
Alasan Liga 1 Berganti Nama Menjadi Super League Mulai Musim 2025-2026 dan Implikasinya Terhadap Sepak Bola Nasional.
Perkembangan sepak bola Indonesia memasuki babak baru yang monumental seiring dengan pengumuman perubahan nama kompetisi kasta tertinggi, dari Liga 1 menjadi Super League, mulai musim 2025-2026. Keputusan transformatif ini diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang berlangsung di Hotel The Langham, Jakarta Selatan, pada Senin, 7 Juli 2025. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan sebuah manifestasi dari visi besar untuk meningkatkan profesionalisme, daya saing, dan nilai komersial sepak bola Tanah Air. Direktur Utama PT LIB, Ferry Paulus, menjelaskan secara rinci alasan di balik langkah strategis ini, yang berfokus pada penguatan branding dan identitas liga.
Inti dari perubahan ini adalah keinginan kuat untuk menciptakan branding yang lebih kokoh dan mudah dikenal, baik di kancah domestik maupun internasional. "Labelling kita, liga utamanya adalah Super League, siapa pun sponsornya," tegas Ferry Paulus kepada awak media. Penamaan "Super League" dipilih karena dinilai memiliki nuansa yang lebih modern, ambisius, dan mencerminkan kualitas serta tingkat kompetisi yang lebih tinggi. Ini adalah upaya untuk membangun citra yang setara dengan liga-liga top di Asia dan bahkan dunia, menarik perhatian lebih banyak investor, sponsor, dan yang terpenting, penggemar. Nama Liga 1, meskipun sudah dikenal, dianggap belum cukup kuat untuk memancarkan aura profesionalisme dan daya tarik global yang diinginkan oleh pengelola liga.
Sejalan dengan perubahan nama kompetisi utama, PT LIB selaku operator liga juga mengalami rebranding fundamental. Dari yang sebelumnya dikenal sebagai PT Liga Indonesia Baru, kini secara resmi bertransformasi menjadi I League. Ferry Paulus menggarisbawahi bahwa nama "PT LIB" selama ini belum cukup representatif untuk mencerminkan standar profesionalisme yang ingin dicapai. "Memang hasil dari komunikasi dengan beberapa klub, kami ingin memiliki branding kuat. Kalau PT LIB kurang strong," jelasnya. Dengan nama "I League," yang merupakan singkatan dari "Indonesia League," diharapkan identitas operator liga menjadi lebih ringkas, modern, dan mudah diingat, sekaligus menegaskan identitasnya sebagai pengelola liga profesional di Indonesia. Perubahan ini juga menunjukkan komitmen untuk tidak lagi sering mengubah identitas, memberikan stabilitas dan kredibilitas jangka panjang.
Transformasi ini tidak hanya berhenti pada pergantian nama. RUPS kali ini juga menjadi momentum penting untuk merombak jajaran komisaris dan direksi I League. Struktur kepemimpinan baru ini diisi oleh figur-figur yang diharapkan mampu membawa angin segar dan keahlian beragam. Zainudin Amali, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, ditunjuk sebagai Komisaris Utama, membawa pengalaman di bidang tata kelola dan kebijakan olahraga nasional. Direktur Utama Persib Bandung, Glenn Sugita, yang dikenal dengan kepemimpinannya yang visioner di salah satu klub terbesar di Indonesia, kini menduduki posisi Komisaris, menggantikan Teddy Tjahjono. Kehadiran Glenn diharapkan dapat menjembatani kepentingan klub dengan kebijakan liga, serta membawa perspektif manajerial klub yang realistis.
Selain itu, Muhammad Lutfi dipercaya sebagai Komisaris Independen, memberikan pengawasan dan objektivitas yang krusial. Di jajaran direksi, Asep Saputra ditunjuk sebagai Direktur Operasional, bertanggung jawab atas kelancaran dan efisiensi jalannya kompetisi. Sementara itu, Sadikin Aksa dipercaya sebagai Direktur Bisnis, dengan tugas utama mengoptimalkan potensi komersial liga, termasuk menarik sponsor dan meningkatkan pendapatan. Komposisi kepemimpinan baru ini mencerminkan upaya I League untuk menggabungkan pengalaman di pemerintahan, manajemen klub profesional, dan keahlian bisnis, demi mencapai tujuan ambisius liga.
Salah satu poin paling revolusioner dari RUPS I League ini adalah penerapan regulasi baru mengenai pemain asing. Mulai musim Super League 2025-2026, setiap kontestan diperbolehkan mendaftarkan hingga 11 pemain asing dari negara mana saja. Dari jumlah tersebut, 8 pemain asing dapat diturunkan secara bersamaan di lapangan dalam satu pertandingan. Kebijakan ini menandai perubahan paradigma yang signifikan dalam strategi rekrutmen dan pengembangan tim di Indonesia.
Regulasi pemain asing yang lebih longgar ini memiliki beberapa tujuan strategis. Pertama, untuk meningkatkan kualitas kompetisi secara drastis. Dengan lebih banyak pemain asing berkualitas di lapangan, diharapkan intensitas, kecepatan, dan taktik pertandingan akan meningkat, membuat Super League menjadi tontonan yang lebih menarik dan kompetitif. Ini juga berpotensi menarik pemain-pemain asing dengan reputasi lebih baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan citra liga di mata dunia. Kedua, untuk memacu pemain lokal agar beradaptasi dan bersaing lebih keras. Kehadiran lebih banyak pemain asing akan menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi pemain lokal untuk belajar dan meningkatkan kemampuan mereka. Mereka harus menunjukkan kualitas yang lebih tinggi untuk memperebutkan tempat di tim utama. Ketiga, untuk meningkatkan daya tarik komersial liga. Pemain asing seringkali memiliki basis penggemar global dan dapat membantu menarik sponsor internasional serta meningkatkan penjualan hak siar.
Namun, kebijakan ini juga memunculkan beberapa diskusi dan potensi tantangan. Kekhawatiran utama adalah dampak terhadap pengembangan pemain muda lokal. Dengan kuota pemain asing yang besar, ada risiko berkurangnya menit bermain bagi talenta-talenta muda Indonesia. Klub-klub mungkin akan lebih memilih untuk mengandalkan pemain asing yang sudah jadi, daripada memberikan kesempatan kepada pemain lokal yang masih dalam tahap pengembangan. Oleh karena itu, I League dan PSSI perlu memastikan adanya mekanisme pendukung, seperti regulasi wajib memainkan pemain muda atau investasi yang lebih besar pada akademi sepak bola, untuk menyeimbangkan kebijakan ini. Tantangan lain adalah finansial. Merekrut dan menggaji 11 pemain asing tentu membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar, yang mungkin menjadi beban bagi beberapa klub. Keseimbangan antara ambisi kualitas dan keberlanjutan finansial klub akan menjadi kunci.
Perubahan nama Liga 2 menjadi Pegadaian Championship, menyesuaikan dengan sponsor utama, juga merupakan bagian dari upaya rebranding yang lebih luas untuk seluruh piramida kompetisi di bawah I League. Ini menunjukkan konsistensi dalam strategi penamaan dan komersialisasi, memastikan setiap kasta liga memiliki identitas yang jelas dan sponsor yang kuat.
Secara keseluruhan, keputusan untuk mengubah Liga 1 menjadi Super League dan PT LIB menjadi I League adalah langkah berani yang menunjukkan ambisi besar sepak bola Indonesia untuk mencapai level yang lebih tinggi. Ini adalah bagian dari visi jangka panjang untuk menjadikan Super League sebagai salah satu liga terkemuka di Asia, yang mampu bersaing dengan J-League, K-League, atau bahkan liga-liga di Timur Tengah. Dengan branding yang lebih kuat, tata kelola yang lebih profesional, dan regulasi pemain asing yang progresif, Super League diharapkan mampu menarik lebih banyak investasi, meningkatkan kualitas permainan, dan pada akhirnya, membawa dampak positif bagi kemajuan tim nasional Indonesia.
Namun, keberhasilan transformasi ini akan sangat bergantung pada implementasi yang cermat, komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, dan kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan yang akan muncul. Mulai dari memastikan keberlanjutan finansial klub, menjaga integritas kompetisi, hingga menyeimbangkan pengembangan pemain lokal dengan dominasi pemain asing. Musim 2025-2026 akan menjadi era baru yang penuh harapan, sekaligus ujian bagi arah masa depan sepak bola profesional Indonesia. Inilah saatnya bagi Super League untuk membuktikan bahwa perubahan nama ini bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi bagi era keemasan sepak bola nasional yang lebih profesional dan berprestasi.