
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bersama Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah gencar melaksanakan razia terhadap truk yang melanggar ketentuan dimensi dan muatan atau yang dikenal dengan istilah Over Dimension Over Loading (ODOL). Meskipun inisiatif ini bertujuan mulia untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas, menjaga infrastruktur jalan, dan menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, penertiban truk ODOL tidak bisa serta-merta diterapkan secara instan. Pasalnya, masalah ODOL bukan sekadar pelanggaran individual, melainkan sebuah persoalan sistemik yang melibatkan beragam pemangku kepentingan dan berbagai kepentingan ekonomi yang saling terkait.
Pemerhati transportasi, Muhammad Akbar, menegaskan bahwa penertiban truk ODOL tidak dapat dilakukan secara serentak atau sekaligus. Pendekatan yang lebih bijaksana adalah melalui tahapan yang cermat, dengan mempertimbangkan karakteristik unik setiap komoditas yang diangkut, struktur biaya logistik yang kompleks, serta potensi dampak yang ditimbulkan terhadap stabilitas harga barang dan tingkat inflasi nasional. Tanpa strategi yang didasarkan pada data komoditas yang komprehensif dan matang, upaya penegakan hukum justru berisiko tinggi memicu gejolak ekonomi yang tidak diinginkan, serta berpotensi memperlebar ketimpangan yang sudah ada di sektor transportasi barang.
Akbar lebih lanjut menguraikan bahwa akar masalah truk ODOL tidak hanya terletak pada perilaku sopir yang melanggar aturan atau lemahnya pengawasan di jalan raya. Lebih dalam lagi, masalah sesungguhnya berakar pada sistem persaingan usaha di sektor logistik yang cenderung terlalu liberal, dibiarkan berjalan dalam kondisi persaingan bebas tanpa regulasi yang memadai, dan tanpa kendali yang efektif. Dalam lingkungan pasar yang demikian, tarif angkutan barang bergerak bebas tanpa adanya batas bawah yang jelas, dan tanpa regulasi yang mampu menjaga iklim persaingan agar tetap sehat dan adil bagi semua pihak.
Baca Juga:
- Daihatsu Kumpul Sahabat: Pesta Kebahagiaan dan Apresiasi Pelanggan di Palembang
- Fenomena “Mobil Bekas 0 Kilometer”: Ketika Unit Baru Menjadi “Bekas” dan Membanjiri Pasar Global
- Tesla di Titik Krusial: Penjualan Anjlok, Persaingan Memanas, Janji Terabaikan
- Banten Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan Hingga Akhir Oktober 2025: Dorong Kepatuhan dan Permudah Masyarakat
- Skandal Flyover 90 Derajat India: Insinyur Dipecat, Desain Maut Jadi Sorotan Nasional
Kondisi pasar yang sangat kompetitif dan ketiadaan batas tarif yang wajar ini mendorong terjadinya praktik "banting harga" yang menjadi lumrah. Pemilik barang, secara alami, akan cenderung memilih penyedia jasa angkutan yang menawarkan tarif paling murah demi efisiensi biaya. Di sisi lain, operator angkutan barang terpaksa menerima tarif yang rendah demi mendapatkan muatan dan mempertahankan kelangsungan bisnis mereka. Dengan biaya operasional yang sulit untuk ditekan lebih lanjut dan tekanan margin keuntungan yang sangat tipis, satu-satunya cara yang dianggap realistis untuk bertahan dalam persaingan adalah dengan menambah muatan melebihi kapasitas kendaraan yang diizinkan. Praktik ini, meskipun jelas melanggar hukum dan berisiko tinggi, menjadi jalan pintas bagi banyak pelaku usaha.
Pelanggaran ODOL, menurut Akbar, tidak lahir dari niat murni untuk melawan hukum atau mencari keuntungan secara ilegal semata, melainkan lebih sebagai respons terhadap tekanan sistemik yang mendera. Tekanan ini secara tidak langsung memaksa para pelaku usaha untuk mencari celah demi bertahan hidup di tengah persaingan yang tidak sehat. Ketika tidak ada perlindungan harga yang memadai, dan tidak ada insentif yang cukup kuat untuk mematuhi aturan, praktik ODOL pun berubah menjadi semacam "solusi diam-diam" yang secara tidak resmi diterima sebagai kelaziman di lapangan—meskipun secara hukum jelas-jelas menyalahi ketentuan yang berlaku. Ini mencerminkan kegagalan sistem dalam menyediakan lingkungan usaha yang adil dan berkelanjutan.
Sayangnya, penanganan masalah truk ODOL selama ini cenderung menonjolkan pendekatan penegakan hukum yang bersifat represif dan terfokus pada hilir, yaitu di lapangan. Razia terus dilakukan, sanksi dijatuhkan, namun target yang disasar umumnya hanya sopir atau operator angkutan skala kecil. Sementara itu, pihak-pihak yang memiliki peran krusial dalam rantai pasok logistik, seperti pemilik barang (shipper) yang sering menekan tarif, pemilik armada besar yang kurang bertanggung jawab, atau bahkan sistem tarif yang mendorong terjadinya pelanggaran, justru luput dari pengawasan yang ketat. Akibatnya, penindakan di lapangan terlihat tegas dan masif, namun dampaknya tidak mampu menyentuh jantung masalah yang sebenarnya.
"Kita sibuk menegakkan hukum di hilir, tapi abai membenahi regulasi di hulu," ujar Akbar. "Ibarat kata, kita sibuk menebang ranting-ranting masalah di hilir, tapi lupa mencabut akar persoalan di hulu." Metafora ini menggambarkan betapa pentingnya melihat masalah secara holistik, mulai dari regulasi, struktur pasar, hingga perilaku seluruh pihak dalam ekosistem logistik. Tanpa intervensi pada akar masalah, penindakan di lapangan hanya akan menjadi siklus yang berulang tanpa penyelesaian yang fundamental.
Menegakkan Aturan ODOL di Bawah Bayang-Bayang Inflasi
Salah satu alasan utama mengapa penanganan truk ODOL sering kali terhenti atau tidak maksimal bukan karena lemahnya komitmen hukum pemerintah, melainkan karena kekhawatiran yang mendalam terhadap potensi dampak ekonominya. Penegakan aturan secara ketat, yang akan memaksa truk untuk beroperasi sesuai kapasitas seharusnya, secara langsung akan menurunkan kapasitas angkut total di pasar. Hal ini pada gilirannya akan mendorong kenaikan ongkos kirim dan biaya logistik secara keseluruhan. Dalam situasi seperti ini, kenaikan harga barang di pasar menjadi konsekuensi yang sulit dihindari, terutama untuk barang-barang kebutuhan pokok yang sangat sensitif terhadap biaya transportasi.
"Ketakutan terhadap efek domino inilah yang membuat pemerintah cenderung berhati-hati, bahkan menahan diri untuk bertindak terlalu tegas," jelas Akbar. "Bukan karena takut pada pelaku pelanggaran, tetapi karena khawatir penertiban serentak justru akan memicu inflasi dan mengguncang harga barang pokok. Risiko ini tentu tidak diinginkan siapa pun, terutama saat pemerintah tengah berupaya keras menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat yang rentan." Kekhawatiran ini sangat relevan di Indonesia, di mana sektor logistik masih didominasi oleh transportasi darat dan efisiensinya belum optimal.
Situasi ini menciptakan sebuah dilema kebijakan yang kompleks. Di satu sisi, pemerintah memiliki kepentingan besar untuk menegakkan aturan demi keselamatan pengguna jalan, mengurangi risiko kecelakaan, dan demi menjaga kelayakan serta usia teknis jalan yang menelan biaya perawatan triliunan rupiah setiap tahun. Di sisi lain, ada tekanan kuat untuk menjaga stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang ke seluruh pelosok negeri. Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan, mengingat sistem logistik nasional yang belum sepenuhnya efisien. Bahkan di tingkat pelaksana lapangan, kerap muncul pertanyaan praktis: bagaimana jika penegakan hukum yang terlalu ketat justru menyebabkan lonjakan harga sembako atau bahan bangunan yang vital bagi masyarakat?
"Inilah paradoks dalam penanganan ODOL," ungkap Akbar. "Membiarkan pelanggaran berarti merelakan jalan rusak dan keselamatan terancam, namun menertibkan secara serentak dan terlalu ketat juga bisa menimbulkan gejolak ekonomi dan inflasi yang merugikan. Oleh karena itu, solusinya bukanlah dengan razia besar-besaran yang bersifat reaksioner di lapangan, melainkan merancang penegakan hukum yang berbasis data komoditas—dilakukan secara bertahap, selektif, dan disesuaikan dengan karakter serta sensitivitas tiap jenis barang yang diangkut."
Lebih dari itu, penanganan ODOL memerlukan pendekatan multi-sektoral yang komprehensif. Ini mencakup revitalisasi regulasi tarif angkutan barang yang adil dan transparan, pemberian insentif bagi operator yang mematuhi aturan (misalnya melalui kemudahan akses permodalan untuk peremajaan armada), pemanfaatan teknologi seperti timbangan bergerak (weigh-in-motion) dan sistem pengawasan berbasis GPS, serta edukasi berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan. Pengembangan moda transportasi alternatif seperti kereta api dan laut juga harus digenjot untuk mengurangi ketergantungan berlebih pada jalan raya. Kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, mulai dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Keuangan, menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem logistik yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan, tanpa harus mengorbankan stabilitas ekonomi nasional.
