
Di tengah gempuran kebijakan ‘Zero ODOL’ (Over Dimension Over Load) yang digalakkan pemerintah, masalah krusial yang tak kalah mengakar justru menjadi ‘hantu’ yang terus menghantui sektor logistik Indonesia: pungutan liar atau pungli. Fenomena ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan sebuah sistem terstruktur yang membebani seluruh rantai pasok, mulai dari sopir truk yang paling rentan hingga pemilik barang dan pengusaha besar. Praktik ilegal ini secara signifikan mendongkrak biaya logistik nasional, menjadikannya kurang kompetitif di kancah global, sekaligus merusak moralitas dan kepercayaan terhadap sistem hukum.
Djoko Setijowarno, seorang pengamat transportasi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menyoroti bahwa permasalahan truk ODOL tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang pungli yang masif. Keluhan demi keluhan terus mengalir dari para sopir truk, yang menjadi korban langsung dari praktik pemerasan ini. Mereka adalah garda terdepan yang setiap hari berhadapan dengan "preman-preman jalanan" baik yang berseragam maupun tidak, di setiap jengkal perjalanan mereka.
Salah satu rute paling rawan, menurut Djoko, adalah jalur vital dari Tol Cikampek hingga kawasan Kramat Jati, Jakarta. Di sepanjang koridor ini, sopir truk dengan muatan besar seringkali diwajibkan membayar pungli sebesar Rp 200.000. Jumlah ini mungkin terlihat kecil bagi sebagian orang, namun bayangkan jika ini adalah biaya yang harus dikeluarkan berulang kali dalam setiap ritase. Beban ini semakin parah ketika sopir memutuskan untuk beristirahat sejenak di bahu jalan setelah gerbang tol; mereka lagi-lagi menjadi sasaran pungli, kali ini dari oknum petugas tol. Ironisnya, keluhan terkait praktik ini sudah berulang kali disampaikan kepada direksi terkait, namun pungli tetap bersemi, seolah tak tersentuh.
Tak hanya di jalan tol, jeratan pungli juga meluas hingga ke rest area. Komunitas sopir truk mengungkapkan bahwa jika di bahu jalan mereka dipungli oleh oknum PJR (Patroli Jalan Raya), maka di rest area giliran satpam rest area yang melakukan pungutan. Ini menciptakan dilema bagi para sopir: beristirahat pun harus membayar, namun jika tidak beristirahat, risiko kecelakaan akibat kelelahan mengintai. Situasi ini menunjukkan betapa terstruktur dan terkoordinasinya praktik pungli ini, melibatkan berbagai pihak dan memanfaatkan celah-celah pengawasan.
Area lain yang menjadi sarang pungli adalah jalur-jalur khusus menuju gudang atau pusat distribusi, seperti di sekitar Tanjung Priok. Pengakuan dari pengusaha angkutan barang mengungkapkan adanya "kampung" atau area tertentu di mana truk yang masuk melalui portal diwajibkan membayar Rp 100.000. Parahnya, pungutan ini bahkan dilengkapi dengan stempel resmi dari RT setempat, seolah memberikan legitimasi palsu pada praktik ilegal tersebut. Ini mengindikasikan adanya keterlibatan elemen masyarakat lokal yang memanfaatkan posisi atau kewenangan semu untuk menarik keuntungan.
Perjalanan mengangkut sayuran dari Garut ke Pasar Kramatjati, Jakarta, menjadi contoh nyata bagaimana pungli menjadi bagian tak terpisahkan dari biaya operasional. Untuk satu kali perjalanan, sopir harus menyisihkan paling tidak Rp 175.000 yang tersebar di 5-6 titik pungutan liar. Titik-titik ini bisa berupa pos-pos tak resmi, oknum preman di persimpangan jalan, hingga oknum di sekitar area pasar. Setiap titik pungli adalah penundaan, tekanan psikologis, dan tentu saja, biaya tambahan yang tak seharusnya ada.
Dampak dari praktik pungli ini tidak hanya berhenti pada sopir truk. Pemilik barang dan pengusaha angkutan juga menjadi korban, bahkan dengan nominal kerugian yang jauh lebih besar. Pungli secara langsung memicu kenaikan ongkos logistik, yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih tinggi. Djoko Setijowarno memperkirakan bahwa praktik pungli di sektor logistik telah membebani 15-20 persen dari total ongkos angkut logistik di Indonesia. Angka ini bukanlah sekadar statistik; ini adalah cerminan dari ‘pajak tersembunyi’ yang secara langsung membebani setiap komoditas yang bergerak, mulai dari bahan pangan pokok hingga barang-barang industri.
Perbandingan dengan negara tetangga semakin memperjelas urgensi masalah ini. Penuturan pengusaha truk, ongkos logistik di Indonesia sudah lebih tinggi dari Thailand, yang seharusnya memiliki struktur biaya yang lebih efisien mengingat potensi geografis dan demografis Indonesia. Kesenjangan ini sebagian besar diakibatkan oleh inefisiensi yang diciptakan oleh pungli. Pungli dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari oknum yang memakai seragam resmi hingga mereka yang berpenampilan preman biasa, menunjukkan bahwa praktik ini telah merasuk ke berbagai lapisan masyarakat dan institusi.
Data dari Asosiasi Pengusaha semakin menguatkan fakta ini. Sebuah truk dengan ritase yang padat, dalam setahun rata-rata menghabiskan Rp 120 juta hingga Rp 150 juta hanya untuk biaya pungli. Jika dirata-ratakan, ini berarti setiap truk harus menyisihkan sekitar Rp 10 juta hingga Rp 12 juta per bulan untuk praktik ilegal ini. Bayangkan jika angka ini dikalikan dengan jutaan unit truk yang beroperasi di seluruh Indonesia. Potensi kerugian nasional akibat pungli ini bisa mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah setiap tahunnya, sebuah angka yang masif dan sangat merugikan perekonomian bangsa. Ini adalah dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk investasi, pengembangan usaha, atau bahkan peningkatan kesejahteraan sopir, namun justru menguap ke kantong-kantong ilegal.
Ironisnya, di tengah semua ini, pemerintah tampak lebih terfokus pada pemberantasan truk ODOL. Meskipun program "Zero ODOL" yang ditangani oleh Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah adalah langkah penting untuk meningkatkan keselamatan jalan dan efisiensi logistik, namun fokus ini terasa kurang lengkap. "Pemerintah hanya mikir memberantas ODOL, tapi nggak pernah mikir bagaimana memberantas punglinya," kritik Djoko Setijowarno. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa pemberantasan ODOL tanpa memberantas "virus" pungli, ibarat mengobati gejala tanpa menyentuh akarnya.
Pungli adalah pemicu dan sekaligus akibat dari berbagai masalah di sektor logistik. Sopir truk yang terbebani pungli mungkin merasa terpaksa membawa muatan berlebih (ODOL) untuk menutupi biaya operasional yang membengkak, sehingga menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Mereka terjebak dalam dilema: jika tidak membayar, perjalanan terhambat; jika membayar, biaya operasional membengkak dan memaksa mereka mengambil risiko lebih besar.
Untuk memberantas pungli, diperlukan strategi komprehensif dan berkelanjutan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pertama, penegakan hukum yang tegas dan transparan adalah mutlak. Tidak boleh ada pandang bulu terhadap pelaku pungli, baik itu preman maupun oknum aparat. Setiap laporan harus ditindaklanjuti dengan serius dan pelakunya diberi sanksi seberat-beratnya untuk menciptakan efek jera. Kedua, penerapan sistem pembayaran logistik yang terintegrasi dan digital dapat meminimalisir interaksi langsung antara sopir dan pihak-pihak yang berpotensi melakukan pungli. Pembayaran non-tunai, pelacakan digital, dan transparansi data dapat menutup celah bagi praktik ilegal.
Ketiga, peningkatan pengawasan internal di lembaga-lembaga terkait, seperti kepolisian, dinas perhubungan, hingga manajemen rest area dan gerbang tol, sangat diperlukan. Sanksi keras harus diterapkan bagi oknum yang terbukti terlibat pungli. Keempat, mendorong partisipasi aktif masyarakat dan sopir truk sebagai pelapor. Ini membutuhkan jaminan keamanan bagi pelapor dan sistem pelaporan yang mudah diakses dan responsif. Kelima, merevisi atau menyederhanakan regulasi yang berpotensi menjadi celah bagi pungli, serta memastikan bahwa semua aturan jelas dan tidak multitafsir.
Terakhir, kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi pengusaha, komunitas sopir truk, dan masyarakat sipil adalah kunci. Sinergi ini dapat menciptakan ekosistem logistik yang lebih sehat, transparan, dan efisien. Pemberantasan pungli bukan sekadar upaya penegakan hukum, melainkan investasi strategis bagi masa depan ekonomi Indonesia. Dengan menekan biaya logistik melalui pemberantasan pungli, daya saing produk nasional akan meningkat, investasi akan lebih menarik, dan pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat akan terangkat dari beban "pajak tak resmi" ini. Sudah saatnya pemerintah tidak hanya memikirkan ODOL, tetapi juga memberantas ‘hantu’ pungli yang telah lama menghantui jalur-jalur logistik kita.
