya dan waktu perbaikan.
-
Perkembangan Teknologi yang Cepat: Teknologi baterai dan motor listrik terus berkembang pesat. Konsumen khawatir bahwa mobil listrik bekas yang mereka beli akan cepat ketinggalan zaman dalam hal jangkauan, kecepatan pengisian, atau fitur lainnya. Hal ini memicu ketakutan akan nilai depresiasi yang lebih cepat di masa mendatang.
-
Kurangnya Pengetahuan dan Edukasi Konsumen: Masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami kelebihan dan kekurangan mobil listrik, termasuk mitos-mitos seputar performa, keamanan, dan biaya operasional. Edukasi yang lebih masif dan terarah diperlukan untuk membangun kepercayaan.
-
Insentif Pemerintah yang Lebih Berpihak pada Mobil Baru: Sebagian besar insentif pemerintah, seperti subsidi PPN atau PPnBM, ditujukan untuk pembelian mobil listrik baru. Belum ada skema insentif yang jelas untuk mendorong pasar mobil listrik bekas, yang padahal bisa menjadi jembatan bagi konsumen yang ingin beralih ke EV dengan anggaran lebih terbatas.
Meskipun demikian, Daddy Doxa Manurung tetap memancarkan optimisme bahwa dalam lima tahun ke depan, situasi pasar mobil listrik bekas bisa jauh berbeda. Optimisme ini bukan tanpa dasar. Dengan semakin banyaknya model mobil listrik baru yang masuk ke pasar dengan harga yang lebih kompetitif, serta upaya pemerintah dan swasta dalam membangun infrastruktur pengisian daya, ekosistem EV diharapkan akan semakin matang.
Untuk mewujudkan optimisme tersebut, beberapa hal krusial perlu terjadi:
- Perluasan Infrastruktur: Pembangunan SPKLU harus dipercepat dan didistribusikan lebih merata, termasuk di area komersial dan residensial.
- Standardisasi dan Sertifikasi Baterai: Penting untuk mengembangkan sistem sertifikasi kesehatan baterai yang transparan dan terpercaya untuk unit bekas, memberikan jaminan kepada pembeli.
- Pengembangan Layanan Purnajual: Jaringan bengkel yang mampu menangani EV harus diperbanyak, dengan teknisi yang terlatih dan ketersediaan suku cadang yang memadai.
- Edukasi Massal: Kampanye edukasi yang komprehensif tentang manfaat, perawatan, dan nilai jual kembali EV perlu digencarkan.
- Dukungan Kebijakan Berkelanjutan: Pemerintah perlu mempertimbangkan insentif untuk pasar mobil listrik bekas, atau setidaknya kebijakan yang mendukung ekosistem secara menyeluruh, dari produksi hingga daur ulang baterai.
- Inovasi Teknologi: Penurunan biaya baterai dan peningkatan daya tahan akan secara alami meningkatkan daya tarik EV bekas.
Kondisi pasar mobil listrik bekas saat ini di IBID adalah sebuah cerminan nyata dari fase awal transisi energi di Indonesia. Ini adalah tantangan yang harus diatasi, bukan hanya oleh balai lelang, tetapi oleh seluruh pemangku kepentingan: produsen mobil, pemerintah, penyedia infrastruktur, hingga lembaga keuangan yang membiayai pembelian kendaraan. Hanya dengan pendekatan holistik dan upaya bersama, pasar mobil listrik bekas dapat berkembang menjadi segmen yang sehat dan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan mempercepat adopsi kendaraan listrik secara nasional. Tanpa adanya pasar bekas yang stabil, nilai depresiasi EV baru akan terus menjadi kekhawatiran besar, menghambat langkah Indonesia menuju mobilitas yang lebih hijau. (sfn/dry)
