Starlink Dipertanyakan: Klaim Kapasitas Habis Terjual dan Dugaan Perebutan Frekuensi Tak Teratur ITU di Indonesia

Starlink Dipertanyakan: Klaim Kapasitas Habis Terjual dan Dugaan Perebutan Frekuensi Tak Teratur ITU di Indonesia

Keputusan Starlink untuk menghentikan penambahan pelanggan baru di Indonesia dengan dalih kapasitas yang telah habis terjual telah memicu gelombang pertanyaan dan kecurigaan di kalangan pakar telekomunikasi. Klaim ini, yang seharusnya menjadi indikator keberhasilan bisnis, justru dianggap "tidak masuk akal" oleh Agung Harsoyo, seorang pakar telekomunikasi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB dan mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2015-2018. Menurut Agung, di balik klaim tersebut, ada strategi yang lebih besar yang dijalankan oleh perusahaan milik Elon Musk itu, yaitu upaya untuk menekan pemerintah Indonesia agar diberikan alokasi frekuensi tambahan yang belum diatur secara internasional.

Dalam industri telekomunikasi yang sangat terencana, setiap pelaku usaha diwajibkan memiliki rencana bisnis yang matang dan proyeksi pertumbuhan yang akurat. Ini termasuk antisipasi terhadap lonjakan kebutuhan layanan, serta strategi untuk meningkatkan kapasitas secara bertahap atau signifikan. Oleh karena itu, klaim "kapasitas habis terjual" tanpa disertai dengan rencana ekspansi atau penambahan infrastruktur yang jelas, menimbulkan tanda tanya besar. Agung Harsoyo menekankan bahwa seorang operator telekomunikasi global sekelas Starlink seharusnya tidak menghadapi kendala kapasitas secara mendadak tanpa langkah antisipasi yang memadai. Ini mengindikasikan bahwa alasan sebenarnya mungkin tidak murni terkait teknis operasional, melainkan sebuah manuver strategis dalam lanskap regulasi spektrum frekuensi.

Agung secara blak-blakan mengungkapkan dugaannya bahwa langkah Starlink saat ini merupakan taktik untuk mendapatkan tambahan alokasi frekuensi. Starlink, dalam pandangannya, berupaya menekan pemerintah, khususnya Presiden Prabowo melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi), agar diberikan hak eksklusif atas frekuensi tertentu. Dengan dalih kapasitas yang sudah tidak mencukupi dan kebutuhan mendesak untuk melayani lebih banyak pelanggan, Starlink berharap bisa memperoleh akses prioritas ke frekuensi tambahan. Ironisnya, frekuensi yang mereka inginkan tersebut belum diatur oleh International Telecommunication Union (ITU), sebuah badan khusus PBB yang bertanggung jawab mengatur spektrum radio dan orbit satelit secara global.

"Karena belum diatur oleh ITU, Starlink berusaha menggiring agar diberikan kepada mereka terlebih dahulu," ucap Agung. Ia menganalogikan strategi ini dengan pendekatan "regulatory sandboxing" yang kerap digunakan dalam industri fintech. Dalam konteks fintech, sandboxing memungkinkan perusahaan untuk menguji inovasi produk dan layanan dalam lingkungan yang terkontrol dengan regulasi yang lebih fleksibel, sebelum aturan baku diterapkan secara luas. Namun, Agung menilai bahwa apa yang dilakukan Starlink ini memiliki skala dan implikasi yang jauh lebih besar. "Intinya, Starlink ingin menguasai frekuensi yang belum diatur ITU itu untuk kebutuhan bisnis mereka di Indonesia," tambahnya. Jika berhasil, langkah ini dapat memberikan Starlink keunggulan kompetitif yang tidak adil, bahkan berpotensi menciptakan monopoli de facto atas segmen spektrum yang krusial untuk masa depan komunikasi satelit.

Implikasi dari upaya penguasaan frekuensi yang belum diatur ini sangat serius bagi kedaulatan spektrum nasional dan persaingan usaha yang sehat. Spektrum frekuensi adalah sumber daya alam terbatas yang vital bagi industri telekomunikasi, dan pengelolaannya harus dilakukan secara adil dan transparan demi kepentingan publik. Jika sebuah entitas asing dapat mengklaim atau mendapatkan hak atas frekuensi tanpa melalui proses regulasi yang mapan atau kesepakatan internasional yang jelas, ini dapat mengganggu keseimbangan pasar dan merugikan operator lokal yang telah mematuhi semua aturan yang berlaku.

Melihat kompleksitas dan potensi dampak jangka panjang dari situasi ini, Agung Harsoyo mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap keberadaan dan permintaan Starlink yang telah beroperasi selama kurang lebih satu tahun terakhir, terutama setelah memperluas pangsa pasar mereka ke segmen konsumen ritel. Audit ini harus mencakup evaluasi kepatuhan Starlink terhadap peraturan yang ada, serta validitas klaim kapasitas dan kebutuhan frekuensi yang mereka ajukan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap keputusan terkait alokasi spektrum didasarkan pada kepentingan nasional, bukan tekanan dari pihak asing.

Agung menjelaskan bahwa pada dasarnya, prinsip dasar regulasi telekomunikasi dibuat untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pelaku usaha. Sebagai penyelenggara telekomunikasi, Starlink, layaknya operator lain, harus memiliki komitmen pembangunan dan investasi yang jelas di Indonesia. Ini tidak hanya mencakup pembangunan infrastruktur teknis seperti stasiun bumi atau pusat data lokal, tetapi juga komitmen untuk melayani daerah-daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) yang seringkali tidak menarik secara komersial bagi operator lain. Mereka diharapkan turut serta dalam program Layanan Kewajiban Universal (LKU) atau Universal Service Obligation (USO), seperti membangun jaringan telekomunikasi di daerah 3T untuk melayani fasilitas pelayanan publik seperti sekolah, puskesmas, atau kantor pemerintahan.

"Pemerintah harus bisa menegakkan aturan dan menagih janji Starlink dan Elon Musk," tegas Agung. Ia menyoroti bahwa hingga saat ini, belum terlihat komitmen pembangunan Starlink yang signifikan di Indonesia, khususnya dalam konteks pemerataan akses di daerah 3T. Lebih lanjut, Agung mengungkapkan kekecewaannya karena Starlink disinyalir telah melanggar janji awalnya untuk tidak menjual layanan di daerah yang sudah memiliki layanan seluler dan fiber optik. "Janji untuk tidak menjual layanan di daerah yang sudah memiliki layanan seluler dan fiber optik juga tidak mereka penuhi. Ini sama saja Starlink tidak mendukung program pemerintah dalam memberikan layanan telekomunikasi di Indonesia, khususnya di daerah blankspot," katanya. Praktik ini secara langsung merugikan operator lokal yang telah berinvestasi besar di wilayah perkotaan dan padat penduduk, serta berpotensi menciptakan persaingan yang tidak sehat.

Sebelum menyediakan layanan ritel di Indonesia, Starlink hanya diberikan izin sebagai penyedia layanan backhaul pada tahun 2022. Izin ini memungkinkan Starlink untuk menghubungkan Base Transceiver Station (BTS) di daerah 3T, membantu operator seluler lokal memperluas jangkauan mereka di area yang sulit dijangkau. Namun, seiring berjalannya waktu, Starlink berhasil mendapatkan izin untuk menjual layanan telekomunikasi ritel secara langsung kepada konsumen di tahun 2024. Perubahan jenis izin ini seharusnya diikuti dengan peningkatan tanggung jawab dan kepatuhan terhadap regulasi yang lebih ketat, terutama terkait persaingan usaha dan kewajiban layanan publik.

Kehadiran Starlink di Indonesia turut mendapat sorotan tajam dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU telah melakukan kajian mendalam terhadap masuknya penyedia jasa internet Low Earth Orbit (LEO) ini dari berbagai aspek, termasuk kebijakan Pemerintah, persepsi konsumen, kesiapan infrastruktur atau teknologi, dan konsentrasi pasar jasa internet. Hasil kajian KPPU menunjukkan potensi disrupsi pasar dan perlunya pengaturan yang ketat untuk menjaga persaingan yang sehat.

Berdasarkan rekomendasi KPPU, dalam menjalankan bisnisnya, Starlink wajib bekerja sama dengan pelaku telekomunikasi dan UMKM lokal, serta hanya boleh beroperasi di daerah 3T yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi yang memadai. Rekomendasi ini bertujuan untuk memastikan Starlink tidak hanya mengambil ceruk pasar yang menguntungkan, tetapi juga berkontribusi pada pemerataan akses internet di seluruh Indonesia dan memberdayakan ekosistem lokal. Namun, menurut Agung Harsoyo, semua regulasi dan perintah regulator tersebut tidak dipatuhi oleh Starlink. Pelanggaran ini menjadi preseden buruk dan mengikis kepercayaan terhadap komitmen investasi dan kepatuhan hukum Starlink.

Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki hak penuh untuk menegakkan hukum dan regulasinya. "Seluruh pelaku usaha telekomunikasi asing wajib tunduk dan taat kepada regulasi di Indonesia. Jika tidak taat, hentikan saja kegiatan usaha mereka," pungkas Agung dengan tegas. Pernyataan ini menegaskan posisi bahwa pemerintah tidak boleh ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap operator asing yang tidak menghormati kedaulatan hukum Indonesia. Konsistensi dalam penegakan regulasi adalah kunci untuk menarik investasi yang berkualitas, menjaga persaingan yang adil, dan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur telekomunikasi nasional berjalan sesuai rencana strategis pemerintah, demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Starlink Dipertanyakan: Klaim Kapasitas Habis Terjual dan Dugaan Perebutan Frekuensi Tak Teratur ITU di Indonesia

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *