Harga Jual Kembali Mobil Listrik Anjlok Drastis: Baterai Jadi Biang Kerok Utama dan Tantangan Besar Pasar EV Indonesia

Harga Jual Kembali Mobil Listrik Anjlok Drastis: Baterai Jadi Biang Kerok Utama dan Tantangan Besar Pasar EV Indonesia

Fenomena penurunan harga jual kembali mobil listrik di Indonesia menjadi sorotan tajam dan kekhawatiran yang signifikan bagi para pemilik dan calon pembeli kendaraan ramah lingkungan ini. Bahkan, data menunjukkan bahwa penurunan angkanya bisa benar-benar drastis, seringkali terjadi dalam kurun waktu kurang dari setahun setelah pembelian. Pertanyaan besar pun muncul: apa sebenarnya biang kerok di balik fenomena ini? Jawaban yang paling sering mengemuka, dan didukung oleh para pakar, mengerucut pada satu komponen kunci: baterai.

Evvy Kartini, Founder National Battery Research Institute, dengan tegas menyatakan, "Baterai," saat ditanya mengenai penyebab utama anjloknya harga mobil listrik bekas, seperti dikutip dari CNBC Indonesia pada Selasa (8/7). Pernyataan ini bukan tanpa alasan kuat. Baterai merupakan komponen tunggal termahal yang tertanam dalam sebuah mobil listrik. Proporsi biayanya tidak main-main, bisa mencapai 40 hingga 50 persen dari total harga jual kendaraan secara keseluruhan. Angka ini jauh melampaui biaya komponen utama pada kendaraan berbahan bakar minyak (ICE) seperti mesin atau transmisi. Oleh karena itu, ketika nilai baterai menurun, secara otomatis nilai jual keseluruhan mobil listrik pun ikut terseret.

Evvy menjelaskan lebih lanjut, "Harga baterai setengah harga mobil, jenis LFP dan semua. Jadi ketika harga baterai turun pasti mobil listrik turun." Baterai jenis LFP (Lithium Iron Phosphate) memang dikenal memiliki profil biaya yang lebih rendah dibandingkan jenis NCM (Nickel Cobalt Manganese), namun tetap saja, proporsi harganya terhadap total kendaraan sangat dominan. Kesadaran akan biaya baterai yang tinggi dan potensi depresiasinya inilah yang mendorong beberapa produsen mulai memperkenalkan dan menawarkan sistem penjualan mobil listrik dengan skema sewa baterai. Dengan sistem ini, pembeli hanya membayar harga mobil tanpa baterai di awal, sementara baterai disewa dengan biaya bulanan, memindahkan risiko depresiasi baterai dari konsumen ke pihak penyedia layanan atau produsen.

Baca Juga:

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai tingkat depresiasi yang terjadi, mari kita lihat beberapa contoh di pasar mobil bekas Indonesia. Ambil contoh BYD Seal, salah satu model yang cukup populer. Harga baru BYD Seal Premium saat peluncuran berada di angka Rp 639 juta, sementara varian Seal Performance AWD dibanderol Rp 750 juta. Namun, hanya satu tahun setelah peluncuran, harga kendaraan tersebut di berbagai marketplace atau platform jual-beli mobil bekas dilaporkan telah turun sekitar Rp 200 jutaan. Ini merupakan penurunan yang sangat signifikan dalam waktu sesingkat itu, setara dengan sekitar 25-30% dari harga awal.

Kondisi serupa juga dialami oleh merek lain, termasuk Hyundai. Hyundai Ioniq 5 Signature Long Range, yang harga barunya mencapai Rp 844 juta, kini hanya ditawarkan di kisaran Rp 465 juta hingga Rp 550 juta di berbagai situs jual-beli kendaraan bekas. Padahal, kendaraan-kendaraan ini umumnya merupakan keluaran dua tahun terakhir, menunjukkan tingkat depresiasi yang mencapai hampir 40-45% dalam kurun waktu yang relatif singkat. Tidak hanya BYD dan Hyundai, mobil listrik buatan Chery juga mengalami penurunan nilai yang besar. Chery J6, yang saat baru dibanderol Rp 505 jutaan, dapat ditebus dengan harga sekitar Rp 450 jutaan di pasar kendaraan bekas. Meskipun penurunannya tidak sebesar dua contoh sebelumnya, angka ini tetap mengindikasikan tren yang sama.

Lalu, mengapa baterai menjadi titik krusial dalam penilaian harga jual kembali? Evvy Kartini menjelaskan secara gamblang: "Misal Anda pakai mobil listrik 3 tahun, orang yang mau beli pasti menghitung, sisa masa pakai cuma 2 tahun, karena baterainya belum direcycle, ganti baterai juga setengah harga mobil, jadi makanya turun, bukan bodi atau apa, jadi baterainya." Pernyataan ini menyoroti konsep "masa pakai" baterai. Tidak seperti bodi mobil yang bisa diperbaiki dari penyok atau cat yang pudar, atau mesin ICE yang bisa diservis atau di-overhaul, baterai memiliki siklus hidup yang terbatas.

Baterai, kata Evvy, memiliki lifetime atau masa pakai yang diukur dalam siklus pengisian dan pengosongan (cycle). Sebagai contoh, jika sebuah baterai dirancang untuk 1.000 siklus, ketika sudah digunakan 500 siklus, berarti sisa masa pakainya hanya 500 siklus lagi. Sisa siklus ini secara langsung memengaruhi kapasitas baterai (State of Health/SoH), yang pada gilirannya berdampak pada jangkauan (range) kendaraan dan kecepatan pengisian daya.

Inilah perbedaan mendasar dengan kendaraan berbahan bakar bensin atau internal combustion engine (ICE). Kendaraan ICE, meskipun mengalami keausan seiring waktu dan penggunaan, tidak memiliki komponen inti yang memiliki "masa kedaluwarsa" sejelas baterai. Mesin ICE bisa bertahan sangat lama dengan perawatan rutin, dan komponennya relatif lebih mudah diganti atau diperbaiki dengan biaya yang tidak semahal penggantian baterai mobil listrik. Sementara itu, kekuatan dan performa kendaraan listrik memang cenderung menurun secara progresif setelah pemakaian lama, seiring dengan degradasi baterai. "Karena baterai punya lifetime, misal 1000 cycle, ketika dipakai 500 cycle berarti sisanya 500, itu nggak bisa digantikan, dalam sekian tahun harus diganti, jadi itu yang menyebabkan harga mobil listrik jatuh," imbuh Evvy.

Selain degradasi kapasitas baterai seiring siklus penggunaan, ada beberapa faktor lain yang turut berkontribusi pada anjloknya harga jual kembali mobil listrik:

  1. Biaya Penggantian Baterai yang Sangat Tinggi: Jika baterai sudah mencapai akhir masa pakainya atau mengalami kerusakan signifikan, biaya penggantian baterai baru bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, bahkan menyamai atau melebihi harga mobil bekas itu sendiri. Prospek biaya sebesar ini tentu membuat calon pembeli mobil listrik bekas berpikir dua kali.
  2. Perkembangan Teknologi Baterai yang Pesat: Industri baterai adalah sektor yang berkembang sangat cepat. Setiap tahun, ada inovasi baru yang menghasilkan baterai dengan kepadatan energi lebih tinggi (jarak tempuh lebih jauh), waktu pengisian lebih cepat, dan biaya produksi yang lebih rendah. Hal ini membuat mobil listrik model lama, meskipun baru beberapa tahun, terasa "usang" secara teknologi dibandingkan model terbaru, sehingga nilainya cepat turun.
  3. Ketidakpastian Mengenai Kondisi Baterai Bekas: Berbeda dengan mobil ICE yang kondisi mesinnya relatif mudah diperiksa oleh mekanik, kondisi kesehatan baterai (SoH) pada mobil listrik bekas seringkali tidak transparan bagi pembeli awam. Tidak adanya standar pelaporan SoH yang universal dan mudah diakses menimbulkan kekhawatiran akan "membeli kucing dalam karung."
  4. Kurangnya Infrastruktur Daur Ulang Baterai yang Matang: Saat ini, infrastruktur daur ulang baterai mobil listrik masih dalam tahap pengembangan. Ini berarti nilai residu dari baterai yang sudah tidak layak pakai untuk kendaraan masih rendah, dan belum ada pasar yang solid untuk baterai "bekas" yang dapat direkondisi atau digunakan untuk aplikasi lain (seperti penyimpanan energi statis).

Meskipun tantangan ini nyata, bukan berarti masa depan mobil listrik suram. Berbagai solusi dan mitigasi sedang dikembangkan untuk mengatasi masalah depresiasi ini:

  1. Model Bisnis Sewa Baterai (Battery-as-a-Service/BaaS): Seperti yang disebutkan Evvy, skema sewa baterai dapat menjadi solusi. Dengan BaaS, pemilik mobil tidak perlu khawatir tentang degradasi atau biaya penggantian baterai, karena hal tersebut menjadi tanggung jawab penyedia layanan. Ini akan menurunkan harga beli mobil listrik di awal dan memberikan jaminan kinerja baterai selama masa sewa.
  2. Pengembangan Teknologi Baterai Generasi Baru: Riset dan pengembangan terus dilakukan untuk menciptakan baterai yang lebih tahan lama, lebih murah, dan lebih ramah lingkungan, seperti solid-state battery atau baterai berbasis sodium-ion. Ketika teknologi ini matang dan diproduksi secara massal, biaya baterai akan semakin menurun, mengurangi dampak depresiasi.
  3. Sertifikasi dan Transparansi Kondisi Baterai Bekas: Produsen atau pihak ketiga dapat menyediakan laporan kesehatan baterai (SoH) yang terstandardisasi dan terverifikasi untuk setiap mobil listrik bekas. Ini akan membangun kepercayaan pembeli dan memungkinkan penilaian harga yang lebih akurat berdasarkan kondisi baterai.
  4. Pengembangan Pasar Baterai "Second Life": Baterai mobil listrik yang tidak lagi optimal untuk kendaraan (misalnya, SoH di bawah 80%) masih memiliki kapasitas yang cukup untuk aplikasi lain, seperti sistem penyimpanan energi di rumah atau jaringan listrik. Mengembangkan pasar untuk baterai "bekas pakai" ini akan menciptakan nilai residu yang lebih tinggi, sehingga mengurangi kerugian bagi pemilik pertama.
  5. Peningkatan Infrastruktur Daur Ulang Baterai: Dengan adanya fasilitas daur ulang yang efisien, komponen berharga dalam baterai (seperti litium, nikel, kobalt) dapat diekstraksi dan digunakan kembali. Ini akan menurunkan biaya produksi baterai baru dan mengurangi ketergantungan pada penambangan bahan baku, yang pada gilirannya dapat menstabilkan harga baterai.
  6. Program Certified Pre-Owned (CPO) dari Produsen: Mirip dengan mobil ICE, produsen mobil listrik dapat meluncurkan program CPO untuk kendaraan bekas mereka, di mana mobil telah melalui inspeksi menyeluruh dan baterai dijamin kinerjanya. Ini memberikan ketenangan pikiran bagi pembeli dan membantu menjaga nilai jual kembali.

Depresiasi harga jual kembali mobil listrik yang signifikan, terutama akibat faktor baterai, adalah tantangan nyata yang harus dihadapi oleh pasar EV di Indonesia. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah kepercayaan konsumen dan keberlanjutan ekosistem kendaraan listrik. Namun, dengan terus berlanjutnya inovasi teknologi baterai, pengembangan model bisnis yang adaptif seperti sewa baterai, serta dukungan dari kebijakan pemerintah dan inisiatif industri untuk meningkatkan transparansi dan nilai residu baterai, diharapkan masalah ini dapat diatasi. Dengan demikian, adopsi mobil listrik di Indonesia dapat tumbuh secara berkelanjutan, memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi yang optimal bagi masyarakat.

Harga Jual Kembali Mobil Listrik Anjlok Drastis: Baterai Jadi Biang Kerok Utama dan Tantangan Besar Pasar EV Indonesia

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *