
Kekhawatiran melanda penyelenggara Piala Dunia Antarklub 2025 yang baru diperluas, menyusul fakta bahwa masih banyak kursi yang tidak terjual jelang laga semifinal prestisius antara raksasa Brasil, Fluminense, dan wakil Inggris, Chelsea. Fenomena ini diperparah dengan langkah drastis pemotongan harga tiket yang dilakukan FIFA, memicu pertanyaan serius tentang daya tarik turnamen dan strategi pemasaran mereka di pasar Amerika Serikat yang padat. Pertandingan krusial ini dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 9 Juli 2025 dini hari WIB di MetLife Stadium, New Jersey, sebuah arena megah berkapasitas 82.500 kursi yang biasanya ramai.
Pada awalnya, tiket untuk laga semifinal ini dipatok dengan harga yang cukup fantastis, mencapai 473,90 dolar AS, atau setara dengan sekitar Rp 7,7 juta. Harga ini menempatkan pertandingan tersebut dalam kategori premium, sebanding dengan event olahraga besar lainnya di AS. Namun, dalam sebuah langkah yang mengejutkan dan mengindikasikan kepanikan, FIFA memangkas harga tiket secara signifikan pada penjualan akhir pekan lalu. Kini, karcis penonton dapat dibeli hanya dengan 13,40 dolar AS, atau sekitar Rp 219 ribu. Angka ini merupakan penurunan harga yang mengejutkan, hanya sekitar 3 persen dari harga awal yang ditetapkan.
Ironisnya, seperti yang dilaporkan Daily Mail, harga tiket yang baru ini bahkan lebih murah dibandingkan dengan segelas bir yang dijual di dalam MetLife Stadium, yang umumnya dihargai sekitar 14 dolar AS. Perbandingan ini menjadi sorotan tajam, menggambarkan betapa putus asanya upaya untuk mengisi kursi-kursi kosong tersebut. Pemangkasan harga yang drastis ini tak pelak dilakukan untuk menghindari pemandangan ribuan kursi kosong yang akan menjadi citra buruk bagi turnamen yang digadang-gadang sebagai ajang baru paling bergengsi di kancah sepak bola antarklub global.
Piala Dunia Antarklub 2025 sendiri merupakan edisi perdana dengan format baru yang diperluas, melibatkan 32 tim dari seluruh konfederasi dunia. Perubahan format ini adalah ambisi besar FIFA untuk menciptakan "Piala Dunia Klub mini" yang setara dengan turnamen antarnegara. Amerika Serikat dipilih sebagai tuan rumah, tidak hanya karena infrastruktur stadionnya yang mumpuni, tetapi juga sebagai ajang uji coba dan pemanasan menjelang Piala Dunia 2026 yang akan diselenggarakan di sana bersama Kanada dan Meksiko. FIFA berharap format baru ini akan menarik minat sponsor, meningkatkan pendapatan, dan tentu saja, menarik jutaan penonton.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Sejak awal turnamen, fluktuasi jumlah penonton telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Laporan menunjukkan bahwa sudah ada sekitar 1 juta kursi penonton yang kosong sepanjang fase grup. Rata-rata kapasitas stadion yang terisi hanya mencapai 56,7 persen, sebuah angka yang jauh dari ideal untuk ajang sekelas Piala Dunia Antarklub, apalagi dengan format yang diperluas. Angka ini juga sangat kontras dengan tingkat kehadiran penonton pada liga-liga top Eropa atau bahkan MLS di Amerika Serikat, yang seringkali mencatat rata-rata kehadiran yang lebih tinggi.
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab rendahnya animo penonton. Pertama, harga tiket awal yang terlampau tinggi mungkin menjadi penghalang bagi banyak penggemar. Dengan banderol hampir 500 dolar AS, pertandingan semifinal ini menjadi kemewahan yang tidak terjangkau bagi sebagian besar keluarga atau penggemar sepak bola biasa, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang. FIFA mungkin terlalu optimistis dengan daya beli penggemar dan mengabaikan nilai persepsi turnamen ini dibandingkan dengan Liga Champions UEFA atau Copa Libertadores, yang secara historis lebih dihargai oleh penggemar klub.
Kedua, kurangnya koneksi emosional atau basis penggemar yang kuat untuk Fluminense atau Chelsea secara spesifik di wilayah New Jersey dan sekitarnya. Meskipun keduanya adalah klub besar dengan jutaan penggemar global, mereka tidak memiliki basis penggemar lokal yang mengakar seperti tim-tim olahraga Amerika seperti New York Giants atau New York Yankees. Penggemar sepak bola di AS cenderung lebih tertarik pada timnas mereka atau klub-klub MLS lokal. Untuk menarik penonton ke pertandingan antarklub yang melibatkan tim dari benua lain, diperlukan daya tarik yang luar biasa atau harga yang sangat kompetitif.
Ketiga, jadwal pertandingan yang padat dan potensi "kelelahan turnamen" juga bisa menjadi faktor. Dengan begitu banyak kompetisi sepak bola yang berlangsung sepanjang tahun, penggemar mungkin merasa jenuh atau memiliki prioritas lain. Apalagi, pertandingan semifinal ini berlangsung pada hari kerja, yang dapat menyulitkan banyak orang untuk hadir, terutama jika mereka harus bepergian jauh setelah jam kerja.
Pemangkasan harga tiket yang drastis jelang pertandingan ini, meski bertujuan untuk mengisi stadion, justru menimbulkan gelombang frustrasi di kalangan penggemar yang telah membeli tiket dengan harga tinggi. Mereka merasa kecewa dan tertipu karena membayar puluhan hingga ratusan kali lipat lebih mahal dibandingkan mereka yang membeli di menit-menit terakhir. Ini menciptakan preseden buruk dan merusak kepercayaan penggemar terhadap strategi penetapan harga FIFA. Hingga kini, belum ada kabar apakah para pembeli tiket dengan harga awal yang tinggi akan menerima pengembalian uang sebagian atau kompensasi dalam bentuk lain. Situasi ini menempatkan FIFA dalam posisi dilematis, di mana mereka harus menyeimbangkan antara mengisi stadion dan menjaga kepuasan pelanggan.
Citra stadion yang kosong atau separuh terisi adalah mimpi buruk bagi setiap penyelenggara turnamen besar. Selain memalukan bagi FIFA dan tuan rumah, ini juga dapat berdampak negatif pada nilai sponsor dan daya tarik turnamen di masa depan. Sponsor membayar mahal untuk visibilitas dan asosiasi dengan acara-acara bergengsi, dan pemandangan kursi kosong jelas tidak sesuai dengan investasi mereka. Ini juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi FIFA dalam merencanakan edisi-edisi Piala Dunia Antarklub yang akan datang, terutama jika mereka ingin mempertahankan format yang diperluas.
Secara historis, Piala Dunia Antarklub, bahkan dalam format lamanya, seringkali kesulitan menarik perhatian global di luar negara tuan rumah atau wilayah asal tim peserta. Turnamen ini seringkali dianggap sebagai ajang "pelengkap" dibandingkan dengan kompetisi kontinental seperti Liga Champions. FIFA berharap format 32 tim akan meningkatkan gengsi dan daya tarik, tetapi data awal menunjukkan tantangan yang signifikan. Apakah ini pertanda bahwa pasar sepak bola global, meskipun besar, memiliki batas daya serap terhadap "turnamen super" baru?
Dampak dari rendahnya kehadiran penonton juga bisa dirasakan oleh tim-tim peserta. Bermain di hadapan stadion yang lengang dapat mengurangi intensitas atmosfer pertandingan, yang pada gilirannya dapat memengaruhi performa dan motivasi pemain. Bagi Fluminense dan Chelsea, yang terbiasa bermain di hadapan puluhan ribu penggemar yang bersemangat di stadion kandang mereka, pengalaman ini mungkin terasa antiklimaks.
Ke depan, FIFA harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi pemasaran dan penetapan harga mereka untuk Piala Dunia Antarklub yang diperluas. Mungkin diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan sensitif terhadap pasar lokal, serta upaya yang lebih besar dalam membangun narasi dan daya tarik turnamen ini di luar lingkaran penggemar inti. Harga tiket yang makin terjangkau memang diharapkan bisa mengundang fans datang lebih semarak memenuhi 82.500 kursi MetLife Stadium untuk semifinal ini, tetapi kerugian reputasi dan finansial akibat kesalahan strategi awal mungkin sudah terjadi. Tantangan ini bukan hanya sekadar mengisi kursi, melainkan juga mempertahankan kredibilitas dan visi besar FIFA untuk masa depan sepak bola antarklub global.
![]()