
ASEAN Berisiko Menjadi Pajangan Semata dalam Ekspansi BRICS
Inklusi Indonesia sebagai anggota penuh BRICS pada KTT BRICS di Rio de Janeiro bulan ini merupakan perkembangan signifikan bagi ASEAN, memberikan kelompok ini pijakan kuat di lanskap geopolitik Asia Tenggara. Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di ASEAN dan salah satu kekuatan ekonomi G20, membawa pengaruh diplomatik dan ekonomi yang substansial ke dalam BRICS, secara teoritis memperkuat suara Global South. Namun, inklusi ini sekaligus mengungkap sebuah paradoks yang mendalam. Meskipun retorika BRICS berupaya mengangkat posisi negara-negara Global South, faktanya, blok ini tetap didominasi oleh kekuatan besar seperti Tiongkok dan Rusia. Kehadiran Indonesia, meskipun penting secara simbolis, memunculkan pertanyaan krusial: seberapa besar agensi atau kapasitas pengambilan keputusan yang sesungguhnya dimiliki negara-negara ASEAN di dalam struktur BRICS yang berkembang ini?
Ekspansi blok BRICS untuk mencakup negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, yang juga telah menyatakan minatnya atau dipertimbangkan untuk bergabung, tampaknya menjadi langkah menuju tatanan dunia multipolar yang lebih pluralistik. Namun, realitasnya mungkin jauh berbeda dari narasi yang digaungkan. Seiring BRICS menyertakan lebih banyak anggota, blok ini berisiko berubah menjadi "klub kekuatan lunak," di mana inklusi negara-negara Global South justru berfungsi sebagai kedok untuk menutupi hierarki struktural yang persisten di dalam kelompok tersebut. Negara-negara ASEAN, terlepas dari signifikansi strategis dan pertumbuhan ekonominya, mungkin mendapati diri mereka terdegradasi ke peran-peran simbolis, berfungsi lebih sebagai ornamen diplomatik daripada sebagai pengambil keputusan sejati. Ini bukan tentang partisipasi aktif dalam membentuk agenda global, melainkan tentang menjadi bagian dari gambar besar yang menguntungkan narasi kekuatan dominan.
Ideal multipolaritas yang dipromosikan oleh BRICS, di mana kekuasaan didistribusikan secara adil dan merata, memerlukan pengawasan yang lebih cermat. Multipolaritas tidak secara otomatis mengarah pada redistribusi kekuasaan yang setara. Sebaliknya, ia bisa menciptakan tatanan baru yang didominasi oleh beberapa negara kuat yang tetap mempertahankan kapasitas untuk membentuk urusan global. Inklusi negara-negara ASEAN dalam BRICS, jika tidak dikelola dengan hati-hati, berisiko memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan yang justru ingin mereka tantang. Retorika solidaritas Global South, meskipun menarik dan beresonansi dengan aspirasi banyak negara berkembang, tampaknya semakin menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan daripada komitmen tulus untuk membentuk kembali dinamika kekuasaan global secara fundamental. BRICS bisa menjadi panggung di mana negara-negara berkembang berperan, tetapi naskahnya tetap ditulis oleh beberapa pemain utama.
Divisi Internal Mengancam Otonomi ASEAN
Bagi ASEAN, tantangan terbesar terletak pada menyeimbangkan peluang yang ditawarkan BRICS dengan kontradiksi internalnya. Sementara keanggotaan dalam BRICS mungkin memberikan negara-negara ASEAN akses ke sumber daya keuangan baru, seperti melalui New Development Bank (NDB), dan platform untuk memperkuat suara global mereka, di sisi lain, hal itu juga berpotensi mengikis kohesi regional ASEAN yang telah terbangun dengan susah payah. Jika negara-negara ASEAN tidak berhati-hati dan tidak memiliki strategi kolektif yang kuat, mereka mungkin menemukan diri mereka terjebak dalam permainan geopolitik di mana suara mereka tenggelam oleh negara-negara paling berpengaruh di dalam BRICS. Ini bukan hanya tentang volume suara, tetapi tentang kemampuan untuk mempengaruhi agenda dan hasil.
Kekuatan ASEAN selama ini terletak pada kemampuannya untuk menyeimbangkan hubungan dengan Tiongkok dan Amerika Serikat, secara teguh menganut kebijakan luar negeri yang non-blok dan independen. Kebijakan "sentralitas ASEAN" ini telah menjadi fondasi stabilitas regional. Namun, perebutan kekuasaan internal BRICS, khususnya pengaruh ekonomi Tiongkok yang semakin besar, dapat mendorong negara-negara ASEAN ke dalam posisi yang sulit: apakah mereka harus mendapatkan pengaruh di dalam BRICS dengan mengorbankan independensi, atau berisiko kehilangan otonomi strategis mereka demi menjaga keseimbangan. Dilema ini sangat nyata, terutama mengingat ambisi Tiongkok yang jelas dalam memproyeksikan kekuatannya secara global dan regional.
Divisi di dalam BRICS semakin terlihat jelas. Dominasi ekonomi Tiongkok sangat kontras dengan kepentingan ideologis anggota lain yang lebih beragam, seperti India dan Afrika Selatan, bahkan Brasil yang seringkali memiliki pandangan berbeda. Kontradiksi internal ini mengancam untuk meminggirkan negara-negara ASEAN, mendorong mereka untuk bersekutu dengan satu kekuatan dominan di dalam BRICS. Dalam skenario terburuk, ASEAN bisa kehilangan kemampuannya untuk menyuarakan perspektif uniknya dan terserap ke dalam narasi hegemoni baru. Misalnya, jika Tiongkok dan India terus bersaing untuk pengaruh dalam BRICS, negara-negara ASEAN mungkin dipaksa untuk memilih sisi, yang bertentangan langsung dengan prinsip non-blok mereka.
Lebih jauh lagi, peningkatan pengaruh Tiongkok dalam BRICS, jika tidak diimbangi, dapat mengintensifkan ketidaksetaraan di dalam Global South itu sendiri. Negara-negara ASEAN bisa menjadi lebih terpinggirkan oleh konflik internal di dalam BRICS, alih-alih berpartisipasi sebagai mitra setara dalam dunia multipolar. Divisi internal ini berisiko melemahkan kemampuan ASEAN untuk mempertahankan peran independen dalam tata kelola global, membuat mereka rentan terhadap tekanan dan agenda dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar.
Retorika Multipolaritas, Ambigu Struktur
Keterlibatan yang lebih besar dengan BRICS memang dapat memberikan ASEAN akses ke sumber daya keuangan melalui New Development Bank (NDB) dan membuka saluran diplomatik baru. NDB, yang didirikan sebagai alternatif bagi lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia, menawarkan model pembiayaan yang lebih inklusif dan kurang berorientasi pada kondisi. Namun, seiring dengan meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok dalam BRICS, ASEAN mungkin menghadapi tekanan untuk menyelaraskan diri dengan salah satu kekuatan besar blok tersebut, yang berpotensi membahayakan kemampuan mereka untuk tetap independen dan menjaga otonomi pengambilan keputusan.
Selain itu, negara-negara ASEAN berisiko terseret ke dalam struktur hegemoni yang lebih menguntungkan kepentingan Tiongkok, India, atau Rusia, yang dapat mengesampingkan prioritas mereka sendiri. Jika negara-negara ASEAN tidak berhati-hati, mereka mungkin menemukan diri mereka terjebak dalam permainan geopolitik di mana suara mereka tenggelam oleh negara-negara paling berpengaruh di dalam BRICS. Ini bukan hanya masalah representasi, tetapi juga masalah agenda. Apakah prioritas ASEAN, seperti penyelesaian konflik Laut Cina Selatan atau pembangunan berkelanjutan, akan mendapatkan perhatian yang sama dengan prioritas geopolitik Tiongkok atau Rusia?
KTT BRICS terbaru menimbulkan pertanyaan penting tentang sifat sebenarnya dari blok yang berkembang ini. Apakah BRICS benar-benar menciptakan ruang bagi Global South untuk memiliki agensi yang lebih besar, atau hanya sekadar mengatur ulang hierarki yang sudah ada? Sementara retorika inklusivitas dan multipolaritas terdengar menarik dan menjanjikan, ekspansi BRICS mungkin hanya memperkuat ketergantungan baru, alih-alih menciptakan tatanan yang lebih adil dan seimbang. Gambar para pemimpin BRICS yang berkumpul mungkin memberikan kesan persatuan, tetapi di balik layar, dinamika kekuasaan tetap beroperasi.
Pada akhirnya, ASEAN harus mendekati hubungannya dengan BRICS dengan sangat hati-hati dan strategis. Penting bagi ASEAN untuk memastikan bahwa mereka tidak terjebak dalam kerangka geopolitik baru yang justru melanggengkan ketidaksetaraan struktural yang ingin mereka tantang. Tanpa reformasi internal yang signifikan dalam struktur pengambilan keputusan BRICS dan komitmen nyata terhadap kesetaraan di antara anggotanya, BRICS berisiko menjadi sekadar manifestasi lain dari politik kekuasaan, di mana suara negara-negara kecil terpinggirkan demi kepentingan beberapa pemain kuat. Bagi ASEAN, tujuannya adalah untuk terlibat secara bijaksana dengan BRICS, memanfaatkan potensi manfaatnya, sambil tetap waspada terhadap risiko terpinggirkan dalam tatanan global yang baru. Ini adalah tantangan untuk menavigasi perairan geopolitik yang kompleks, mempertahankan sentralitas dan otonomi mereka di tengah pergeseran kekuatan global yang cepat.
