Prank Ekstrem di Era Digital: Batasan Hukum, Etika, dan Risiko di Balik Konten Viral

Prank Ekstrem di Era Digital: Batasan Hukum, Etika, dan Risiko di Balik Konten Viral

Di era digital yang serba cepat ini, konten video menjadi raja, dan salah satu genre yang tak pernah sepi peminat adalah video prank. Dari lelucon sederhana hingga skenario yang rumit, prank berhasil menarik jutaan pasang mata dan menjadi lahan subur bagi para YouTuber dan kreator konten untuk meraih popularitas serta pundi-pundi rupiah. Namun, seiring dengan meningkatnya persaingan untuk mendapatkan atensi, batas antara hiburan dan tindakan yang berlebihan, bahkan ekstrem, kian kabur. Prank ekstrem kini bukan lagi sekadar lelucon; ia sering kali melibatkan aksi fisik, interaksi sosial yang intens dan manipulatif, atau bahkan simulasi situasi berbahaya yang dirancang untuk mengejutkan penonton dan, yang terpenting, korban. Video-video semacam ini memang memiliki daya tarik viral yang kuat, tetapi di balik tawa dan kejutannya, tersimpan potensi bahaya dan kerugian serius yang mengaburkan batas antara kreativitas dan pelanggaran hukum.

Fenomena prank ekstrem ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah jika timbul kerugian atau melanggar kesusilaan, video prank ekstrem bisa dijerat pasal hukum? Jawabannya, menurut para pakar hukum, adalah sangat mungkin. Seseorang yang menjadi korban prank ekstrem, meskipun awalnya dimaksudkan sebagai hiburan, mungkin saja dirugikan secara fisik, psikologis, finansial, atau bahkan dilanggar hak-hak fundamentalnya. Kerugian ini bisa sangat beragam, mulai dari trauma emosional, reputasi yang tercoreng, hingga kerugian materiil akibat tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Sebuah makalah berjudul "Konten Prank Youtuber Sebagai Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik" oleh I Wayan Budha Yasa dan Gede Yudiarta Wiguna dari Universitas Pendidikan Ganesha mengulas secara mendalam bagaimana konten prank YouTuber dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bawah payung Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Menurut kajian tersebut, ada beberapa ketentuan pidana dalam UU ITE yang sangat relevan dan dapat dikaitkan dengan konten prank ekstrem yang berpotensi merugikan.

Pertama, adalah prank yang berisi muatan melanggar kesusilaan. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal ini secara eksplisit melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dalam konteks prank, pelanggaran kesusilaan bisa terjadi ketika konten tersebut secara eksplisit atau implisit menampilkan adegan yang tidak senonoh, memamerkan aib seseorang, atau bahkan mensimulasikan tindakan asusila yang dapat meresahkan masyarakat. Misalnya, prank yang berpura-pura melakukan pelecehan seksual di tempat umum, atau prank yang melibatkan eksposur tubuh yang tidak pantas, dapat dengan mudah masuk dalam kategori ini. Ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 ayat (1) ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman hukum terhadap konten yang melanggar norma kesusilaan, bahkan jika dibungkus dalam bentuk "hiburan" prank.

Kedua, adalah prank yang berisi muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal ini melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam skenario prank, hal ini bisa terjadi ketika kreator konten menuduh korban melakukan tindakan kejahatan yang tidak pernah dilakukan, menyebarkan fitnah, atau mempermalukan seseorang di muka umum dengan cara yang merendahkan martabatnya. Misalnya, prank "pengutil" di supermarket yang sebenarnya tidak mengambil apa-apa, atau prank yang menuduh seseorang sebagai pelaku kriminal, dapat mencoreng nama baik dan reputasi korban secara serius. Pasal 45 ayat (3) UU ITE merupakan ketentuan pidana bagi pelanggar Pasal 27 ayat (3), di mana setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Meskipun ancaman pidananya sedikit lebih ringan dibanding pelanggaran kesusilaan, dampak sosial dan psikologis terhadap korban pencemaran nama baik bisa sangat menghancurkan.

Ketiga, adalah prank yang berisi muatan yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini secara tegas melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Prank yang menargetkan atau mengejek kelompok agama tertentu, ras, suku, atau golongan masyarakat lainnya, meskipun dengan dalih humor, dapat memicu konflik sosial yang luas dan berbahaya. Contohnya, prank yang merendahkan ritual keagamaan, membuat lelucon rasis, atau menyebarkan stereotip negatif tentang suatu kelompok etnis, dapat dengan mudah dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 28 ayat (2). Konsekuensi hukum bagi pelanggar ketentuan ini diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU ITE, di mana setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Pasal ini menegaskan komitmen hukum untuk menjaga kerukunan antar masyarakat dari segala bentuk provokasi, termasuk yang terselubung dalam bentuk prank.

Selain jeratan UU ITE, penting juga untuk dicatat bahwa prank ekstrem berpotensi melanggar ketentuan hukum lain di luar UU ITE, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Misalnya, jika prank tersebut melibatkan tindakan fisik yang menyebabkan luka pada korban, pelaku dapat dijerat dengan pasal penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Apabila prank tersebut melibatkan penipuan yang menyebabkan kerugian finansial, Pasal 378 KUHP tentang penipuan bisa diterapkan. Bahkan, jika prank tersebut menimbulkan ketakutan atau kegaduhan di masyarakat, Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan atau pasal tentang mengganggu ketertiban umum juga bisa menjadi dasar hukum. Lebih lanjut, jika prank melibatkan penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Pasal 14 dan 15) juga dapat diterapkan. Ini menunjukkan bahwa payung hukum di Indonesia cukup luas untuk menjerat tindakan prank yang melewati batas.

Kasus-kasus prank ekstrem yang berujung pada tuntutan hukum telah berulang kali terjadi, baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain. Hal ini menjadi pengingat bagi para kreator konten bahwa kebebasan berekspresi di dunia digital memiliki batasan etika dan hukum. Daya tarik viral dan potensi monetisasi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan dampak negatif yang mungkin timbul pada individu atau masyarakat.

Oleh karena itu, tanggung jawab besar ada di pundak para kreator konten. Sebelum membuat dan mengunggah video prank, penting untuk melakukan riset mendalam, mempertimbangkan semua kemungkinan risiko, dan yang terpenting, mendapatkan persetujuan informasi dan sadar dari semua pihak yang terlibat. Batasan etika harus menjadi panduan utama: apakah prank ini akan membahayakan seseorang? Apakah akan merendahkan martabat orang lain? Apakah akan memicu kebencian? Jika jawabannya ya, maka konten tersebut sebaiknya tidak dibuat.

Selain kreator, platform media sosial seperti YouTube, TikTok, dan lainnya juga memiliki peran krusial dalam mengendalikan penyebaran konten prank ekstrem. Mereka harus secara proaktif menegakkan pedoman komunitas yang ketat, melakukan moderasi konten secara efektif, dan memberikan sanksi tegas, mulai dari de-monetisasi hingga penghapusan kanal, bagi kreator yang berulang kali melanggar aturan. Literasi digital juga menjadi kunci bagi audiens. Penonton harus diajak untuk lebih kritis dalam mengonsumsi konten, membedakan antara hiburan yang sehat dan konten yang berpotensi merugikan, serta melaporkan konten-konten yang melanggar hukum atau etika.

Pada akhirnya, fenomena prank ekstrem adalah cerminan dari tantangan di era digital, di mana kecepatan informasi dan keinginan untuk viral seringkali mengalahkan pertimbangan etika dan hukum. Penting bagi setiap individu yang terlibat dalam ekosistem digital – kreator, platform, dan audiens – untuk memahami bahwa kreativitas tidak boleh mengorbankan keselamatan, martabat, dan hak-hak orang lain. Prank seharusnya tetap menjadi bentuk hiburan yang ringan dan menghibur, bukan alat untuk menyakiti, merendahkan, atau memicu konflik, apalagi hingga berujung pada jeratan pidana yang serius.

Prank Ekstrem di Era Digital: Batasan Hukum, Etika, dan Risiko di Balik Konten Viral

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *