Adian PDI-P Marah "Chat" Tak Dibalas Dirjen Kemenhub: Saya Tidak Minta Proyek Kok

Adian PDI-P Marah "Chat" Tak Dibalas Dirjen Kemenhub: Saya Tidak Minta Proyek Kok

Adian PDI-P Marah "Chat" Tak Dibalas Dirjen Kemenhub: Saya Tidak Minta Proyek Kok

Kegeraman seorang anggota parlemen, Adian Napitupulu dari Fraksi PDI Perjuangan, meledak dalam sebuah rapat Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersama Menteri Perhubungan. Insiden ini menyoroti isu krusial terkait akuntabilitas birokrasi dan etika komunikasi antara lembaga legislatif dan eksekutif, yang berujung pada penekanan Adian bahwa dirinya tidak sedang mencari proyek, melainkan menuntut pertanggungjawaban atas nyawa manusia. Peristiwa ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan cerminan dari frustrasi mendalam terhadap lambannya respons aparatur negara dalam menanggapi persoalan rakyat, khususnya yang berkaitan dengan tragedi kemanusiaan.

Rapat Komisi V DPR, yang pada umumnya membahas isu-isu strategis terkait infrastruktur, transportasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, dan pembangunan desa, mendadak memanas oleh interupsi Adian. Dengan nada yang sarat emosi, politikus PDI-P yang dikenal vokal dan kerap melontarkan kritik tajam ini mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah seorang Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan. Pasalnya, pesan singkat atau "chat" yang ia kirimkan kepada pejabat tersebut tak kunjung mendapat balasan, sebuah tindakan yang Adian nilai sebagai bentuk pengabaian serius.

Awal mula kekesalan Adian bermula dari upaya dirinya untuk menanyakan perkembangan kasus tenggelamnya sebuah kapal di perairan Papua, sebuah insiden tragis yang telah terjadi sekitar dua tahun lalu dan mengakibatkan hilangnya enam orang. Sebagai wakil rakyat yang mengemban amanah fungsi pengawasan, Adian merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal kasus ini agar tuntas dan memberikan kejelasan bagi keluarga korban. Ia telah mencoba menghubungi Dirjen Hubla melalui jalur pribadi, yakni pesan singkat, dengan harapan mendapatkan informasi terkini dan memastikan bahwa penanganan kasus tersebut terus berjalan.

"Saya minta juga teman-teman dari KNKT, itu yang Papua, dan Kementerian Perhubungan Dirjen Perhubungan Laut. Berapa waktu lalu saya sempat kontak Dirjen Hubungan Laut untuk tanya kasus itu. Dua tahun. Dua tahun lalu kalau tidak salah. Dan sampai sekarang belum diusut sampai selesai. Enam orang tenggelam di laut Papua," ujar Adian, mencoba menahan emosinya saat berbicara dalam rapat yang dihadiri Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (disebut Dudy Purwagandhi dalam teks asli, kemungkinan salah ketik). Penjelasan ini mengindikasikan bahwa masalah yang ia angkat bukan sekadar persoalan sepele, melainkan tragedi yang melibatkan nyawa dan telah berlarut-larut tanpa kejelasan.

Sorotan Adian kemudian tertuju pada sosok Dirjen Perhubungan Laut yang berada di ruang rapat. Ia mencoba memastikan apakah pejabat yang hadir adalah orang yang sama dengan yang ia hubungi. "Dirjen laut di sini ada, Pak? Ada enggak ya? Hubla. Ada. Saya sempat kontak, Bapak kan? Kenapa?" tanya Adian, menuntut jawaban langsung. Namun, interupsi dari pihak lain menyebutkan bahwa Dirjen yang hadir adalah pejabat baru. "Dirjen baru dia ini, Pak," seru seseorang. Penjelasan ini sedikit meredakan tensi, namun tidak sepenuhnya menghilangkan kekesalan Adian, yang kemudian merenungkan kemungkinan adanya pergantian pejabat. "Baru berapa lama ya? Kayaknya saya kontak sekitar satu bulan lalu memang. Saya enggak tahu, apa dirjen yang lama jadi sekjen apa. Hubla itu. Pernah saya kontak? Iya," katanya, mencoba mengingat detail waktu kontak terakhirnya.

Namun, poin utama yang ingin disampaikan Adian adalah bukan tentang identitas Dirjen yang menjabat saat ini atau sebelumnya, melainkan tentang substansi dari komunikasi yang ia coba jalin dan ketidakresponsifan yang ia alami. Adian menegaskan bahwa pesannya tidak memiliki motif tersembunyi atau permintaan pribadi yang melanggar etika. Ia tidak meminta anggaran, apalagi proyek. Isu yang ia sampaikan murni terkait nasib enam orang yang tenggelam di Papua, sebuah kasus yang menurutnya terkesan diremehkan oleh pihak Kementerian Perhubungan.

"Saya kontak itu tidak untuk minta anggaran, loh. Saya kontak itu untuk nanya enam orang yang meninggal di Papua. Dan Bapak masih ada jawabannya sama saya, ‘saya kontak balik, Pak, setelah rapat’. Dan saya tunggu sampai sekarang tidak ada," tegas Adian, nada suaranya meninggi. Penjelasan ini menggambarkan bahwa Dirjen yang bersangkutan, entah yang lama atau yang baru, setidaknya pernah berjanji untuk merespons, namun janji tersebut tidak pernah terpenuhi. Hal ini semakin memicu kemarahan Adian, yang merasa bahwa janji tersebut hanyalah basa-basi tanpa niat untuk ditindaklanjuti.

Bagi Adian, pengabaian terhadap kasus hilangnya enam nyawa ini adalah sebuah bentuk ketidakpedulian yang tidak bisa ditoleransi. "Mungkin nyawa enam orang ini murah buat Bapak. Tapi tidak murah buat keluarganya. Mungkin tidak ada hubungannya Bapak dengan mereka. Tapi mereka itu ujung tombak nafkah keluarganya, loh," seru Adian, mencoba mengetuk nurani para pejabat yang hadir. Kalimat ini menyiratkan betapa dalamnya dampak tragedi tersebut bagi keluarga korban, yang mungkin kehilangan tulang punggungnya, dan betapa pentingnya bagi pemerintah untuk menunjukkan empati dan tanggung jawab.

Adian kemudian menggeneralisasi permintaannya kepada semua pejabat negara untuk lebih responsif terhadap pesan dari anggota DPR, sambil kembali menekankan bahwa dirinya tidak akan pernah meminta proyek atau terlibat dalam urusan anggaran. "Nah kalau kemudian saya kontak, paling tidak direspons, Pak. Percayalah saya tidak akan minta proyek sama Bapak, asli. Tidak akan bicara anggaran apapun sama Bapak, asli. Pasti itu," jaminnya. Pernyataan ini secara tidak langsung menyentil persepsi umum di masyarakat tentang adanya praktik "proyek" atau kepentingan pribadi yang seringkali melatari komunikasi antara anggota legislatif dan eksekutif. Dengan menegaskan hal ini, Adian ingin menunjukkan bahwa motifnya murni untuk fungsi pengawasan dan pelayanan publik.

Lebih lanjut, Adian menanyakan apakah ada sanksi bagi pejabat yang tidak merespons pesan anggota DPR, terutama jika pesan tersebut berkaitan dengan masalah serius yang melibatkan nyawa. "Tapi ketika Bapak tidak merespons dengan baik, menurut saya, Pak Menteri, ada enggak sanksi buat sekjen begini? Saya mau nanya apa sikap kementerian terhadap korban enam orang yang meninggal di Papua kok sama sekali tidak direspons," kata Adian. Pertanyaan ini tidak hanya menuntut pertanggungjawaban individu, tetapi juga menyoroti sistem akuntabilitas dalam birokrasi pemerintahan. Ia ingin tahu, apakah ada mekanisme yang jelas untuk menindak pejabat yang lalai dalam menjalankan tugas komunikasinya, terutama yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan.

Puncak kemarahan Adian terekspresi saat ia bahkan menyebut sikap abai tersebut "menjijikan". "Maaf ya, Pak Wamen, ya, menjijikan menurut saya. Bisa enggak peduli. Mungkin enam orang itu, mungkin cuma membayar sekian persen gaji Bapak dari pajak mereka. Tapi bagaimanapun, mereka bayar pajak, loh, buat gaji kalian. Kok bisa segitu enggak pedulinya," imbuh Adian. Kata "menjijikan" menunjukkan tingkat frustrasi yang sangat tinggi, mencerminkan rasa muak terhadap sikap birokrat yang dianggap tidak memiliki empati terhadap penderitaan rakyat. Adian juga mengingatkan para pejabat bahwa gaji mereka berasal dari pajak rakyat, termasuk pajak dari korban yang tenggelam. Argumentasi ini menggarisbawahi prinsip dasar pelayanan publik: bahwa pejabat adalah pelayan rakyat, dan oleh karena itu, harus responsif dan peduli terhadap setiap keluhan atau pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, terutama melalui perwakilan mereka di parlemen.

Insiden ini bukan hanya sekadar keluhan pribadi seorang anggota DPR. Ini adalah cermin dari tantangan yang lebih besar dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, di mana transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas birokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Ketidakresponsifan seorang pejabat terhadap anggota DPR, apalagi terkait kasus kemanusiaan yang telah berlarut-larut, dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah secara keseluruhan. Peristiwa ini juga mengingatkan bahwa fungsi pengawasan DPR tidak hanya terbatas pada pembahasan anggaran dan legislasi, tetapi juga mencakup pengawalan terhadap implementasi kebijakan dan penanganan masalah-masalah konkret yang dihadapi oleh masyarakat.

Tuntutan Adian agar pejabat membalas pesannya dan sikapnya yang tegas menolak stigma pencari proyek, menjadi penanda penting dalam dinamika hubungan legislatif-eksekutif. Hal ini menegaskan bahwa komunikasi antara kedua cabang kekuasaan harus didasari oleh integritas dan fokus pada kepentingan publik. Lebih dari itu, insiden ini adalah seruan keras bagi seluruh jajaran birokrasi untuk menumbuhkan budaya responsif dan empati, memahami bahwa di balik setiap pesan atau pertanyaan, ada harapan dan kebutuhan masyarakat yang harus diutamakan. Nyawa enam orang yang tenggelam di Papua adalah pengingat yang menyakitkan akan konsekuensi dari pengabaian, dan tuntutan Adian adalah panggilan untuk pertanggungjawaban yang tulus dan segera.

Adian PDI-P Marah "Chat" Tak Dibalas Dirjen Kemenhub: Saya Tidak Minta Proyek Kok

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *