APPI Minta Regulasi 11 Pemain Asing Super League Ditinjau Ulang

APPI Minta Regulasi 11 Pemain Asing Super League Ditinjau Ulang

APPI Minta Regulasi 11 Pemain Asing Super League Ditinjau Ulang

Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) secara tegas menyatakan harapannya agar regulasi baru terkait kuota 11 pemain asing di Super League, yang kini menjadi branding anyar Liga 1, dapat ditinjau ulang. Kebijakan revolusioner yang ditetapkan oleh Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB), Ferry Paulus, ini memperbolehkan setiap klub mendaftarkan hingga 11 pemain asing dari negara mana pun. Meskipun di satu sisi APPI memahami niat di balik perubahan ini, mereka menggarisbawahi kekhawatiran mendalam mengenai potensi dampak negatif terhadap perkembangan pemain lokal dan keberlanjutan ekosistem sepak bola profesional di Tanah Air.

Keputusan krusial ini diumumkan pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan dan luar biasa PT LIB di Hotel Langham, Jakarta Selatan, Senin malam. Ferry Paulus menjelaskan bahwa regulasi pemain asing untuk kasta tertinggi musim depan mengalami peningkatan signifikan. Nantinya, dari 11 pemain yang boleh didaftarkan, setiap klub hanya diperbolehkan memasukkan delapan pemain dalam daftar susunan pemain (DSP) dan maksimal delapan pemain asing dapat bermain langsung dalam satu pertandingan. Kebijakan ini merupakan perubahan drastis dari regulasi musim sebelumnya, di mana setiap klub hanya boleh mendaftarkan delapan pemain asing dan hanya enam pemain yang dibolehkan bermain dalam satu pertandingan.

Tujuan utama dari peningkatan kuota ini, menurut Ferry Paulus, adalah untuk mendongkrak kualitas klub-klub Tanah Air yang menjadi wakil di kompetisi Asia, serta secara keseluruhan meningkatkan kualitas kompetisi liga itu sendiri. Filosofinya adalah bahwa dengan kehadiran lebih banyak pemain asing berkualitas, persaingan internal di klub akan semakin ketat, memacu para pemain lokal untuk berkembang, dan sekaligus memungkinkan transfer ilmu serta pengalaman dari pemain asing kepada pemain lokal. APPI sendiri melihat itu sebagai sebuah terobosan yang bagus dan mengakui bahwa kebijakan ini berpotensi meningkatkan kualitas dari kompetisi liga itu sendiri.

Namun, di balik harapan peningkatan kualitas tersebut, APPI menyoroti beberapa kekhawatiran serius yang dapat berimbas negatif terhadap ekosistem sepak bola nasional. Poin pertama dan paling fundamental adalah ketiadaan komunikasi dan diskusi yang memadai antara PT LIB dengan para pemain atau perwakilan mereka, dalam hal ini APPI, sebelum regulasi ini diputuskan dan diumumkan. "Kami sangat menyayangkan bahwa regulasi yang akan secara langsung berimbas terhadap kehidupan para pemain diambil tanpa adanya komunikasi dan diskusi terlebih dahulu dengan para pemain," tulis keterangan resmi dari APPI. Kurangnya dialog ini menimbulkan kesan bahwa suara dan kepentingan pemain, sebagai aktor utama di lapangan, kurang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.

Salah satu poin utama keberatan APPI adalah potensi drastisnya pengurangan menit bermain bagi pemain-pemain lokal. Dalam survei internal yang dilakukan APPI, mayoritas pemain Liga 1 secara terang-terangan menyatakan keberatan mereka terhadap regulasi ini. Mereka khawatir bahwa dengan semakin banyaknya pemain asing yang mengisi slot di setiap klub, kesempatan bagi pemain lokal, terutama yang berusia muda dan sedang dalam tahap pengembangan, untuk mendapatkan menit bermain yang berharga akan sangat berkurang. Situasi ini diperparah dengan fakta bahwa saat ini hanya ada satu kompetisi profesional level tertinggi yang bergulir di Indonesia, yaitu Super League. Jika ada lebih banyak kompetisi atau liga lapis kedua yang kuat, dampak pengurangan menit bermain ini mungkin tidak akan seburuk yang diperkirakan. Namun, dengan hanya satu panggung utama, persaingan untuk mendapatkan tempat di skuad menjadi sangat sengit dan terbatas.

Presiden APPI, Andritany Ardhiyasa, yang juga merupakan kiper andalan Persija Jakarta dan Tim Nasional Indonesia, secara gamblang menyebut regulasi ini "sangat kontradiktif" jika muara akhir kompetisi adalah prestasi Tim Nasional. "Sebagai asosiasi yang menaungi pemain lokal dan juga asing, APPI tidak mempermasalahkan berapapun kuota pemain asing yang ada. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dengan jam terbang talenta lokal di Indonesia," kata Andritany. Ia menambahkan, "Jika muara dari kompetisi yang lebih berkualitas adalah prestasi Tim Nasional, maka regulasi ini tentu sangat kontradiktif dengan pernyataan dari Pelatih Timnas Indonesia, Patrick Kluivert, yang pernah menyatakan bahwa ‘Jika para pemain tidak punya menit bermain di klub, maka kamu tidak bisa dapat kesempatan’." Pernyataan Kluivert ini menggarisbawahi pentingnya menit bermain sebagai fondasi bagi perkembangan seorang pesepakbola. Tanpa pengalaman bertanding yang cukup di level klub, sulit bagi pemain untuk mencapai potensi terbaiknya dan pada akhirnya berkontribusi maksimal untuk Tim Nasional.

Lebih jauh lagi, APPI memprediksi dampak berantai yang signifikan terhadap ketersediaan lapangan kerja bagi para pesepakbola profesional di Indonesia. Angka 11 pemain asing per klub, jika dimaksimalkan oleh seluruh tim peserta Super League, berarti akan ada 198 pemain asing yang mengisi slot di kompetisi tersebut (18 klub x 11 pemain asing). Ini secara langsung akan mengurangi jumlah tempat yang tersedia untuk pemain lokal. "Jika setiap klub Super League memaksimalkan kuota 11 pemain asing, maka akan ada 198 pemain lokal Super League yang akan kehilangan pekerjaan atau pindah ke Championship (sebelumnya Liga 2)," tulis keterangan resmi APPI. Konsekuensi lanjutannya adalah efek domino yang tidak terhindarkan: "Yang berarti akan ada 198 pemain Championship yang akan kehilangan pekerjaannya atau beralih menjadi pemain amatir di Liga 3." Kondisi ini tidak hanya menciptakan persaingan yang tidak sehat dan cenderung merugikan pemain lokal, tetapi juga mengancam keberlanjutan karier banyak pemain muda yang sedang merintis jalan di dunia sepak bola profesional. Ini adalah ancaman serius terhadap mata pencarian ratusan individu dan keluarga yang menggantungkan hidup dari profesi sebagai pesepakbola.

Persaingan ketat untuk mendapatkan menit bermain memang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas seorang pemain, APPI mengakui hal tersebut. Konsep "survival of the fittest" seringkali diterapkan dalam konteks pengembangan atlet. Namun, APPI berpendapat bahwa persaingan tersebut haruslah dalam koridor yang adil dan seimbang, tidak sampai mengorbankan prospek jangka panjang talenta lokal. Mereka menekankan bahwa dalam waktu yang sama, regulasi ini juga secara langsung mengurangi jam terbang para talenta lokal di Tanah Air, sebuah paradoks yang perlu dipecahkan.

Oleh karena itu, APPI mendesak PT LIB dan PSSI untuk segera membuka ruang dialog dengan perwakilan pemain guna meninjau kembali regulasi ini. Diskusi yang konstruktif dapat mencari titik tengah yang menguntungkan semua pihak: meningkatkan kualitas liga, namun pada saat yang sama tetap memberikan ruang yang cukup bagi pemain lokal untuk berkembang dan mendapatkan pengalaman. Mungkin perlu dipertimbangkan opsi regulasi bertahap, atau mekanisme yang memastikan adanya kuota minimum menit bermain bagi pemain lokal muda, atau bahkan adanya insentif bagi klub yang mengoptimalkan pemain lokal. Pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berorientasi pada hasil instan, tetapi juga pada pembangunan pondasi sepak bola nasional yang kuat untuk masa depan.

Debat mengenai kuota pemain asing bukanlah hal baru dalam dunia sepak bola global. Banyak liga top di Eropa atau Asia memiliki regulasi ketat mengenai jumlah pemain non-Uni Eropa atau pemain asing yang boleh didaftarkan atau dimainkan. Tujuannya beragam, mulai dari melindungi talenta domestik hingga menjaga identitas nasional klub. Namun, kondisi sepak bola Indonesia dengan jumlah kompetisi profesional yang terbatas, menjadikan isu ini lebih sensitif dan memiliki dampak yang lebih besar terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kesempatan bermain bagi talenta lokal. Mengingat muara akhir dari sebuah kompetisi profesional yang berkualitas adalah prestasi Tim Nasional, maka setiap regulasi harus selaras dengan tujuan tersebut.

APPI berharap suara para pemain didengar dan dipertimbangkan secara serius. Keputusan yang bijaksana akan menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan antara ambisi peningkatan kualitas liga dengan keberlanjutan pengembangan talenta lokal. Masa depan sepak bola Indonesia, terutama di level tim nasional, sangat bergantung pada bagaimana kita membina dan memberikan kesempatan yang layak kepada talenta-talenta lokal untuk tumbuh dan bersaing di panggung tertinggi. Revisi atau setidaknya peninjauan ulang regulasi 11 pemain asing ini menjadi krusial demi masa depan sepak bola profesional di Indonesia yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

APPI Minta Regulasi 11 Pemain Asing Super League Ditinjau Ulang

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *