
Kehadiran ChatGPT, sebuah tonggak sejarah dalam evolusi kecerdasan buatan, telah mengubah lanskap interaksi manusia secara fundamental. Dari cara kita mencari informasi hingga bagaimana kita merangkai kalimat, jejak digital dari model bahasa besar ini semakin meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari. Namun, dampak yang paling mengejutkan dan mungkin paling halus adalah pengaruhnya terhadap gaya berbicara manusia. Sebuah studi revolusioner dari Max Planck Institute for Human Development di Jerman baru-baru ini mengungkap temuan yang mencengangkan: manusia kini secara tidak sadar mulai meniru pola bahasa yang sering digunakan oleh ChatGPT, sebuah fenomena yang mereka sebut sebagai peningkatan frekuensi ‘GPT words’ dalam komunikasi lisan.
Dalam kurun waktu hanya 18 bulan sejak ChatGPT pertama kali diperkenalkan ke publik, frekuensi penggunaan kata-kata tertentu yang secara karakteristik diasosiasikan dengan gaya bahasa AI ini telah meningkat secara signifikan. Temuan ini tidak hanya mengkonfirmasi intuisi banyak pengamat tentang pengaruh AI terhadap bahasa, tetapi juga memperluas pemahaman kita mengenai sejauh mana dampak tersebut meresap, bahkan hingga ke dalam ranah percakapan sehari-hari yang spontan.
Penelitian sebelumnya telah banyak membahas bagaimana ChatGPT memengaruhi gaya menulis manusia, mulai dari esai akademik hingga email profesional. Kemampuan AI untuk menghasilkan teks yang koheren, terstruktur, dan seringkali terdengar "resmi" telah membuat banyak pengguna mengadopsi gaya tersebut dalam tulisan mereka. Namun, pertanyaan yang lebih mendalam muncul: apakah penggunaan AI juga berdampak pada gaya manusia berbicara? Apakah interaksi yang intens dengan sistem seperti ChatGPT secara tidak langsung membentuk cara kita mengucapkan kata-kata dalam percakapan lisan? Studi dari Max Planck Institute ini secara spesifik berupaya menjawab pertanyaan krusial tersebut, mengisi kekosongan dalam literatur penelitian tentang dampak AI terhadap komunikasi verbal.
Untuk menyelidiki hipotesis ini, tim peneliti Max Planck Institute melakukan analisis data yang ekstensif dan inovatif. Mereka memulai dengan mengunggah jutaan halaman teks – termasuk email, esai, makalah akademis, dan artikel berita – ke dalam ChatGPT, meminta chatbot tersebut untuk ‘memoles’ atau menyempurnakan tulisan-tulisan itu. Proses ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi pola-pola leksikal dan sintaksis yang secara konsisten muncul dalam respons ChatGPT. Dari sini, daftar ‘GPT words’ yang spesifik dapat disusun, menjadi indikator kunci untuk analisis selanjutnya.
Kata-kata seperti ‘delve’ (menyelami), ‘realm’ (ranah), ‘meticulous’ (teliti), ‘comprehend’ (memahami), dan ‘bolster’ (memperkuat) – yang oleh peneliti dijuluki ‘GPT words’ – bukan sekadar pilihan leksikal acak. Mereka mencerminkan kecenderungan AI untuk menggunakan bahasa yang presisi, formal, dan seringkali lebih kaya kosakata dibandingkan percakapan sehari-hari yang kasual. ChatGPT, dilatih dengan korpus teks yang masif dan beragam, mulai dari artikel ilmiah, esai akademis, hingga berita formal, secara inheren mengadopsi gaya bahasa yang cermat dan komprehensif. Kata-kata ini seringkali memberikan nuansa yang lebih dalam, ketepatan yang lebih tinggi, atau formalitas yang lebih besar, yang mungkin dianggap oleh AI sebagai cara optimal untuk menyampaikan informasi atau argumen secara efektif. Penggunaan kata-kata ini oleh AI seringkali bukan karena kebetulan, melainkan hasil dari optimasi algoritma untuk menghasilkan respons yang paling "informatif" atau "lengkap."
Langkah krusial berikutnya dalam penelitian ini adalah memantau frekuensi penggunaan ‘GPT words’ dalam bahasa lisan manusia. Peneliti menganalisis lebih dari 360.000 video YouTube dan 771.000 episode podcast yang dirilis sebelum dan sesudah peluncuran ChatGPT. Pendekatan ini memungkinkan perbandingan langsung dan observasi tren penggunaan bahasa dalam periode waktu yang berbeda, mengisolasi dampak potensial dari kehadiran AI. Yang menarik, bahkan setelah menerapkan kontrol yang ketat untuk memperhitungkan faktor-faktor seperti penggunaan sinonim atau keberadaan naskah yang telah disiapkan sebelumnya, temuan menunjukkan peningkatan yang signifikan dan tak terbantahkan dalam penggunaan ‘GPT words’ dalam bahasa Inggris lisan. Ini berarti bahwa tren tersebut tidak hanya disebabkan oleh perubahan topik umum atau kebetulan penggunaan kata-kata tersebut, melainkan ada korelasi langsung dengan munculnya dan penggunaan AI.
Fenomena ini memicu pertanyaan mendalam tentang bagaimana teknologi memengaruhi bukan hanya cara kita berkomunikasi, tetapi juga cara kita berpikir. Levin Brinkmann, salah satu penulis studi, dengan tepat mengemukakan bahwa "pola-pola yang tersimpan di teknologi AI tampaknya ditransmisikan kembali ke pikiran manusia." Pernyataan ini menggarisbawahi sifat simbiotik antara manusia dan alat yang mereka ciptakan. Secara historis, manusia memang cenderung meniru satu sama lain, sebuah aspek fundamental dari pembelajaran sosial dan budaya. Namun, Brinkmann menambahkan nuansa penting: "kita tidak meniru semua orang di sekitar kita. Kita lebih cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang lain jika kita menganggap mereka lebih pintar atau penting."
Dalam konteks ini, ChatGPT, dengan kemampuannya menghasilkan teks yang koheren, informatif, dan seringkali terdengar sangat ‘berwibawa’, mungkin telah memperoleh status sebagai ‘mentor’ linguistik bagi banyak penggunanya. Ini bukan sekadar imitasi acak, melainkan penyerapan pola yang dianggap superior atau lebih efektif dalam menyampaikan ide. Ketika seseorang sering berinteraksi dengan AI yang menggunakan kosakata tertentu, otak secara tidak sadar mulai menginternalisasi pola tersebut, menganggapnya sebagai cara yang valid atau bahkan lebih baik untuk berekspresi. Efek "halo" dari kecerdasan buatan, di mana persepsi terhadap kecanggihan dan keandalan AI membuat penggunanya cenderung meniru outputnya, mungkin menjadi faktor pendorong utama di balik fenomena ini.
Pengaruh ChatGPT melampaui sekadar preferensi kata; ia berpotensi membentuk ulang norma-norma linguistik dan bahkan identitas komunikasi. Dalam era di mana interaksi digital mendominasi, batas antara tulisan dan lisan semakin kabur. Banyak orang kini menggunakan AI untuk membantu menyusun email, laporan, atau bahkan skrip presentasi. Dengan demikian, bahasa yang ‘dipoles’ oleh AI secara otomatis menjadi bagian dari input linguistik yang mereka serap dan gunakan kembali. Proses ini menciptakan umpan balik positif di mana AI tidak hanya memproses bahasa manusia tetapi juga secara aktif membentuk evolusi bahasa manusia itu sendiri.
Perdebatan seputar penggunaan ’em dash’ (tanda pisah panjang) di media sosial adalah contoh mikro dari fenomena yang lebih besar ini. Tanda baca tersebut, yang sering digunakan oleh chatbot AI untuk memecah kalimat atau menambahkan klarifikasi, kini mulai identik dengan gaya tulisan ‘buatan AI’. Ini menunjukkan bahwa bahkan detail terkecil dalam gaya penulisan AI dapat memicu diskusi luas dan memengaruhi praktik bahasa manusia, mengaburkan batas antara ekspresi alami dan yang dihasilkan oleh mesin. Diskusi ini tidak hanya bersifat teknis tetapi juga budaya, mencerminkan kecemasan atau ketertarikan kita terhadap bagaimana teknologi mengubah esensi komunikasi kita.
Studi ini menganalisis data dari empat model AI utama yang dirilis oleh OpenAI: GPT-4, GPT-3.5-turbo, GPT-4-turbo, dan GPT-4o. Masing-masing model ini, meskipun memiliki arsitektur dasar yang sama, memiliki nuansa dalam cara mereka memproses dan menghasilkan bahasa, berdasarkan data pelatihan dan penyempurnaan yang berbeda. Seiring dengan rilis model AI baru di masa depan – sebuah kepastian dalam dunia teknologi yang bergerak cepat – kemungkinan besar akan muncul pola penggunaan bahasa dan preferensi kata baru yang terus-menerus. Ini berarti bahwa tren linguistik yang kita lihat saat ini mungkin hanyalah permulaan dari evolusi bahasa yang didorong oleh AI, yang berpotensi menciptakan dialek-dialek digital baru atau bahkan memengaruhi struktur tata bahasa di masa depan.
Implikasi dari temuan ini sangat luas. Apakah ini berarti kita menuju homogenisasi bahasa, di mana ekspresi manusia yang unik dan beragam perlahan terkikis demi efisiensi dan presisi ala AI? Di satu sisi, bahasa yang lebih jelas dan ringkas bisa menjadi keuntungan dalam komunikasi global, mengurangi ambiguitas dan meningkatkan pemahaman lintas budaya. Namun, di sisi lain, kekayaan nuansa, idiom lokal, dan gaya personal yang mencerminkan identitas budaya dan individu dapat terancam. Hilangnya keragaman linguistik bisa berarti hilangnya sebagian dari keragaman kognitif dan ekspresif manusia.
Bagi pendidik, ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mengajarkan literasi dan ekspresi orisinal di era di mana ‘suara’ AI begitu mudah diakses dan ditiru. Bagaimana kita memastikan bahwa siswa dapat mengembangkan gaya penulisan dan berbicara mereka sendiri yang otentik, bukan sekadar meniru output mesin? Mungkin kurikulum perlu beradaptasi untuk menekankan perbedaan antara komunikasi manusia dan AI, serta nilai dari keunikan dan kreativitas individu.
Penting bagi masyarakat untuk mengembangkan kesadaran kritis terhadap interaksi mereka dengan AI. Memahami bahwa AI tidak hanya sekadar alat pasif, tetapi juga agen yang membentuk pikiran dan ekspresi kita, adalah langkah pertama. Ini bukan berarti kita harus menolak penggunaan AI secara keseluruhan, melainkan belajar bagaimana mengintegrasikannya secara bijak, sambil tetap menjaga dan merayakan keunikan suara manusia. Mungkin, di masa depan, kita akan melihat pergeseran kembali, di mana manusia secara sadar berusaha untuk membedakan diri dari bahasa ‘robotik’ dan mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan kreativitas linguistik mereka, sebagai bentuk perlawanan terhadap homogenisasi yang mungkin terjadi.
Bagaimanapun, bahasa adalah cerminan budaya dan evolusi manusia. Kehadiran AI kini menambahkan dimensi baru yang menarik dan kompleks ke dalam dinamika yang sudah kaya ini. Debat yang dipicu oleh temuan ini, seperti halnya diskusi tentang ’em dash’, hanyalah puncak gunung es dari percakapan yang lebih besar tentang bagaimana kita sebagai manusia akan beradaptasi dan mendefinisikan diri kita dalam era kecerdasan buatan. Ini adalah pengingat bahwa teknologi bukan hanya alat, tetapi juga kekuatan transformatif yang membentuk siapa kita dan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia.
