ATSI Desak Komdigi Bagi Spektrum Frekuensi ke Operator Seluler, Hindari Duopoli dan Jamin Pemerataan Akses.

ATSI Desak Komdigi Bagi Spektrum Frekuensi ke Operator Seluler, Hindari Duopoli dan Jamin Pemerataan Akses.

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) secara tegas mengusulkan pendekatan revolusioner dalam alokasi pita frekuensi radio yang akan segera dibuka oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Berbeda dengan praktik lelang kompetitif yang lazimnya diterapkan pemerintah untuk spektrum berharga ini, ATSI menyarankan agar pita frekuensi tersebut cukup dibagikan saja kepada operator seluler yang ada saat ini. Usulan ini mencuat di tengah lanskap industri telekomunikasi Indonesia yang telah mengalami transformasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan jumlah pemain utama yang menyusut drastis.

Dari sebelumnya sekitar tujuh perusahaan telekomunikasi yang bersaing ketat untuk mendapatkan jatah spektrum, kini hanya tersisa tiga raksasa telekomunikasi yang mendominasi pasar: Indosat Ooredoo Hutchison (hasil merger Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia), Telkomsel (anak perusahaan Telkom), dan XL Axiata (yang sebelumnya juga telah mengakuisisi Axis). Konsolidasi pasar ini, yang didorong oleh persaingan ketat, kebutuhan efisiensi, dan investasi infrastruktur yang masif, telah mengubah dinamika penawaran dan permintaan spektrum secara fundamental. ATSI berpendapat bahwa dengan kondisi pasar yang lebih terkonsentrasi ini, pendekatan alokasi spektrum harus disesuaikan agar lebih relevan dan adil bagi ekosistem telekomunikasi nasional.

Marwan O. Baasir, Direktur Eksekutif ATSI, menegaskan pandangan asosiasi dengan menyatakan, "Saya sih setuju dibagi saja," saat ditemui di Jakarta pada Rabu, 17 Juli 2025. Pernyataan lugas ini mencerminkan kekhawatiran mendalam ATSI terhadap potensi dampak negatif dari proses lelang yang agresif dalam kondisi pasar saat ini. Dengan jumlah operator yang sangat terbatas, proses lelang konvensional yang mengutamakan penawaran harga tertinggi berisiko menciptakan distorsi pasar, membebani operator dengan biaya akuisisi spektrum yang sangat tinggi, dan pada akhirnya dapat menghambat investasi yang esensial untuk peningkatan kualitas layanan dan ekspansi jaringan.

Sebagai informasi lebih lanjut, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid sebelumnya telah mengisyaratkan rencana strategis pemerintah untuk membuka seleksi tiga pita frekuensi vital. Frekuensi-frekuensi tersebut adalah 700 MHz, 1.4 GHz, dan 2.6 GHz. Masing-masing pita frekuensi memiliki karakteristik unik dan peran krusial dalam pengembangan ekosistem telekomunikasi masa depan Indonesia. Pita 700 MHz, dikenal sebagai pita frekuensi rendah, sangat ideal untuk jangkauan luas dan penetrasi sinyal yang baik, menjadikannya kunci untuk memperluas konektivitas ke daerah-daerah terpencil dan meningkatkan cakupan di dalam gedung. Sementara itu, pita 1.4 GHz dan 2.6 GHz, yang merupakan frekuensi menengah hingga tinggi, menawarkan kapasitas data yang lebih besar, sangat cocok untuk mendukung layanan broadband berkecepatan tinggi dan pengembangan teknologi 5G di area perkotaan padat.

Pelepasan spektrum ini, menurut pemerintah, memiliki tujuan ganda. Pertama, diharapkan dapat mendorong peningkatan signifikan dalam kecepatan internet di seluruh Indonesia, memenuhi tuntutan masyarakat akan konektivitas yang lebih cepat dan stabil. Kedua, dan tidak kalah penting, adalah untuk memastikan koneksi internet dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Inisiatif ini sejalan dengan agenda pemerintah untuk mengurangi kesenjangan digital dan mempromosikan inklusi digital sebagai pilar pembangunan ekonomi dan sosial.

Selain akan membuka seleksi frekuensi radio, Menkomdigi Meutya Hafid juga menekankan pentingnya melibatkan peran swasta untuk lebih aktif lagi dalam membangun infrastruktur telekomunikasi di berbagai daerah Tanah Air. Kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta diharapkan dapat mempercepat pembangunan menara telekomunikasi, serat optik, dan infrastruktur pendukung lainnya, terutama di wilayah-wilayah yang secara komersial kurang menarik namun sangat membutuhkan akses. Hal ini menunjukkan kesadaran pemerintah akan keterbatasan anggaran dan perlunya sinergi dengan kekuatan pasar untuk mencapai target konektivitas nasional.

Kekhawatiran Marwan mengenai potensi duopoli adalah inti dari argumen ATSI. Dengan hanya tiga operator tersisa, proses lelang yang kompetitif namun terbatas dapat secara tidak sengaja menciptakan dominasi dua pemain di pita frekuensi tertentu, khususnya untuk teknologi mutakhir seperti 5G. "Jumlah operator kan sudah nggak banyak, terus semua operator harus bersaing secara sehat. Kalau hanya misalnya yang dipilih dua dari tiga, yang satu nggak dapat padahal masyarakat membutuhkan layanan. Ini kan jadi duopoli di frekuensi tertentu, misalnya di frekuensi 5G," jelas Marwan. Duopoli, atau dominasi pasar oleh dua entitas, seringkali berujung pada kurangnya inovasi, pilihan yang terbatas bagi konsumen, dan potensi kenaikan harga layanan karena minimnya tekanan persaingan.

"Padahal, kita menghindari duopoli. Ini pandangan saya bahwa negara harus hati-hati betul membaca ini, persoalan penyelenggara negara adalah transparansi," kata Marwan menambahkan. Transparansi dalam proses alokasi spektrum tidak hanya berarti kejelasan dalam aturan main, tetapi juga pemahaman mendalam tentang dampak jangka panjang terhadap struktur pasar dan kepentingan publik. ATSI berpendapat bahwa pembagian spektrum secara merata kepada operator yang ada akan menjaga tingkat persaingan yang sehat, memungkinkan semua operator untuk berinvestasi dalam teknologi baru, dan pada akhirnya memberikan manfaat maksimal bagi konsumen dalam bentuk layanan yang lebih baik dan terjangkau.

Namun, jika skema seleksi atau lelang tetap dijalankan, ATSI menekankan pentingnya Komdigi untuk mempertimbangkan kondisi kesehatan industri yang sedang tertekan oleh tingginya ‘regulatory charges’ atau biaya regulasi. Industri telekomunikasi Indonesia saat ini menghadapi beban biaya regulasi yang terbilang sangat tinggi, mencapai lebih dari 12% dari pendapatan kotor operator. Angka ini mencakup berbagai jenis pungutan seperti Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi Tahunan, kontribusi Universal Service Obligation (USO) fund, hingga pajak dan pungutan daerah lainnya. Persentase yang tinggi ini mengindikasikan bahwa industri sedang dalam kondisi yang tidak sehat, dengan margin keuntungan yang tertekan dan kapasitas investasi yang terbatas.

Harga spektrum yang tinggi, ditambah dengan beban regulasi yang sudah berat, dapat secara signifikan menghambat kemampuan operator untuk berinvestasi dalam ekspansi jaringan, modernisasi infrastruktur, dan pengembangan layanan baru, khususnya di daerah-daerah terpencil yang membutuhkan biaya investasi tinggi namun dengan potensi pendapatan yang rendah. Sejarah alokasi spektrum di Indonesia seringkali diwarnai oleh proses lelang yang sangat kompetitif dan menghasilkan harga spektrum yang fantastis, membebani operator dengan utang besar dan mengalihkan fokus dari investasi pada kualitas layanan. ATSI berharap Komdigi dapat belajar dari pengalaman masa lalu dan merumuskan kebijakan yang lebih berimbang, yang tidak hanya berorientasi pada pendapatan negara jangka pendek tetapi juga keberlanjutan dan pertumbuhan industri telekomunikasi dalam jangka panjang.

Keputusan Komdigi dalam beberapa waktu ke depan akan sangat krusial dalam menentukan arah masa depan industri telekomunikasi Indonesia. Menyeimbangkan kebutuhan akan pendapatan negara, menjaga iklim persaingan yang sehat, mendorong investasi infrastruktur, dan memastikan pemerataan akses internet adalah tantangan kompleks yang membutuhkan kebijakan yang matang dan berani. Usulan ATSI untuk membagikan spektrum secara adil kepada operator eksisting merupakan seruan untuk pragmatisme dan prioritas pada kesejahteraan ekosistem telekomunikasi secara keseluruhan, demi mewujudkan visi Indonesia terkoneksi dan digital yang inklusif.

ATSI Desak Komdigi Bagi Spektrum Frekuensi ke Operator Seluler, Hindari Duopoli dan Jamin Pemerataan Akses.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *