
Jakarta – Sebuah gelombang kejut mengguncang industri game global seiring dengan pengumuman King, raksasa di balik fenomena game kasual Candy Crush Saga, yang bersiap melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 200 karyawannya. Keputusan drastis ini, yang disebut-sebut sebagai bagian dari transisi internal perusahaan, telah menciptakan suasana ketidakpastian dan moral yang merosot di kalangan pegawai. Namun, yang paling mengundang sorotan dan memicu perdebatan sengit adalah fakta bahwa posisi yang ditinggalkan oleh para karyawan ini akan digantikan oleh sistem Kecerdasan Buatan (AI) yang ironisnya, dikembangkan sendiri oleh para pegawai yang kini terancam kehilangan pekerjaan.
Kabar PHK ini pertama kali mencuat melalui laporan Bloomberg dan dengan cepat dikonfirmasi oleh sejumlah karyawan King yang merasa terpukul dan kecewa. Menurut sumber orang dalam yang dikutip oleh Mobile Gamer Biz, dampak PHK ini terasa paling signifikan di divisi-divisi kunci seperti desain level. Divisi ini sebelumnya telah menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun, untuk merancang dan menyempurnakan sistem AI yang bertujuan untuk mempercepat serta mengoptimalkan proses kerja mereka. Kini, sistem AI yang seharusnya menjadi alat bantu tersebut malah berubah menjadi algojo yang menggeser posisi para kreatornya.
Seorang pegawai King dengan nada getir mengungkapkan perasaannya, "Hampir semua desainer level kena PHK, dan itu gila karena mereka menghabiskan berbulan-bulan untuk membuat sistem yang bisa mendesain level dengan lebih cepat." Ia menambahkan, "Kini AI itu pada dasarnya menggantikan tim. Begitu juga dengan tim copywriting yang juga melakukan PHK karena kami kini punya AI yang dibuat oleh orang-orang yang terkena PHK itu." Pernyataan ini menyoroti sebuah paradoks modern: inovasi yang diciptakan untuk kemajuan manusia justru berbalik arah menjadi ancaman bagi mata pencaharian mereka.
PHK ini tidak hanya menyasar desainer level dan tim copywriting. Laporan menyebutkan bahwa dampaknya meluas ke berbagai tingkatan dan peran, termasuk manajer kelas menengah, peneliti, dan tim kreatif lainnya. Banyak dari mereka yang terkena PHK adalah individu dengan peran khusus dan keahlian mendalam yang telah berkontribusi besar terhadap kesuksesan King selama bertahun-tahun. Keahlian dan pengalaman mereka, yang seharusnya menjadi aset tak ternilai, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa algoritma dan data mampu melakukan pekerjaan yang sama, bahkan dengan biaya yang jauh lebih rendah bagi perusahaan.
Sentimen negatif di kalangan karyawan King sangat kentara. Salah seorang karyawan mengungkapkan kemarahannya dengan lugas, "Keberadaan AI yang menggantikan orang itu benar-benar menjijikkan. Ini semua soal efisiensi dan keuntungan sekalipun perusahaan tetap menguntungkan secara keseluruhan." Pernyataan ini mengungkap inti dari dilema etis yang dihadapi banyak perusahaan teknologi saat ini: apakah pengejaran efisiensi dan profitabilitas harus dilakukan dengan mengorbankan sumber daya manusia, terutama ketika perusahaan tersebut masih berada dalam kondisi finansial yang sehat? King, dengan seri game Candy Crush yang masih sangat populer dan menghasilkan pendapatan miliaran dolar, seolah-olah menunjukkan bahwa keuntungan dan inovasi teknologi ditempatkan di atas loyalitas dan kesejahteraan karyawan.
Dampak PHK ini terasa di berbagai kantor King di Eropa, dengan total 200 pegawai tersebar di London, Stockholm, Berlin, dan Barcelona. Salah satu tim yang paling terpukul adalah tim Farm Heroes Saga di kantor London, di mana hampir separuh pegawainya—sekitar 50 orang—terkena PHK. Angka ini mencerminkan skala keputusan yang diambil oleh King, yang meskipun tidak sebesar gelombang PHK massal di raksasa teknologi lain seperti Meta atau Google, namun memiliki implikasi yang mendalam karena faktor penggantian oleh AI.
Insiden di King ini bukan sekadar berita PHK biasa; ini adalah sebuah preseden yang mengkhawatirkan bagi masa depan pekerjaan di era digital. Selama bertahun-tahun, para ahli telah memperingatkan tentang potensi AI untuk mengotomatisasi pekerjaan, tetapi kejadian di King menghadirkan skenario yang lebih kompleks: karyawan yang berinvestasi waktu dan keahlian untuk menciptakan alat yang pada akhirnya akan menggantikan mereka sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan fundamental tentang etika korporat, tanggung jawab perusahaan terhadap karyawannya, dan batas-batas inovasi.
Di satu sisi, perusahaan seperti King berargumen bahwa adopsi AI adalah sebuah keniscayaan untuk tetap kompetitif di pasar yang bergerak cepat. AI dapat memproses data dalam jumlah besar, mengidentifikasi pola, dan bahkan menghasilkan konten kreatif dengan kecepatan yang jauh melampaui kemampuan manusia. Dalam konteks desain level game, misalnya, AI dapat dengan cepat menguji ribuan variasi level, mengidentifikasi yang paling menarik atau menantang, dan bahkan membuat level baru berdasarkan preferensi pemain. Hal yang sama berlaku untuk copywriting, di mana AI dapat menghasilkan berbagai opsi teks pemasaran, deskripsi produk, atau bahkan dialog game berdasarkan parameter tertentu.
Namun, di sisi lain, argumen ini sering kali mengabaikan nilai-nilai tak berwujud yang dibawa oleh manusia. Kreativitas sejati, intuisi, empati, pemahaman nuansa budaya, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan tak terduga adalah kualitas-kualitas yang masih sulit, jika tidak mustahil, untuk direplikasi sepenuhnya oleh AI. Game, pada intinya, adalah bentuk seni dan hiburan yang sangat bergantung pada sentuhan manusia untuk membangkitkan emosi, menceritakan kisah, dan menciptakan pengalaman yang mendalam. Apakah game yang dirancang sepenuhnya oleh AI akan memiliki "jiwa" yang sama dengan game yang lahir dari proses kreatif manusia yang penuh gairah dan kadang-kadang, perjuangan?
Dampak psikologis pada karyawan yang menjadi korban PHK semacam ini juga tidak bisa diremehkan. Bayangkan perasaan seorang desainer yang telah mencurahkan pikiran dan energinya untuk membangun sebuah sistem, hanya untuk melihat sistem tersebut menjadi alat yang mengakhiri kariernya di perusahaan itu. Ini bukan hanya tentang kehilangan pekerjaan; ini adalah tentang pengkhianatan terhadap investasi intelektual dan emosional. Ketidakpastian semacam ini dapat menyebar ke seluruh industri, menciptakan iklim ketakutan di mana karyawan mungkin enggan untuk berinovasi atau berbagi pengetahuan karena khawatir akan menciptakan "pengganti" mereka sendiri.
Kejadian di King ini juga memicu perdebatan yang lebih luas tentang masa depan pekerjaan. Jika perusahaan-perusahaan terus mengutamakan efisiensi dan keuntungan di atas segalanya, dan jika AI terus berkembang dengan kecepatan eksponensial, apa yang akan terjadi pada angkatan kerja global? Apakah kita akan melihat peningkatan pengangguran struktural yang signifikan, di mana orang-orang kehilangan pekerjaan bukan karena kurangnya keterampilan, tetapi karena pekerjaan mereka dapat dilakukan oleh mesin? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut perhatian dari pembuat kebijakan, pemimpin industri, dan masyarakat sipil.
Solusi potensial bisa mencakup investasi yang lebih besar dalam program reskilling dan upskilling bagi pekerja yang terkena dampak otomatisasi, atau bahkan eksplorasi model ekonomi baru seperti Pendapatan Dasar Universal (UBI) untuk memberikan jaring pengaman bagi mereka yang pekerjaan konvensionalnya telah digantikan. Namun, yang paling penting adalah perlunya dialog etis yang lebih kuat dalam pengembangan dan penerapan AI. Perusahaan harus dipertanyakan tidak hanya tentang apa yang bisa dilakukan AI, tetapi juga tentang apa yang seharusnya dilakukan AI, dan bagaimana teknologi ini dapat digunakan untuk meningkatkan kehidupan manusia secara keseluruhan, bukan hanya keuntungan perusahaan.
Insiden PHK di King, yang terjadi pada Kamis, 17 Juli 2025, menjadi pengingat yang mencolok akan tantangan dan dilema yang akan kita hadapi di era AI. Ini adalah kisah tentang inovasi yang berbalik arah, tentang pengejaran efisiensi yang berujung pada hilangnya pekerjaan, dan tentang kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. King, sebagai pionir di industri game kasual, kini mungkin juga menjadi pionir dalam memicu perdebatan penting tentang masa depan pekerjaan di dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan.
