
Gelombang kritik pedas menerpa pelatih Timnas Indonesia, Patrick Kluivert, menyusul serangkaian hasil minor dan isu-isu di luar lapangan yang mengikis kepercayaan publik. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, menjadi salah satu suara paling lantang yang menyoroti kinerja dan komitmen mantan bintang Barcelona tersebut. Puncak kemarahan Rosiade bermula dari kekalahan telak Timnas Indonesia 0-6 dari Jepang dalam laga krusial babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang berlangsung pada bulan Juni lalu. Kekalahan yang memilukan ini tidak hanya meredupkan harapan Garuda di kancah internasional, tetapi juga memicu pertanyaan besar mengenai dedikasi sang pelatih kepala.
Andre Rosiade secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam terhadap Kluivert, terutama terkait tindakan sang pelatih setelah kekalahan memalukan di Osaka. Alih-alih segera melakukan evaluasi mendalam dan menunjukkan empati terhadap kekecewaan para suporter, Kluivert justru dilaporkan memilih untuk berjalan-jalan santai ke Kyoto. "Saya sengaja bongkar sekarang supaya publik paham kondisi psikologis kita semua, di saat suporter itu bersedih di Osaka, lagi sedih, kecewa mereka war tiket, mereka cari tiket berangkat ke Osaka, mungkin ribuan, ada 7 ribu yang dapat tiket nonton bola itu," ujar Andre dengan nada penuh kekecewaan dalam rilis yang diterima detikSport.
Situasi ini, menurut Andre, mencerminkan kurangnya ikatan batin dan profesionalisme seorang pelatih kepala tim nasional. Ribuan suporter Indonesia telah mengorbankan waktu, tenaga, dan finansial mereka untuk mendukung langsung Skuad Garuda di tanah Jepang, dengan harapan bisa menyaksikan perjuangan dan kebangkitan tim kesayangan mereka. Namun, yang mereka dapatkan adalah kekalahan telak yang memilukan, disusul dengan pemandangan pelatih yang seolah tak terbebani oleh hasil tersebut. "Mereka masih bersedih di Osaka, eh kawan ini yang pelatih Patrick Kluivert ini jalan-jalan ke Kyoto," tambahnya, menyoroti kontras yang menyakitkan antara emosi suporter dan sikap pelatih.
Kritik Andre Rosiade tidak berhenti pada insiden jalan-jalan pasca-pertandingan. Ia juga mempertanyakan minimnya evaluasi yang dilakukan Kluivert setelah kekalahan tersebut. "Seharusnya habis kalah dia melakukan evaluasi ini langsung abis kalah dua hari kalau ga salah. Hari ini kalah nih besok masih di Osaka dia, besoknya lagi lusa dia kek Kyoto," tegas Andre, mengindikasikan bahwa jeda waktu yang sangat singkat antara kekalahan dan aktivitas liburan Kluivert adalah bukti nyata kurangnya fokus pada perbaikan tim. Dalam dunia sepak bola profesional, terutama di level tim nasional yang membawa nama baik negara, evaluasi pasca-pertandingan adalah elemen krusial untuk mengidentifikasi kelemahan, merumuskan strategi baru, dan menjaga moral tim. Tindakan Kluivert ini seolah mengabaikan urgensi tersebut, memicu kemarahan publik yang haus akan dedikasi penuh dari jajaran pelatih.
Lebih lanjut, Andre Rosiade juga menyoroti fasilitas mewah yang diterima oleh Patrick Kluivert dan tim kepelatihannya selama menjabat sebagai nahkoda Timnas Indonesia. Ia membandingkan secara eksplisit dengan fasilitas yang diterima oleh pelatih sebelumnya, Shin Tae-yong, yang dianggap lebih efisien dan proporsional. "Fasilitas apa sih yang kurang bagi kepelatihan Patrick Kluivert dkk ini, apa? Mohon maaf kalau Shin Tae-yong 5 atau 9 saya nggak tahu timnya, tapi kalau Patrick ini 14 orang, mereka dari luar negeri difasilitasi tiket business class," ungkap Andre, menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam hal anggaran dan kemewahan yang diberikan.
Perbandingan ini bukan tanpa dasar. Shin Tae-yong, yang sebelumnya berhasil membawa Timnas Indonesia ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya, termasuk lolos ke Piala Asia dan menunjukkan peningkatan signifikan dalam peringkat FIFA, disebut-sebut hanya mendapatkan fasilitas tiket kelas bisnis dua kali setahun untuk perjalanan pulang-pergi ke Korea. "Kalau zamannya Shin Tae-yong, Korea informasi ordal saya itu hanya mendapatkan tiket Business class itu setahun hanya dua kali dibiayai PSSI ke Korea, dua kali setahun," papar Andre. Kontras ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik dan pengamat sepak bola mengenai efisiensi penggunaan dana PSSI, terutama ketika hasil di lapangan belum menunjukkan peningkatan yang sepadan dengan investasi yang dikeluarkan. Keberadaan 14 staf asing yang semuanya difasilitasi dengan tiket kelas bisnis dianggap sebagai pemborosan jika tidak diimbangi dengan kinerja dan komitmen maksimal.
Sorotan tajam lainnya yang dilontarkan Andre Rosiade adalah mengenai frekuensi kehadiran Patrick Kluivert di tanah air. Menurutnya, Kluivert lebih sering berada di Belanda atau Eropa dibandingkan di Indonesia, tempat ia seharusnya fokus membangun dan mengamati sepak bola lokal. Menjelang FIFA Matchday pada bulan Juni, Kluivert dan timnya baru tiba di Indonesia beberapa pekan sebelum pertandingan melawan China. Keterlambatan ini dianggap sebagai indikasi kurangnya "ikatan batin" dan "engagement" dengan para pemain, staf lokal, dan ekosistem sepak bola Indonesia secara keseluruhan.
"Ikatan batinnya kurang, engagement kurang sehingga dia kayak pelatih tarkam, ada pertandingan dia datang," sindir Andre dengan keras. Julukan "pelatih tarkam" (turnamen antarkampung) adalah sebuah label yang sangat merendahkan bagi seorang pelatih tim nasional. Istilah ini menyiratkan bahwa Kluivert hanya datang saat ada pertandingan, tanpa terlibat dalam proses pengembangan pemain, pemantauan liga domestik, atau pembentukan filosofi sepak bola jangka panjang. Seorang pelatih tim nasional diharapkan memiliki keterlibatan yang mendalam, tidak hanya dalam sesi latihan atau pertandingan, tetapi juga dalam mengidentifikasi bakat, membina mentalitas pemain, dan membangun fondasi kuat bagi masa depan sepak bola negara. Kurangnya kehadiran fisik dan keterlibatan emosional ini dikhawatirkan akan menghambat kemajuan Timnas Indonesia.
Sejak mengambil alih kemudi Timnas Indonesia, Patrick Kluivert telah memimpin Skuad Garuda dalam empat pertandingan. Dari empat laga tersebut, catatan statistiknya menunjukkan dua kemenangan dan dua kekalahan. Meskipun angka ini mungkin terlihat seimbang di permukaan, sifat kekalahan yang diderita, terutama dari Jepang dengan skor 0-6, menjadi alarm bahaya. Kekalahan telak ini tidak hanya merusak rekor, tetapi juga sangat memengaruhi kepercayaan diri tim dan suporter. Sementara itu, dua kemenangan yang diraih perlu dianalisis lebih lanjut konteksnya, apakah itu melawan tim yang sepadan atau di bawah level Indonesia.
Kritik yang dilayangkan Andre Rosiade ini menempatkan Patrick Kluivert dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah tekanan besar. Ekspektasi publik terhadap Timnas Indonesia sangat tinggi, terutama dengan adanya mimpi untuk lolos ke Piala Dunia 2026. Babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia adalah fase yang sangat menantang, mempertemukan Indonesia dengan tim-tim raksasa Asia. Untuk bersaing di level ini, dibutuhkan lebih dari sekadar nama besar di kursi pelatih; diperlukan komitmen, strategi matang, dan dedikasi tanpa batas.
Insiden pasca-pertandingan di Jepang dan perbandingan fasilitas dengan Shin Tae-yong ini membuka diskusi lebih luas mengenai standar profesionalisme, akuntabilitas, dan manajemen di tubuh PSSI. Para suporter dan pemangku kepentingan berharap PSSI dapat menanggapi kritik ini dengan serius dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Patrick Kluivert serta struktur tim kepelatihan. Masa depan Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026, termasuk persiapan untuk FIFA Matchday mendatang melawan China, akan sangat bergantung pada respons PSSI terhadap gelombang kritik ini dan langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk memastikan Timnas memiliki pelatih yang tidak hanya kompeten secara taktik, tetapi juga memiliki "ikatan batin" dan komitmen penuh terhadap kemajuan sepak bola Indonesia. Tekanan ada pada Kluivert untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar "pelatih tarkam" dan pada PSSI untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan sebanding dengan dedikasi dan hasil di lapangan.
