
Presiden LaLiga, Javier Tebas, melontarkan kritik keras dan tanpa tedeng aling-aling terhadap penyelenggaraan Piala Dunia Antarklub 2025, menyebutnya sebagai "bencana" yang mengancam kesejahteraan pemain dan keberlanjutan ekosistem sepak bola secara menyeluruh. Turnamen yang diperluas dengan format 32 tim dan akan digelar selama sebulan penuh ini telah memicu polemik sengit, bukan hanya di kalangan operator liga, tetapi juga dari pelatih dan pemain, yang menyuarakan kekhawatiran mendalam atas dampak negatifnya.
Piala Dunia Antarklub 2025, yang dirancang FIFA sebagai ajang klub global yang lebih prestisius dan menguntungkan, seharusnya menjadi perayaan sepak bola. Namun, alih-alih euforia, gelaran ini justru menuai gelombang protes karena jadwalnya yang padat dan potensi dampaknya terhadap kalender kompetisi domestik yang sudah kelewat sesak. Tebas, yang dikenal vokal dalam membela kepentingan liga-liga Eropa, khususnya LaLiga, tidak ragu untuk menyerang konsep dan pelaksanaan turnamen tersebut, menyoroti berbagai masalah yang timbul di permukaannya.
Salah satu kekhawatiran utama yang diangkat oleh Tebas, dan juga diamini oleh banyak pihak lain, adalah beban fisik dan mental yang akan ditanggung para pemain. Sepak bola modern telah menempatkan tuntutan yang luar biasa pada atlet, dengan jadwal pertandingan yang kian padat sepanjang musim. Penambahan turnamen berdurasi satu bulan di tengah atau di akhir musim kompetisi, seperti Piala Dunia Antarklub 2025, secara signifikan mengurangi waktu istirahat yang sangat dibutuhkan para pemain. Eks manajer Liverpool, Juergen Klopp, adalah salah satu figur terkemuka yang dengan tegas menentang gagasan ini, menyatakan bahwa turnamen tersebut "memaksa para pemain untuk tetap bermain dengan mengorbankan masa liburan" mereka. Liburan, bagi pesepak bola profesional, bukan hanya tentang rekreasi, melainkan juga waktu krusial untuk pemulihan fisik, rehabilitasi cedera ringan, dan penyegaran mental sebelum menghadapi musim baru. Mengurangi atau menghilangkan masa istirahat ini berisiko tinggi menyebabkan kelelahan kronis, peningkatan risiko cedera, dan penurunan performa jangka panjang.
Kekhawatiran akan kebugaran pemain bukanlah sekadar spekulasi kosong. Bukti konkret telah terlihat dari insiden yang menimpa Jamal Musiala, bintang muda Bayern Munich, yang didera cedera parah kala membela timnya menghadapi Paris Saint-Germain di turnamen tersebut. Cedera yang dialami Musiala menjadi semacam ‘korban’ pertama yang nyata, menguatkan argumen bahwa jadwal yang terlalu padat dan tuntutan fisik yang ekstrem dalam turnamen baru ini dapat membahayakan karier dan kesehatan pemain. Musiala, yang dikenal dengan kecepatan dan kelincahannya, kini harus menepi untuk waktu yang tidak sebentar, memberikan dampak langsung pada klubnya dan juga tim nasionalnya. Insiden ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi para pembuat kebijakan sepak bola tentang konsekuensi nyata dari ekspansi jadwal tanpa mempertimbangkan batas fisik manusia.
Selain masalah pemain, kritik tajam juga datang dari aspek komersial dan finansial turnamen. Meskipun FIFA berambisi untuk menciptakan ajang global yang menghasilkan pendapatan masif, kenyataan di lapangan tampaknya jauh dari harapan. Salah satu indikator paling mencolok adalah anjloknya jumlah penonton di stadion. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kursi-kursi kosong mendominasi pertandingan-pertandingan awal, bahkan di babak-babak krusial. FIFA, dalam upaya putus asa untuk menarik minat penggemar dan mengisi stadion, dilaporkan sampai harus memangkas harga tiket pertandingan semifinal, termasuk laga antara Fluminense dan Chelsea. Ini adalah langkah yang jarang terjadi untuk turnamen selevel Piala Dunia Antarklub, dan mengindikasikan bahwa daya tarik komersial turnamen ini belum sesuai ekspektasi.
Pemangkasan harga tiket ini disorot tajam oleh Javier Tebas sebagai bukti kegagalan finansial yang lebih besar. Menurutnya, turnamen ini tidak hanya merusak para pemain secara fisik, tetapi juga mengancam ekosistem sepak bola secara finansial. "Piala Dunia Antarklub yang benar-benar membawa bencana: para pemain dan liga berselisih, jadwal yang hancur, dan ekosistem sepak bola profesional yang rusak parah, dengan ratusan ribu karyawan yang terkena dampaknya," kata Tebas dengan nada keras di platform X pada Minggu (6/7).
Pernyataan Tebas ini menggambarkan gambaran yang lebih luas tentang ancaman yang ia lihat. Ketika ia berbicara tentang "ekosistem sepak bola profesional yang rusak parah," ia merujuk pada struktur kompleks yang menopang olahraga ini. Ekosistem ini mencakup liga-liga domestik sebagai tulang punggung, klub-klub dari berbagai divisi, akademi, staf kepelatihan, staf medis, ofisial pertandingan, hingga ratusan ribu karyawan yang bekerja di balik layar, mulai dari petugas keamanan stadion hingga staf penjualan tiket dan merchandise. Ketika sumber daya, perhatian, dan bahkan pendapatan potensial dialihkan ke turnamen global yang baru dan belum terbukti, ada risiko nyata bahwa dana yang seharusnya mengalir ke liga-liga domestik akan berkurang, melemahkan klub-klub kecil, dan pada akhirnya mengancam keberlangsungan pekerjaan bagi banyak orang.
Tebas juga secara spesifik menyoroti masalah pendapatan dari televisi dan sponsor. "Mengenai pendapatan dari televisi dan sponsor, semuanya telah dikatakan; beberapa di antaranya datang ‘secara spontan.’ Yang lebih parah lagi, harga tiket anjlok untuk memenuhi stadion, sementara masalah pajak muncul bagi para pemain dan klub," lanjutnya. Frasa "datang ‘secara spontan’" bisa diartikan sebagai pendapatan yang tidak sepenuhnya didasari oleh permintaan pasar yang organik atau nilai komersial yang sebenarnya, melainkan mungkin hasil dari kesepakatan yang dipaksakan atau diwarnai intervensi tertentu. Jika pendapatan ini tidak berkelanjutan atau tidak mencerminkan minat pasar yang sesungguhnya, maka model bisnis turnamen ini menjadi rapuh.
Lebih lanjut, Tebas menyinggung "masalah pajak" yang muncul bagi para pemain dan klub. Ini adalah aspek yang sering terlewatkan dalam diskusi publik, namun sangat krusial. Ketika pemain dan klub berpartisipasi dalam turnamen internasional di yurisdiksi yang berbeda, mereka dihadapkan pada kerumitan peraturan pajak internasional. Perbedaan dalam sistem perpajakan antar negara dapat menyebabkan beban pajak ganda, masalah kepatuhan yang rumit, atau bahkan potensi sengketa hukum. Ini menambah lapisan kompleksitas dan biaya operasional yang tidak terduga bagi klub dan pemain, menggerogoti keuntungan finansial yang mungkin mereka harapkan dari partisipasi.
Kritik Tebas tidak hanya berhenti pada analisis masalah, tetapi juga pada kekecewaannya terhadap narasi yang dibangun oleh pihak-pihak tertentu yang masih mempromosikan Piala Dunia Antarklub sebagai kesuksesan besar dan masa depan sepak bola. "Mungkinkah ada yang lebih buruk? Meski begitu, ada orang-orang yang terus menyebarkan kehebohan bahwa ini adalah kesuksesan besar dan masa depan sepak bola. Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari orang-orang gila ini, saya mohon," pungkas Tebas, menunjukkan frustrasinya terhadap apa yang ia anggap sebagai pengabaian realitas demi ambisi semata.
Pandangan Tebas ini mencerminkan konflik yang lebih besar dalam sepak bola modern: perebutan kekuasaan dan kendali antara federasi global seperti FIFA dan liga-liga domestik yang mapan. Liga-liga seperti LaLiga, Premier League, Bundesliga, dan Serie A adalah jantung sepak bola klub, dengan basis penggemar yang loyal, sejarah panjang, dan struktur finansial yang kuat. Mereka melihat ekspansi turnamen global seperti Piala Dunia Antarklub sebagai ancaman langsung terhadap dominasi, jadwal, dan sumber pendapatan mereka. Kekhawatiran mereka beralasan, karena setiap pertandingan tambahan di tingkat global berpotensi menggerus nilai dan daya tarik kompetisi domestik, yang pada akhirnya dapat merugikan seluruh piramida sepak bola.
Pada akhirnya, kegelisahan Javier Tebas terhadap Piala Dunia Antarklub 2025 adalah cerminan dari perdebatan mendalam tentang masa depan sepak bola. Apakah olahraga ini akan terus berkembang dengan mengorbankan kesehatan pemain dan stabilitas ekosistem yang sudah ada? Atau akankah ada upaya untuk menemukan keseimbangan yang lebih harmonis antara ambisi global dan realitas praktis? Pertanyaan-pertanyaan ini masih belum terjawab, namun kritik tajam dari figur berpengaruh seperti Tebas memastikan bahwa polemik ini akan terus menjadi topik hangat, menyoroti urgensi untuk meninjau kembali arah yang diambil oleh sepak bola global. Jika kekhawatiran ini tidak diatasi, masa depan yang ‘bencana’ mungkin bukan lagi sekadar retorika, melainkan kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh komunitas sepak bola.
