Polemik Pendaftaran ACC 2025/26: AFF Sebut Indonesia Telat, PT LIB Klaim Masalah Regulasi Klub

Polemik Pendaftaran ACC 2025/26: AFF Sebut Indonesia Telat, PT LIB Klaim Masalah Regulasi Klub

Kabar mengejutkan mengguncang jagat sepak bola Indonesia setelah pengumuman resmi dari Badan Sepak Bola Asia Tenggara (AFF) yang menyatakan bahwa Indonesia tidak akan memiliki perwakilan dalam ajang ASEAN Club Championship (ACC) 2025/26. Penolakan ini memicu polemik sengit antara klaim AFF yang menyebut keterlambatan pendaftaran, dan klaim dari PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang menunjuk pada ketidaksesuaian regulasi klub. Kontradiksi ini menciptakan kebingungan dan kekecewaan di kalangan penggemar serta menimbulkan pertanyaan besar mengenai tata kelola dan komunikasi dalam ekosistem sepak bola nasional.

Pada Kamis, 3 Juli 2025, pengundian grup untuk ACC Shopee Cup 2025/26 telah dilangsungkan. Namun, sorotan tertuju pada absennya nama-nama klub asal Indonesia dari daftar peserta. AFF, melalui pernyataan resminya, menegaskan alasan di balik ketiadaan wakil dari Tanah Air. "Patut disesali, Indonesia gagal menyerahkan dokumen pendaftaran ke ACC sesuai tenggat waktu. Sehingga klub Indonesia tidak disertakan dalam pengundian dan tidak akan ikut serta dalam turnamen," demikian bunyi pernyataan resmi AFF. Pernyataan ini secara gamblang menunjuk pada masalah administratif dan kelalaian dalam mematuhi batas waktu yang telah ditetapkan. Keterlambatan ini, menurut AFF, menjadi satu-satunya penyebab mengapa klub-klub Indonesia tidak dapat berkompetisi di turnamen regional bergengsi tersebut.

Di sisi lain, PT Liga Indonesia Baru (LIB), selaku operator kompetisi Liga 1, menyajikan narasi yang sangat berbeda. Sebelumnya, PT LIB sempat mengumumkan bahwa mereka telah mendaftarkan Malut United dan Persebaya Surabaya sebagai calon peserta ACC 2025/26. Namun, pendaftaran kedua klub tersebut ditolak. Dalam keterangan resminya pada Kamis, 3 Juli 2025, PT LIB menyebutkan bahwa penolakan tersebut bukan karena keterlambatan, melainkan karena ketidaksesuaian dengan regulasi AFF yang mensyaratkan peserta ACC haruslah klub juara dan runner-up kompetisi domestik. Berdasarkan regulasi tersebut, seharusnya Persib Bandung (juara Liga 1) dan Dewa United (runner-up) yang berhak mewakili Indonesia.

PT LIB menjelaskan, "Kemudian slot ACC Shopee Cup diberikan kepada peringkat ketiga (Malut United FC) dan keempat (Persebaya Surabaya). Namun, AFF mensyaratkan hanya peringkat 1 dan 2. Meskipun demikian, LIB atas arahan dari PSSI tetap mendaftarkan Malut United FC dan Persebaya Surabaya untuk bisa berlaga di ACC Shopee Cup 2025/26." Pernyataan ini membuka kotak Pandora baru. Jika klaim PT LIB benar, maka ada arahan dari PSSI yang bertentangan dengan regulasi yang jelas-jelas sudah ditetapkan oleh AFF. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana keputusan strategis diambil dalam federasi dan operator liga, serta sejauh mana pemahaman mereka terhadap regulasi turnamen internasional. Apakah ada miskomunikasi internal, atau justru upaya untuk mengakomodasi klub-klub tertentu meskipun menyalahi aturan?

Kontradiksi antara dua pernyataan ini sangat mencolok. AFF menuding masalah waktu, sementara PT LIB menuding masalah regulasi klub dan adanya arahan dari PSSI. Jika kedua pernyataan tersebut berdiri sendiri, maka tampak ada ketidaksesuaian yang fundamental. Namun, ada kemungkinan bahwa kedua masalah tersebut saling terkait atau bahkan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Mungkinkah PT LIB terlambat karena proses internal dalam menentukan wakil yang berbelit-belit, diperparah dengan adanya "arahan" yang menyimpang dari regulasi baku? Atau apakah penolakan karena regulasi klub tersebut kemudian diikuti dengan penolakan final karena keterlambatan dokumen, sehingga AFF hanya menyoroti masalah paling mendasar yakni kelengkapan administrasi tepat waktu?

ASEAN Club Championship, yang kini dikenal sebagai ACC Shopee Cup, adalah turnamen klub paling bergengsi di kawasan Asia Tenggara. Kompetisi ini dirancang untuk mengangkat standar sepak bola klub di wilayah ini, memberikan panggung bagi klub-klub terbaik untuk bersaing di tingkat regional, serta menawarkan hadiah finansial yang signifikan. Setelah sempat vakum cukup lama, turnamen ini kembali digelar dengan format yang lebih terstruktur dan sponsor besar, menunjukkan ambisi AFF untuk mengembangkan sepak bola klub di Asia Tenggara. Partisipasi dalam ACC bukan hanya soal gengsi, tetapi juga kesempatan bagi klub untuk mendapatkan pengalaman berharga di kancah internasional, meningkatkan nilai komersial klub, dan membuka pintu bagi eksposur pemain ke level yang lebih tinggi. Bagi negara, partisipasi klubnya di ACC mencerminkan kekuatan dan profesionalisme liga domestik.

Kehilangan kesempatan berpartisipasi di ACC 2025/26 adalah kerugian besar bagi sepak bola Indonesia. Musim lalu, Indonesia diwakili oleh PSM Makassar dan Borneo FC Samarinda. PSM Makassar berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan melaju hingga babak semifinal, menunjukkan bahwa klub Indonesia memiliki potensi untuk bersaing di level regional. Perjalanan PSM memberikan pengalaman tak ternilai dan menjadi inspirasi bagi klub-klub lain di Liga 1. Sementara itu, Borneo FC Samarinda, meski gagal lolos dari fase grup, juga mendapatkan pelajaran berharga tentang atmosfer dan tuntutan kompetisi regional. Pengalaman ini sangat krusial untuk pengembangan klub dan pemain, dan kini, kesempatan itu harus terlewatkan.

Dampak dari absennya wakil Indonesia di ACC 2025/26 tidak hanya terbatas pada hilangnya kesempatan berkompetisi. Ini juga berpotensi merusak reputasi sepak bola Indonesia di mata AFF dan federasi negara-negara lain. Kesan ketidakprofesionalan atau kurangnya koordinasi dalam urusan administrasi dan regulasi dapat membayangi citra sepak bola nasional. Di tingkat domestik, kejadian ini juga menimbulkan kekecewaan mendalam bagi para penggemar yang menantikan aksi klub-klub kebanggaan mereka di kancah regional. Klub-klub yang sempat disebut-sebut akan berpartisipasi, seperti Malut United dan Persebaya Surabaya, serta Persib Bandung dan Dewa United yang seharusnya berhak, tentu juga merasakan kerugian baik dari segi moral maupun potensi finansial.

Situasi ini menuntut penjelasan yang lebih transparan dan akuntabel dari semua pihak terkait, terutama PSSI dan PT LIB. Publik berhak mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ada dua narasi yang berbeda, dan siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan pendaftaran ini. Apakah ini murni kesalahan administrasi, atau ada faktor lain seperti misinterpretasi regulasi atau bahkan kebijakan internal yang kontroversial? Kejadian ini harus menjadi pelajaran berharga untuk memastikan bahwa di masa depan, proses pendaftaran untuk turnamen internasional dilakukan dengan lebih cermat, profesional, dan sesuai dengan semua regulasi yang berlaku. Komunikasi internal antara PSSI dan PT LIB juga perlu diperbaiki secara fundamental agar tidak ada lagi "arahan" yang justru bertentangan dengan aturan main yang berlaku di level regional maupun internasional.

Ke depan, PSSI dan PT LIB harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pendaftaran turnamen internasional. Membangun kembali kepercayaan publik dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang adalah prioritas utama. Sepak bola Indonesia memiliki potensi besar, namun potensi tersebut tidak akan pernah terwujud sepenuhnya jika masalah-masalah fundamental terkait tata kelola dan administrasi terus menghantui. Kegagalan di ACC 2025/26 adalah pengingat pahit bahwa kesuksesan di lapangan tidak bisa dipisahkan dari efisiensi dan profesionalisme di belakang meja.

Polemik Pendaftaran ACC 2025/26: AFF Sebut Indonesia Telat, PT LIB Klaim Masalah Regulasi Klub

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *