
Mantan striker Tim Nasional Indonesia yang juga merupakan legenda hidup sepak bola Tanah Air, Cristian Gonzales, menyuarakan keprihatinan mendalamnya terkait regulasi baru yang mengizinkan setiap klub Liga 1 mengontrak hingga 11 pemain asing. El Loco, julukan akrabnya, menegaskan bahwa jumlah tersebut adalah "terlalu banyak" dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap perkembangan pemain lokal, khususnya generasi muda. Komentar tajam ini disampaikan Gonzales kepada pewarta di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, pada Selasa, 8 Juli 2025, menyoroti isu krusial menjelang bergulirnya musim kompetisi baru yang dijanjikan membawa banyak perubahan.
Perubahan regulasi ini bukan satu-satunya hal baru yang mengiringi kompetisi sepak bola Indonesia. Operator Liga juga dikabarkan berganti nama dari PT Liga Indonesia Baru menjadi I League, sebuah langkah yang diyakini bertujuan untuk merepresentasikan visi baru dalam pengelolaan kompetisi. Namun, di balik ambisi untuk meningkatkan kualitas dan daya tarik liga, kebijakan kuota pemain asing yang melonjak drastis ini justru menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pemerhati sepak bola, terutama mereka yang peduli terhadap nasib talenta lokal.
Menurut regulasi baru yang kontroversial ini, meskipun setiap klub diizinkan mengontrak 11 pemain asing, hanya delapan di antaranya yang boleh masuk daftar susunan pemain (DSP) dan diturunkan dalam satu pertandingan. Asal negara pemain asing pun tidak dibatasi, membuka pintu lebar-lebar bagi klub untuk merekrut talenta dari berbagai belahan dunia. Sekilas, kebijakan ini mungkin terlihat menarik untuk meningkatkan kualitas teknis dan taktikal liga, menarik lebih banyak penonton, serta meningkatkan nilai komersial. Namun, Gonzales, dengan pengalamannya yang kaya sebagai pemain asing yang kemudian dinaturalisasi dan membela Timnas Indonesia, melihat sisi gelap dari kebijakan tersebut.
El Loco, yang dikenal memiliki kedekatan dengan banyak pemain muda di berbagai tingkatan, mengungkapkan bahwa semangat bersaing di kalangan talenta lokal sudah mulai terkikis. Ia menceritakan hasil perbincangannya dengan beberapa pemain muda yang merasa mental mereka menurun dan tidak memiliki gairah untuk bersaing. "Bagus dan tidak bagus. Karena tadi bicara tentang mental, pasti pemain kita mentalnya menurun. Tapi bukan karena tahun ini, tahun kemarin saat delapan pemain asing," kata Cristian Gonzales, menggarisbawahi bahwa masalah mentalitas ini sudah muncul bahkan ketika kuota pemain asing masih delapan orang. Peningkatan menjadi 11 pemain asing, menurutnya, hanya akan memperparuk kondisi tersebut.
Para pemain muda yang ditemui Gonzales mengungkapkan rasa frustrasi mereka. "Saya bertemu dengan banyak pemain-pemain muda, mereka tidak punya semangat. Saya tanya mengapa? El Loco bagaimana, di tim 8 pemain asing, timnas semua pemain asing juga. Bagaimana? Itu masalah. Sekarang pemain-pemain nggak semangat," ujarnya, menirukan keluhan para pemain. Ini menunjukkan bahwa dampak psikologis dari persaingan yang tidak seimbang ini sangat nyata dan mendalam. Mereka merasa peluang untuk mendapatkan menit bermain, apalagi menembus tim utama, semakin tipis dengan kehadiran begitu banyak pemain asing berkualitas di setiap posisi.
Gonzales menekankan bahwa masalah ini adalah tentang mentalitas. "Tapi itu semuanya mental. Karena itu harus ada orang di dekat mereka, memberi suport, memberi semangat," katanya. Saran ini mengisyaratkan bahwa dukungan moral dan bimbingan dari figur-figur berpengalaman sangat dibutuhkan untuk menjaga semangat pemain lokal agar tidak padam. Namun, ia juga realistis bahwa dukungan saja tidak cukup jika akar masalahnya, yaitu kuota pemain asing yang berlebihan, tidak diatasi. "Kalau kita bicara tentang 11 (pemain asing), terlalu banyak. Pemain lokal di mana? Karena kita semua meminta pemain lokal diberi kesempatan masuk timnas. Tapi kalau 11 pemain (asing di Liga 1) susah," tegas Cristian Gonzales.
Komentar Gonzales ini membuka diskusi lebih luas mengenai keseimbangan antara peningkatan kualitas liga dan pengembangan pemain lokal. Memang, kehadiran pemain asing berkualitas dapat menjadi pemicu bagi pemain lokal untuk meningkatkan kemampuan mereka. Mereka bisa belajar dari profesionalisme, taktik, dan teknik pemain asing. Namun, ada batas di mana jumlah pemain asing justru menghambat, bukan memicu. Ketika porsi pemain lokal di tim inti semakin minim, kesempatan untuk mendapatkan pengalaman bermain di level tertinggi juga berkurang drastis. Pengalaman bermain yang konsisten adalah kunci utama bagi seorang pemain untuk berkembang, baik secara teknis, taktis, fisik, maupun mental.
Dampak paling signifikan dari regulasi ini dikhawatirkan akan terasa pada Tim Nasional Indonesia. Jika pemain lokal tidak mendapatkan menit bermain yang cukup di liga domestik, bagaimana mereka bisa mencapai level performa yang dibutuhkan untuk bersaing di kancah internasional? Kualitas Timnas sangat bergantung pada kualitas liga domestik yang menjadi kawah candradimuka bagi para pemainnya. Negara-negara sepak bola maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Thailand, memiliki regulasi pemain asing yang jauh lebih ketat dan terstruktur, dengan fokus kuat pada pengembangan talenta lokal.
Ambil contoh J.League di Jepang, salah satu liga terbaik di Asia. Regulasi pemain asing mereka cenderung konservatif, dengan batas maksimal 5 pemain asing per klub, termasuk satu pemain dari AFC (Asia Football Confederation) atau "partner nation" (negara yang memiliki perjanjian khusus). Batas ini dirancang untuk memastikan bahwa pemain lokal mendapatkan porsi bermain yang signifikan, sehingga kualitas Timnas Jepang tetap terjaga dan terus meningkat. Hasilnya terlihat jelas: Jepang adalah kekuatan dominan di Asia dan menjadi langganan Piala Dunia.
Demikian pula dengan K-League di Korea Selatan, yang umumnya membatasi empat pemain asing per klub, termasuk satu slot untuk pemain dari negara AFC. Kebijakan ini juga bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan talenta lokal, yang pada akhirnya berkontribusi pada kesuksesan Timnas Korea Selatan di panggung dunia. Bahkan di Asia Tenggara, Liga Thailand (Thai League 1) yang sering dianggap sebagai liga terkuat di kawasan ini, juga memiliki batasan pemain asing yang lebih moderat, biasanya 3+1 (tiga non-Asia dan satu Asia) atau 3+1+1 (tiga non-Asia, satu Asia, dan satu ASEAN), tergantung musimnya. Meskipun lebih longgar dari J.League atau K-League, tetap ada batasan yang jelas.
Bandingkan dengan regulasi 11 pemain asing yang diusung Liga 1. Dengan delapan pemain asing yang boleh diturunkan, itu berarti hanya tiga slot tersisa untuk pemain lokal di starting eleven. Jika satu slot diisi kiper, maka hanya dua pemain outfield lokal yang berkesempatan menjadi starter. Kondisi ini bisa membuat para pemain lokal, terutama yang berposisi di lini tengah atau depan, kesulitan menembus tim utama. Ini tidak hanya mengurangi kesempatan mereka untuk berkembang, tetapi juga dapat mematikan mimpi dan aspirasi banyak anak muda yang bercita-cita menjadi pesepak bola profesional.
Regulasi ini juga berpotensi memengaruhi strategi klub. Daripada berinvestasi besar pada akademi dan pengembangan pemain muda lokal yang membutuhkan waktu dan kesabaran, klub mungkin akan lebih memilih jalur instan dengan merekrut banyak pemain asing. Ini bisa menghemat waktu dan upaya dalam jangka pendek, tetapi akan merugikan ekosistem sepak bola Indonesia dalam jangka panjang. Biaya untuk merekrut dan menggaji 11 pemain asing tentu tidak sedikit, yang bisa saja dialokasikan untuk infrastruktur latihan, fasilitas pembinaan, atau gaji pelatih lokal berkualitas.
PSSI, sebagai federasi sepak bola tertinggi di Indonesia, serta operator liga, harus mempertimbangkan kembali kebijakan ini secara matang. Visi untuk meningkatkan kualitas liga memang penting, namun tidak boleh mengorbankan masa depan Tim Nasional dan pengembangan pemain lokal. Ada banyak cara untuk meningkatkan kualitas liga tanpa harus membanjiri dengan pemain asing. Misalnya, dengan meningkatkan kualitas wasit, memperbaiki jadwal pertandingan, meningkatkan fasilitas stadion, memperketat lisensi klub, dan yang terpenting, berinvestasi besar pada pembinaan usia dini dan kompetisi berjenjang yang berkualitas.
Solusi alternatif yang bisa dipertimbangkan antara lain adalah menerapkan batasan kuota pemain asing yang lebih ketat, misalnya kembali ke 3+1 atau 4+1 (empat non-Asia, satu Asia) seperti yang pernah diterapkan. Selain itu, bisa juga diberlakukan regulasi wajib memainkan pemain U-23 atau U-20 dalam setiap pertandingan untuk durasi waktu tertentu, seperti yang sudah diterapkan di beberapa liga di dunia. Insentif finansial juga bisa diberikan kepada klub-klub yang berhasil mencetak dan mengembangkan pemain lokal yang menembus Timnas.
Peran PSSI dalam hal ini sangat krusial. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam melindungi kepentingan sepak bola nasional dan talenta lokal. Kebijakan pemain asing harus diselaraskan dengan visi jangka panjang pengembangan sepak bola Indonesia, yang salah satunya adalah melahirkan pemain-pemain berkualitas tinggi untuk Tim Nasional yang mampu bersaing di kancah global.
Kecaman Cristian Gonzales ini bukan sekadar keluhan seorang mantan pemain, melainkan peringatan serius dari seorang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk sepak bola Indonesia. Suaranya adalah representasi kekhawatiran banyak pihak yang peduli terhadap nasib talenta lokal dan masa depan Timnas. Jika regulasi 11 pemain asing ini tetap dipertahankan, dikhawatirkan mimpi Indonesia untuk menjadi kekuatan sepak bola yang disegani di Asia, apalagi dunia, akan semakin jauh dari kenyataan. Mentalitas pemain lokal yang rapuh karena minimnya kesempatan bermain adalah bom waktu yang bisa meledak dan menghancurkan fondasi sepak bola nasional dari dalam. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemangku kepentingan untuk mendengarkan masukan dari para legenda dan membuat keputusan yang benar-benar berpihak pada kemajuan sepak bola Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.
