Pencopotan Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo dan Kontroversi Memo Titip Siswa: Sorotan Harta Kekayaan dan Integritas Pejabat Publik

Pencopotan Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo dan Kontroversi Memo Titip Siswa: Sorotan Harta Kekayaan dan Integritas Pejabat Publik

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten, Budi Prajogo, telah resmi dicopot dari jabatannya, menyusul merebaknya kasus kontroversial memo titip siswa dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) SMA Negeri di Kota Cilegon. Insiden ini tidak hanya memicu gelombang kritik publik, tetapi juga kembali menyoroti isu integritas pejabat publik serta transparansi harta kekayaan mereka, sebagaimana tercermin dalam data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya. Pencopotan ini menjadi bukti nyata komitmen partai pengusung, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), untuk menjaga marwah dan kepercayaan publik di tengah isu-isu etika yang kerap menerpa dunia politik Indonesia.

Kontroversi bermula dari beredarnya sebuah memo yang ditandatangani oleh Budi Prajogo, berisi permohonan agar siswa tertentu dapat diterima di salah satu SMA Negeri di Kota Cilegon melalui jalur "titipan". Praktik semacam ini, yang sering disebut sebagai "jalur belakang", secara fundamental bertentangan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau SPMB. Sistem seleksi yang seharusnya murni didasarkan pada nilai akademik, zonasi, atau kriteria khusus yang telah ditetapkan secara publik, menjadi tercoreng oleh intervensi dari pihak luar yang memiliki kekuasaan atau pengaruh. Publik, khususnya para orang tua dan siswa yang telah berjuang keras mengikuti jalur resmi, merasa sangat dirugikan dan kecewa dengan adanya indikasi praktik nepotisme atau kolusi semacam ini. Kasus memo titip siswa ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia, namun setiap kali terungkap, ia selalu memicu reaksi keras dan menuntut adanya tindakan tegas dari pihak berwenang.

Menyikapi kegaduhan yang ditimbulkan oleh anggotanya, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Banten segera mengambil langkah cepat dan tegas. Ketua DPW PKS Banten, Gembong R Sumedi, pada Selasa (1/7), secara resmi mengumumkan keputusan partai untuk melakukan rotasi jabatan pimpinan DPRD. "Terkait kondisi yang sudah, maka Fraksi PKS, DPRD Provinsi Banten, memutuskan untuk me-rolling jabatan pimpinan DPRD, dan yang semula Pak Budi Prajogo digantikan oleh Bapak Imron Rosadi sebagai Wakil Ketua DPRD," tegas Gembong. Keputusan ini menunjukkan upaya PKS untuk meredam polemik, mengembalikan kepercayaan publik, dan menegaskan bahwa partai tidak akan mentolerir tindakan yang melanggar etika dan merusak citra partai. Selain itu, Gembong juga menyampaikan permohonan maaf yang tulus kepada masyarakat. "DPW PKS 2019 mengucapkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada masyarakat yang mungkin terasa terganggu, terasa tersinggung dengan hal yang dilakukan salah satu anggota dewan, yang berasal dari PKS, yaitu Pak Budi," imbuhnya. Permohonan maaf ini, yang disampaikan secara terbuka, merupakan langkah penting dalam manajemen krisis dan upaya untuk menunjukkan akuntabilitas politik partai terhadap publik. Pergantian jabatan ini diharapkan dapat menjadi sinyal kuat bahwa integritas dan ketaatan pada aturan main adalah prioritas utama bagi anggota dewan yang berasal dari PKS.

Baca Juga:

Di tengah sorotan atas kasus memo titip siswa ini, perhatian publik juga tertuju pada laporan harta kekayaan Budi Prajogo. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terbaru yang tersedia, yaitu laporan periodik tahun 2024 yang diajukan pada 21 Maret 2025 (tanggal pelaporan yang tertera), Budi Prajogo memiliki total harta kekayaan mencapai Rp 6.219.586.315. Angka ini menunjukkan jumlah aset yang signifikan untuk seorang pejabat daerah. Pelaporan LHKPN merupakan salah satu instrumen penting dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan transparansi di lingkungan penyelenggara negara. Dengan adanya LHKPN, masyarakat dapat memantau dan memverifikasi kewajaran harta kekayaan seorang pejabat, sehingga dapat mendeteksi potensi adanya gratifikasi, suap, atau tindak pidana pencucian uang.

Rincian harta kekayaan Budi Prajogo menunjukkan dominasi aset dalam bentuk tanah dan bangunan. Dari total kekayaan tersebut, sebesar Rp 5.903.000.000 atau sekitar 95% dari total harta, berbentuk tanah dan bangunan. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar investasi kekayaan Budi Prajogo tertanam dalam sektor properti. Selain itu, ia juga melaporkan harta bergerak lainnya senilai Rp 43.000.000, serta kas dan setara kas senilai Rp 126.586.315. Bagian yang paling menarik perhatian publik, mengingat konteks pertanyaan awal mengenai "isi garasi", adalah daftar alat transportasi dan mesin. Nilai total aset ini tercatat sebesar Rp 147.000.000, dengan rincian sebagai berikut:

  1. MOTOR, HONDA SEPEDA MOTOR Tahun 2013, senilai Rp 5.000.000. Kendaraan roda dua ini, meskipun relatif tua, masih menjadi bagian dari aset yang dilaporkan.
  2. MOBIL, HONDA FREED MINIBUS Tahun 2012, senilai Rp 125.000.000. Honda Freed, sebagai mobil keluarga jenis minibus, menunjukkan pilihan kendaraan yang praktis dan fungsional.
  3. MOTOR, KAWASAKI B3175A Tahun 2019, senilai Rp 17.000.000. Motor Kawasaki yang lebih baru ini melengkapi koleksi kendaraan roda dua Budi Prajogo.
    Semua kendaraan tersebut dilaporkan sebagai "HASIL SENDIRI", menunjukkan bahwa perolehannya bukan dari hibah atau warisan, melainkan dari usaha atau pendapatan pribadi. Detail LHKPN ini memberikan gambaran komprehensif tentang profil kekayaan Budi Prajogo, yang menjadi bagian dari akuntabilitasnya sebagai pejabat publik.

Sebelum dicopot dari jabatannya, Budi Prajogo sendiri telah memberikan klarifikasi dan permintaan maaf terkait memo viral tersebut. Dalam keterangannya pada Sabtu (28/6/2025), ia menjelaskan bahwa memo itu dibuat oleh salah satu staf di DPRD Banten dan ia hanya diminta untuk menandatanganinya. Budi menyebut staf tersebut menceritakan bahwa siswa yang akan dibantu berasal dari keluarga tidak mampu, yang mungkin menjadi dasar dari keputusannya untuk membubuhkan tanda tangan. "Staf datang ke saya minta tanda tangan saja, sementara stempel dan foto itu staf yang lakuin. Saya tidak tahu soal stempel itu, dan saya juga tidak kenal dengan siswa maupun keluarganya, hanya dengar dari staf saja," kata Budi. Pernyataan ini mencoba menggeser sebagian tanggung jawab kepada stafnya, namun sebagai pejabat tinggi, tanggung jawab penuh atas setiap dokumen yang ditandatangani tetap berada di pundaknya.

Budi juga mengklaim bahwa ia hanya membantu "ala kadarnya" tanpa intervensi maupun komunikasi langsung dengan pihak sekolah yang dituju di Kota Serang. "Adapun diterima tidaknya, saya serahkan semua kepada pihak sekolah tanpa ada intervensi apa pun," katanya. Klaim ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas memo tersebut jika memang tidak ada intervensi langsung, namun keberadaan memo itu sendiri sudah menjadi bentuk "tekanan halus" atau setidaknya upaya untuk mendapatkan perlakuan khusus. Fakta menarik yang terungkap adalah bahwa nama siswa yang tertera di memo Budi ini pada akhirnya tidak masuk dalam daftar siswa SPMB 2025/2026 di sekolah yang dituju. Siswa tersebut tergeser oleh siswa lainnya pada mekanisme jalur domisili SPMB yang juga memperhatikan nilai rapor. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya intervensi, sistem seleksi yang berlaku tetap mampu menyaring dan menempatkan siswa sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, atau setidaknya, intervensi tersebut tidak berhasil mengubah hasil akhir.

Meskipun upayanya tidak berhasil, Budi Prajogo mengakui bahwa tindakannya adalah sebuah kesalahan. Ia menyatakan penyesalannya dan berjanji akan menjadikan kegaduhan ini sebagai bahan pembelajaran berharga. "Saya meminta maaf kepada seluruh pihak atas kegaduhan ini," ucapnya. "Saya tidak kenal anak maupun orang tua. Dan saya tidak pernah menghubungi kepala sekolah untuk memberikan tekanan," tukasnya, menegaskan kembali bahwa ia tidak memiliki motif pribadi atau hubungan langsung dengan pihak terkait. Pengakuan kesalahan dan permintaan maaf ini, meskipun terlambat, adalah langkah penting untuk menunjukkan adanya kesadaran akan dampak dari perbuatannya.

Kasus Budi Prajogo ini menjadi cermin dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas, khususnya dalam sektor pendidikan. Praktik "titipan" dalam PPDB/SPMB adalah masalah klasik yang merusak kepercayaan publik dan menghambat terciptanya kesetaraan kesempatan bagi seluruh calon siswa. Pencopotan seorang pejabat sekelas Wakil Ketua DPRD harus menjadi peringatan keras bagi seluruh penyelenggara negara bahwa pengawasan publik semakin ketat dan setiap tindakan yang melanggar etika serta hukum akan berujung pada konsekuensi serius. PKS, sebagai partai politik, juga menunjukkan responsibilitasnya dengan mengambil tindakan disipliner, yang diharapkan dapat menjadi preseden positif bagi partai-partai lain dalam menjaga integritas anggotanya. Lebih dari sekadar kasus individu, insiden ini menggarisbawahi urgensi untuk terus memperkuat sistem seleksi yang transparan dan adil, serta menanamkan budaya anti-nepotisme di setiap lini birokrasi dan pemerintahan.

Pencopotan Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo dan Kontroversi Memo Titip Siswa: Sorotan Harta Kekayaan dan Integritas Pejabat Publik

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *