
Dalam lanskap sepak bola modern yang terus berevolusi, di mana setiap posisi dituntut untuk memiliki dimensi lebih dari sekadar tugas tradisionalnya, Achraf Hakimi muncul sebagai anomali yang memesona. Bek kanan Paris Saint-Germain dan tim nasional Maroko ini tidak hanya dikenal karena kecepatan luar biasa, kemampuan bertahan yang solid, atau umpan silang akurat, tetapi juga karena produktivitas golnya yang menyaingi bahkan melampaui striker-striker elite Eropa. Musim 2024/2025 menjadi panggung sempurna bagi Hakimi untuk menampilkan evolusi permainannya, mencetak 11 gol dan menyumbangkan 15 assist dari posisi bek sayap, sebuah catatan yang tidak biasa dan patut mendapat sorotan lebih.
Performa Hakimi yang mencolok ini kembali terbukti di ajang Piala Dunia Antarklub 2025, di mana ia telah mencetak dua gol dari lima pertandingan, ditambah satu assist, menunjukkan betapa integralnya ia dalam skema serangan PSG. Angka 11 gol dan 15 assist untuk seorang bek sayap berusia 26 tahun adalah statistik yang akan membuat iri banyak penyerang murni. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan hasil dari kombinasi unik antara talenta bawaan, arahan taktis yang cerdas, dan pengalaman masa lalu yang membentuk naluri golnya.
Untuk memahami magnitudanya, mari kita bandingkan kontribusi golnya dengan beberapa penyerang top di benua Eropa. Romelu Lukaku, seorang striker murni dengan reputasi sebagai mesin gol, mencatatkan 14 gol dan 11 assist. Rafael Leao, penyerang sayap lincah yang dikenal dengan kemampuan mencetak gol dan asistensinya, mengoleksi 12 gol dan 13 assist. Sementara itu, Luis Diaz, penyerang sayap lain yang juga merupakan ancaman gol, memiliki 17 gol dan 8 assist. Dengan 11 gol dan 15 assist, Hakimi tidak hanya mendekati, tetapi bahkan melampaui beberapa dari mereka dalam total kontribusi gol (gol + assist), sebuah pencapaian luar biasa untuk pemain yang tugas utamanya adalah menjaga pertahanan.
Ada dua faktor utama yang diungkapkan Hakimi sendiri sebagai kunci di balik ledakan produktivitasnya: kebebasan taktis yang diberikan oleh Pelatih PSG, Luis Enrique, dan naluri striker yang ia asah sejak kecil. "Pelatih memberi saya kebebasan besar, yang cocok dengan saya," ujar Hakimi dalam sebuah wawancara dengan FIFA. "Berkat dia, saya berkembang banyak. Dia membantu saya mencapai level permainan yang tak terbayangkan sebelumnya. Itu membuat perbedaan besar."
Luis Enrique, yang dikenal dengan filosofi sepak bolanya yang progresif dan menyerang, memang sering kali menempatkan para bek sayapnya dalam peran yang sangat ofensif. Di bawah arahannya, bek sayap tidak hanya diharapkan untuk memberikan lebar serangan dan umpan silang, tetapi juga untuk melakukan penetrasi ke dalam kotak penalti, bahkan bertindak sebagai penyerang tambahan. Ini adalah gaya yang telah ia terapkan di klub-klub sebelumnya seperti Barcelona dan tim nasional Spanyol, di mana bek sayap seperti Jordi Alba atau Dani Alves seringkali menjadi kunci dalam skema serangan. Bagi Hakimi, yang memiliki kecepatan eksplosif dan kemampuan dribbling mumpuni, sistem ini adalah surga. Enrique tampaknya telah menemukan cara untuk memaksimalkan potensi ofensif Hakimi tanpa mengorbankan keseimbangan pertahanan tim secara keseluruhan, mungkin dengan menugaskan gelandang bertahan atau bek tengah untuk memberikan perlindungan ekstra saat Hakimi merangsek maju.
Namun, kebebasan taktis saja tidak cukup jika pemain tidak memiliki insting yang tepat. Di sinilah pengalaman masa kecil Hakimi berperan. "Saat masih bocah dulu, saya bermain sebagai striker," ungkap Hakimi. "Kemampuan-kemampuan itu bukanlah sesuatu yang Anda lupakan. Saat Anda di kotak penalti, Anda bisa merasakannya, bisa menciumnya. Dan saya senang menikmati aspek itu." Pernyataan ini memberikan wawasan mendalam tentang mengapa Hakimi begitu efektif di depan gawang. Bermain sebagai striker di masa muda berarti ia mengembangkan pemahaman yang intrinsik tentang pergerakan tanpa bola, posisi yang tepat untuk menerima umpan, antisipasi terhadap bola muntah, dan sentuhan akhir yang diperlukan untuk mencetak gol. Ini bukan sesuatu yang bisa diajarkan dengan mudah kepada seorang bek.
Naluri ini memungkinkan Hakimi untuk membuat keputusan sepersekian detik yang seringkali membedakan antara peluang terbuang dan gol. Dia tahu kapan harus berlari ke ruang kosong, kapan harus menunda pergerakannya untuk menghindari jebakan offside, dan bagaimana mengarahkan tembakan untuk melewati penjaga gawang. Kemampuan "mencium" peluang di kotak penalti adalah anugerah langka yang memungkinkannya muncul di tempat dan waktu yang tepat untuk menyelesaikan serangan. Ini adalah kombinasi dari penglihatan lapangan yang superior, pemahaman taktis, dan keterampilan teknis yang tinggi.
Perjalanan karier Hakimi juga membentuknya menjadi pemain serba bisa seperti sekarang. Lahir di Madrid, ia tumbuh besar di akademi Real Madrid, La Fabrica, di mana ia diasah dalam berbagai posisi, termasuk penyerang dan gelandang, sebelum akhirnya menetap sebagai bek sayap. Pengalaman di Real Madrid memberinya dasar teknis yang kuat. Pindah ke Borussia Dortmund dengan status pinjaman, di bawah arahan Lucien Favre, ia berkembang menjadi salah satu bek sayap paling menyerang di Bundesliga, seringkali beroperasi sebagai wing-back dalam formasi 3-4-3. Di sana, ia mencatatkan banyak gol dan assist, menunjukkan potensi ofensifnya.
Kemudian, di Inter Milan bersama Antonio Conte, ia semakin matang dalam peran wing-back kanan dalam formasi 3-5-2 yang mengantarkan Inter meraih Scudetto. Sistem Conte sangat mengandalkan kontribusi ofensif dari wing-back, dan Hakimi membuktikan dirinya sebagai salah satu yang terbaik di dunia dalam peran tersebut. Kedatangannya di PSG pada tahun 2021 membawanya ke liga yang berbeda dan menghadapi tantangan baru, tetapi ia terus menunjukkan adaptabilitas dan kualitasnya. Meskipun sempat ada kritik tentang konsistensi pertahanannya, tidak ada yang bisa meragukan kontribusi serangannya.
Hakimi kini mengikuti jejak para bek sayap legendaris yang mendefinisikan ulang posisi mereka dengan kontribusi ofensif yang masif. Nama-nama seperti Roberto Carlos, yang dikenal dengan tendangan geledeknya dan kemampuan menembus pertahanan lawan; Dani Alves, seorang maestro umpan silang dan pencetak gol dari posisi bek kanan; atau Marcelo, dengan dribel magis dan kemampuan menciptakan peluang. Hakimi memiliki kombinasi unik dari kecepatan Roberto Carlos, kelincahan Dani Alves, dan insting gol yang jarang dimiliki oleh seorang bek. Ia bukan hanya bek sayap yang ikut menyerang, tetapi bek sayap yang secara konsisten menjadi ancaman gol utama, setara dengan penyerang. Peran bek sayap di sepak bola modern telah banyak berubah, dari sekadar pemain bertahan yang memberikan umpan silang, menjadi kreator serangan, bahkan inside-fullback atau inverted-wingback yang merangsek ke tengah. Hakimi, dengan naluri striker-nya, adalah representasi sempurna dari evolusi ini.
Kontribusinya tidak hanya terlihat dalam angka-angka statistik, tetapi juga dalam dampak nyata terhadap performa tim. Di PSG, gol dan assistnya seringkali menjadi penentu kemenangan penting, baik di Ligue 1 maupun di kompetisi Eropa. Kehadirannya di sisi kanan memberikan dimensi serangan yang tak terduga, memaksa lawan untuk selalu waspada. Sementara itu, untuk tim nasional Maroko, Hakimi adalah pilar tak tergantikan yang memimpin mereka hingga semifinal Piala Dunia 2022, sebuah pencapaian bersejarah. Gol-golnya, penalti-penaltinya yang krusial, dan kemampuan penetrasinya adalah aset vital bagi Singa Atlas.
Di usianya yang masih 26 tahun, Achraf Hakimi memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan bahkan mendefinisikan ulang apa artinya menjadi seorang bek sayap di era modern. Dengan kombinasi kecepatan luar biasa, keterampilan teknis yang mumpuni, kecerdasan taktis yang diasah oleh Luis Enrique, dan yang paling penting, naluri gol bawaan dari masa kecilnya sebagai striker, ia adalah prototipe pemain masa depan. Hakimi bukan hanya bek sayap yang mencetak gol; ia adalah penyerang yang kebetulan bermain sebagai bek sayap, sebuah kombinasi yang menjadikannya salah satu pemain paling menarik dan efektif di dunia sepak bola saat ini. Kisahnya adalah bukti bahwa kadang-kadang, untuk menjadi yang terbaik di satu posisi, Anda harus memiliki sentuhan dari posisi lain.