
Fenomena pembatasan layanan VoIP bukanlah hal baru di kancah global. Sejumlah negara telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa, dengan berbagai motivasi di baliknya. Umumnya, aturan yang diterapkan negara-negara tersebut membatasi akses panggilan telepon dan video di layanan VoIP, sementara layanan dasar seperti pesan instan tetap dapat dinikmati oleh pengguna. Esensinya, panggilan dasar telekomunikasi telepon dan video diarahkan agar hanya bisa dilakukan melalui operator seluler lokal. Keputusan untuk membatasi layanan seperti WhatsApp Call, Facetime, atau Zoom call ini seringkali didasari oleh pertimbangan keamanan nasional, upaya kontrol informasi, atau yang paling sering, untuk melindungi keberlangsungan bisnis dan pendapatan operator telekomunikasi nasional dari "serbuan" layanan Over-The-Top (OTT) yang tidak terregulasi secara ketat. Regulasi semacam ini disahkan untuk menciptakan ekosistem komunikasi yang dianggap lebih terkendali dan adil bagi pemain lokal.
Pertimbangan di balik kebijakan pembatasan VoIP ini sangat kompleks dan multi-dimensi. Dari sudut pandang keamanan nasional, pemerintah mungkin berargumen bahwa layanan VoIP, terutama yang terenkripsi end-to-end, menyulitkan upaya pemantauan komunikasi oleh aparat penegak hukum, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris atau pelaku kejahatan siber. Kontrol informasi juga menjadi motif penting; beberapa rezim otoriter menggunakan pembatasan ini sebagai alat untuk mengendalikan narasi publik, mencegah penyebaran berita yang tidak diinginkan, atau membatasi aktivitas kelompok oposisi. Namun, argumen yang paling sering mengemuka dan menjadi sorotan adalah perlindungan industri telekomunikasi domestik. Operator seluler tradisional berinvestasi besar dalam infrastruktur jaringan, namun pendapatan mereka dari layanan suara dan SMS terus tergerus oleh popularitas VoIP gratis. Pembatasan ini diharapkan dapat mengembalikan sebagian pendapatan tersebut kepada operator lokal, yang pada gilirannya diklaim dapat mendukung pengembangan infrastruktur telekomunikasi di negara tersebut. Selain itu, ada juga isu terkait pendapatan negara dari pajak, di mana layanan OTT seringkali beroperasi tanpa membayar pajak yang setara dengan operator lokal.
Mari kita telaah beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan pembatasan VoIP ini dan memahami konteks serta dampaknya:
1. Uni Emirat Arab (UEA)
Sebagai salah satu negara Arab yang paling maju dan modern, Uni Emirat Arab memiliki kebijakan yang cukup ketat terkait layanan VoIP. Panggilan WhatsApp, termasuk panggilan suara dan video, dilarang penggunaannya di UEA. Larangan ini juga berlaku untuk Facetime, aplikasi panggilan video milik Apple. Alasan utama di balik kebijakan ini adalah faktor keamanan nasional dan upaya untuk mendukung pertumbuhan serta keberlangsungan penyedia telekomunikasi lokal, seperti Etisalat dan Du. Pemerintah UEA secara aktif mendorong penggunaan aplikasi alternatif dan layanan telekomunikasi lokal yang telah disetujui, seperti Botim dan C’Me, untuk komunikasi suara dan video yang lancar. Meskipun panggilan dilarang, layanan dasar WhatsApp seperti pengiriman teks, gambar, dan video masih dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Menariknya, aplikasi seperti Zoom dan Microsoft Teams justru diperbolehkan untuk panggilan video, terutama karena penggunaannya yang dominan di sektor bisnis dan pendidikan, menunjukkan adanya diskresi berdasarkan jenis dan tujuan penggunaan layanan. Bagi banyak ekspatriat yang tinggal di UEA, larangan ini seringkali menjadi tantangan, memaksa mereka mencari cara lain atau menggunakan VPN (Virtual Private Network) meskipun hal ini juga ilegal dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum.
2. Arab Saudi
Sama halnya dengan UEA, panggilan WhatsApp, baik suara maupun video, tidak dapat dilakukan di Arab Saudi. Kebijakan ini berlaku jika pengguna menggunakan operator lokal di dalam negeri. Namun, sebagai catatan penting, pelarangan layanan VoIP ini tidak berlaku jika pengguna mengaktifkan paket roaming internasional, yang menunjukkan bahwa pembatasan ini lebih berfokus pada lalu lintas domestik dan perlindungan operator dalam negeri. Aplikasi WhatsApp itu sendiri, mulai dari fitur teks, pengiriman gambar, hingga pengiriman video, masih dapat digunakan secara normal. Pemerintah Arab Saudi beralasan bahwa pembatasan penggunaan layanan VoIP ini dilakukan untuk melindungi operator telekomunikasi dalam negeri dari persaingan yang tidak setara. Selain itu, faktor keamanan juga menjadi pertimbangan penting dalam menerapkan aturan ini, sejalan dengan kebijakan keamanan siber dan informasi yang ketat di negara tersebut.
3. Qatar
Negara Arab lainnya yang melarang penggunaan panggilan WhatsApp adalah Qatar. Seperti dua negara tetangganya, panggilan suara dan video melalui WhatsApp tidak bisa dilakukan oleh pengguna di Qatar. Meskipun demikian, layanan dasar WhatsApp seperti pengiriman pesan teks, gambar, dan video masih dapat dimanfaatkan secara penuh. Kebijakan ini juga bertujuan untuk melindungi operator telekomunikasi lokal dan menjaga kontrol atas lalu lintas komunikasi di dalam negeri, terutama mengingat Qatar adalah pusat bisnis dan pariwisata yang berkembang pesat. Selama Piala Dunia 2022, banyak turis yang mengunjungi Qatar menghadapi kendala ini, yang memaksa mereka untuk beradaptasi dengan aplikasi komunikasi lokal yang tersedia atau mencari solusi alternatif.
4. China
Kasus China adalah contoh paling ekstrem dan terkenal dalam hal kontrol digital. Sudah menjadi rahasia umum bahwa China secara agresif memperkuat perusahaan teknologi nasional miliknya, sebuah strategi yang dikenal sebagai "Great Firewall". Di satu sisi, mereka melakukan pemblokiran secara masif terhadap layanan global, sementara di sisi lain, ekosistem digital China tumbuh pesat dengan inovasi lokal yang menakjubkan. WhatsApp, misalnya, digantikan oleh WeChat, aplikasi super yang tidak hanya menyediakan fitur pesan dan panggilan, tetapi juga pembayaran, media sosial, dan berbagai layanan lainnya. Twitter/X digantikan oleh Weibo, Amazon digantikan oleh Alibaba, dan bahkan Tesla kini memiliki pesaing kuat dari BYD di pasar kendaraan listrik. Sejumlah merek smartphone negeri Tirai Bambu, seperti Huawei, Xiaomi, Realme, Vivo, dan Oppo, telah menguasai pasar global. Pemblokiran ini tidak hanya terbatas pada VoIP, tetapi juga mencakup Google, Gmail, YouTube, Facebook, Instagram, Dropbox, dan ribuan situs web asing lainnya. Tujuan utama China adalah menjaga kedaulatan digital, memungkinkan pengawasan ketat terhadap informasi, dan mendorong pertumbuhan industri teknologi domestik tanpa campur tangan asing.
5. Korea Utara
Korea Utara menjadi negara yang paling mengontrol peredaran informasi di dunia, terutama di era digital saat ini. Tingkat isolasi digital di negara komunis ini sangat ekstrem. Penggunaan layanan VoIP menjadi salah satu yang sama sekali tidak bisa dipakai di negara ini. Akses internet untuk sebagian besar warga negara sangat terbatas, dan jika ada, hanya berupa intranet yang dikontrol ketat oleh pemerintah. Komunikasi dengan dunia luar hampir mustahil tanpa izin khusus dari pemerintah. Kebijakan ini adalah bagian dari upaya pemerintah Korea Utara untuk mempertahankan kontrol penuh atas informasi yang masuk dan keluar dari negara tersebut, membatasi kontak warganya dengan dunia luar, dan mencegah pengaruh ideologi asing.
6. Suriah
Pemerintah Suriah telah melakukan berbagai penyensoran terhadap akses internet, terutama platform digital global, sebagai bagian dari upaya menjaga keamanan nasional dan stabilitas di tengah konflik berkepanjangan. Daftar pemblokiran di Suriah sangat panjang, mencakup YouTube, Facebook, X (sebelumnya Twitter), Instagram, WhatsApp, Spotify, PayPal, sampai Netflix. Isu keamanan nasional yang rumit dan gejolak politik internal yang membuat Suriah melakukan pembatasan akses internet tersebut. Larangan ini bertujuan untuk mengontrol narasi, mencegah mobilisasi massa melalui platform digital, dan membatasi penyebaran informasi yang dianggap merugikan pemerintah. Akibatnya, warga Suriah sangat kesulitan untuk mengakses informasi bebas atau berkomunikasi dengan kerabat di luar negeri melalui jalur digital yang umum.
7. Iran
Situasi di Iran terkait layanan digital cukup dinamis dan seringkali berubah mengikuti gejolak politik internal. WhatsApp dan Google Play sempat diblokir total penggunaannya di Iran, terutama selama periode protes massa atau ketegangan politik. Namun, pemerintah setempat seringkali melonggarkan blokir tersebut, sehingga aplikasi-aplikasi ini masih bisa dipakai oleh pengguna, meskipun terkadang dengan pembatasan kecepatan atau kualitas layanan. Isu keamanan nasional, kontrol informasi, dan upaya untuk menekan perbedaan pendapat menjadi alasan utama di balik upaya pembatasan tersebut. Pemerintah Iran berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan masyarakat untuk berkomunikasi dan keinginan mereka untuk mengontrol informasi, seringkali menyebabkan kebijakan yang tidak konsisten dan membuat frustrasi penggunanya.
Melihat pengalaman negara-negara di atas, wacana pembatasan VoIP di Indonesia membawa implikasi yang signifikan. Jika diterapkan, kebijakan ini akan mengubah lanskap komunikasi digital di Indonesia secara drastis. Pengguna akan dipaksa untuk kembali ke layanan operator seluler untuk panggilan, yang mungkin berimplikasi pada biaya yang lebih tinggi atau kualitas yang berbeda. Bagi bisnis, terutama yang mengandalkan Zoom atau Google Meet untuk operasional harian, pembatasan ini dapat mengganggu alur kerja dan efisiensi. Namun, di sisi lain, operator telekomunikasi lokal mungkin melihat ini sebagai peluang untuk merevitalisasi pendapatan dan mengalokasikannya untuk pengembangan infrastruktur 5G atau perluasan jaringan di daerah terpencil.
Perdebatan mengenai kedaulatan digital versus kebebasan internet adalah inti dari isu ini. Pemerintah seringkali berargumen bahwa mereka perlu memiliki kontrol lebih besar atas ruang siber untuk melindungi warga negara dan kepentingan nasional. Namun, para pendukung internet terbuka berpendapat bahwa pembatasan semacam ini dapat menghambat inovasi, membatasi kebebasan berekspresi, dan pada akhirnya merugikan pertumbuhan ekonomi digital. Masyarakat modern semakin bergantung pada layanan VoIP untuk pendidikan, bisnis, dan interaksi sosial. Pembatasan yang terlalu ketat dapat menyebabkan frustrasi massal dan mendorong penggunaan VPN, yang seringkali ilegal dan menimbulkan risiko keamanan siber tersendiri.
Keputusan Indonesia untuk membatasi layanan VoIP akan menjadi penanda penting dalam arah kebijakan digital negara ini. Ini bukan hanya tentang melindungi operator lokal, tetapi juga tentang bagaimana pemerintah menyeimbangkan antara keamanan, kontrol, dan kebebasan digital di era yang semakin terhubung. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, Indonesia perlu mempertimbangkan secara cermat dampak jangka panjang dari kebijakan semacam itu terhadap masyarakat, ekonomi, dan posisinya di kancah digital global. Sebuah keputusan yang bijak harus mempertimbangkan tidak hanya kepentingan sesaat, tetapi juga visi jangka panjang untuk masa depan komunikasi dan inovasi digital di Indonesia.
