
Keputusan mengejutkan datang dari Nyon, Swiss, markas besar UEFA, pada Jumat malam (11/7/2025). Crystal Palace, yang sejatinya berhak melaju ke Liga Europa 2025/2026 berkat gelar juara Piala FA mereka, harus menelan pil pahit. The Eagles secara resmi dicoret dari daftar peserta kompetisi kasta kedua Eropa tersebut dan, sebagai gantinya, terpaksa turun kasta ke Europa Conference League. Sebuah pukulan telak bagi ambisi klub London Selatan itu, yang selama ini mendambakan kesempatan untuk bersaing di panggung Eropa yang lebih prestisius.
Pencoretan ini bukanlah tanpa alasan. UEFA mengumumkan bahwa keputusan tersebut diambil setelah melalui pertimbangan yang sangat matang, berpusat pada isu dualisme kepemilikan saham yang melibatkan Crystal Palace dan raksasa Prancis, Olympique Lyon. Kedua klub tersebut kebetulan sama-sama berada di bawah kendali seorang pebisnis Amerika Serikat yang berpengaruh, John Textor. Menurut regulasi ketat UEFA, apabila ada dua klub yang memiliki pemilik yang sama, mereka tidak dapat berkompetisi di turnamen yang sama. Aturan ini diterapkan untuk menjaga integritas kompetisi, menghindari potensi konflik kepentingan, dan mencegah manipulasi hasil pertandingan yang dapat merusak sportivitas olahraga.
Prinsip dasar di balik regulasi ini sangat jelas: setiap klub yang berpartisipasi dalam kompetisi UEFA harus beroperasi secara independen dari klub lain yang juga berpartisipasi, terutama jika ada kepentingan finansial atau operasional yang tumpang tindih. UEFA khawatir bahwa kepemilikan ganda dapat menciptakan situasi di mana satu pemilik mungkin membuat keputusan yang menguntungkan salah satu klubnya di atas yang lain, atau bahkan mengatur pertandingan untuk kepentingan tertentu. Ini adalah fondasi etika yang dijunjung tinggi oleh badan sepak bola Eropa tersebut.
John Textor sendiri adalah figur sentral dalam drama ini. Sebagai CEO Eagle Football Holdings, Textor telah membangun sebuah portofolio klub sepak bola global. Selain Crystal Palace dan Olympique Lyon, imperium sepak bolanya juga mencakup klub Brasil Botafogo dan klub Belgia RWD Molenbeek. Model bisnis multi-klub semacam ini memang sedang tren di sepak bola modern, dengan janji sinergi dalam pengembangan pemain, ekspansi merek global, dan efisiensi operasional. Namun, kasus Crystal Palace ini menjadi bukti nyata bahwa model tersebut juga datang dengan tantangan regulasi yang kompleks, terutama ketika menyangkut kompetisi antar-klub di bawah payung UEFA.
Sejatinya, UEFA telah memberikan tenggat waktu yang cukup kepada Crystal Palace untuk membuktikan bahwa John Textor tidak lagi memiliki kendali signifikan atas klub tersebut. Batas waktu yang ditetapkan adalah 1 Maret 2025. Palace diwajibkan untuk menunjukkan divestasi saham yang jelas dan tidak ambigu guna mematuhi regulasi "integritas kompetisi" UEFA. Sayangnya, menurut penilaian UEFA, Crystal Palace dinilai gagal memenuhi persyaratan tersebut sepenuhnya, sehingga sanksi penurunan kasta menjadi tak terhindarkan.
Upaya Crystal Palace untuk mematuhi aturan UEFA sebenarnya patut diacungi jempol. John Textor, dalam langkah yang dianggap strategis untuk menyelamatkan partisipasi Palace di Liga Europa, telah sepakat untuk melepas 42 persen sahamnya di klub kepada pengusaha Amerika Serikat lainnya, Woody Johnson. Johnson sendiri bukan nama asing di dunia bisnis dan politik Amerika; ia adalah seorang miliarder, pewaris dinasti Johnson & Johnson, dan mantan Duta Besar AS untuk Inggris di bawah pemerintahan Donald Trump. Kesepakatan ini diharapkan dapat memuluskan jalan Palace ke kompetisi Eropa dengan menunjukkan bahwa Textor tidak lagi memiliki kendali mayoritas atau signifikan.
Namun, di sinilah letak kerumitan masalahnya. Akuisisi saham oleh Woody Johnson, meskipun sudah disepakati, dinilai belum "resmi" oleh UEFA. Pasalnya, proses akuisisi tersebut masih dalam tahap analisis dan persetujuan oleh Premier League, liga domestik Inggris. Proses persetujuan oleh Premier League ini dikenal sangat ketat dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, diperkirakan memakan waktu hingga dua bulan untuk meninjau semua aspek hukum dan finansial. Karena proses tersebut belum tuntas pada batas waktu 1 Maret 2025 yang ditetapkan UEFA, badan sepak bola Eropa itu berpegang teguh pada aturan bahwa kepemilikan Textor masih dianggap berlaku secara efektif.
UEFA berargumen bahwa mereka tidak bisa menunda keputusan berdasarkan potensi persetujuan di masa depan. Integritas kompetisi dan kepastian jadwal adalah prioritas utama. Oleh karena itu, dengan status kepemilikan yang belum sepenuhnya terpisah secara resmi dari Textor pada tenggat waktu yang ditentukan, Palace dianggap tidak memenuhi syarat.
Lalu, mengapa Olympique Lyon yang dipilih untuk tetap berada di Liga Europa, bukan Crystal Palace? Jawabannya terletak pada performa mereka di liga domestik masing-masing. Meskipun Palace berhasil menjuarai Piala FA, sebuah pencapaian bersejarah yang membuka jalur Eropa bagi mereka, posisi mereka di Premier League musim lalu hanya finis di peringkat ke-12. Di sisi lain, Olympique Lyon berhasil finis di posisi keenam Ligue 1 Prancis, sebuah posisi yang secara otomatis memberikan mereka tiket ke Liga Europa. UEFA menerapkan prinsip bahwa jika ada dua klub dengan kepemilikan yang sama dan keduanya berhak atas kompetisi Eropa, maka klub dengan performa liga yang lebih baik (finis lebih tinggi) yang akan diprioritaskan untuk kompetisi yang lebih tinggi. Ini menjadi penyelamat bagi Lyon, yang sebelumnya juga sempat berjuang lolos dari degradasi ke Ligue 2 karena masalah keuangan internal mereka. Keputusan UEFA ini sekaligus memberikan angin segar bagi klub Prancis tersebut, memastikan mereka tetap berkompetisi di kancah Eropa meskipun dengan sedikit drama.
Dampak domino dari keputusan ini tidak hanya dirasakan oleh Crystal Palace dan Lyon. Tiket Liga Europa yang seharusnya menjadi milik Palace kini dialihkan kepada Nottingham Forest. Forest, yang finis di posisi ketujuh Premier League musim lalu, awalnya dijadwalkan untuk berkompetisi di Europa Conference League. Dengan adanya perubahan ini, mereka secara tak terduga "naik kelas" ke Liga Europa, sebuah keuntungan besar baik dari segi prestise maupun finansial. Ini menjadi kejutan manis bagi Forest, yang musim lalu menunjukkan peningkatan performa signifikan. Sementara itu, satu wakil Inggris lainnya di Liga Europa tetaplah Aston Villa, yang berhasil mengamankan posisi keenam di Premier League, menunjukkan konsistensi mereka di bawah manajer Unai Emery.
Tentu saja, Crystal Palace tidak tinggal diam menerima keputusan pahit ini. Dikutip dari laporan The Athletic, manajemen Palace dikabarkan akan segera mengajukan banding resmi ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) yang berlokasi di Lausanne, Swiss. CAS adalah badan independen yang berfungsi sebagai mahkamah agung di dunia olahraga, menangani perselisihan hukum terkait olahraga. Palace akan berargumen bahwa mereka telah berusaha keras untuk mematuhi aturan UEFA, dan bahwa penundaan persetujuan oleh Premier League bukanlah kesalahan mereka. Mereka mungkin akan menyoroti fakta bahwa kesepakatan divestasi saham Textor kepada Woody Johnson adalah niat baik yang nyata untuk memenuhi persyaratan, dan bahwa hukuman penurunan kasta ini terlalu berat mengingat upaya yang telah dilakukan.
Banding ke CAS akan menjadi pertarungan hukum yang sengit. Palace harus membuktikan bahwa UEFA telah melakukan kesalahan dalam interpretasi atau penerapan regulasinya, atau bahwa keputusan tersebut tidak proporsional. Di sisi lain, UEFA akan membela keputusannya dengan argumen bahwa aturan harus ditegakkan secara konsisten demi menjaga kredibilitas kompetisi. Mereka kemungkinan akan menekankan bahwa tenggat waktu 1 Maret 2025 adalah batas yang jelas, dan setiap penundaan di luar kendali mereka tidak dapat menjadi alasan untuk mengesampingkan aturan yang berlaku untuk semua klub. Hasil dari banding ini akan sangat dinantikan, tidak hanya oleh Crystal Palace dan penggemarnya, tetapi juga oleh klub-klub lain yang memiliki struktur kepemilikan multi-klub, karena ini bisa menjadi preseden penting untuk masa depan sepak bola Eropa.
Kasus Crystal Palace ini menyoroti kompleksitas yang semakin meningkat dalam dunia sepak bola modern, di mana model kepemilikan multi-klub dan investasi global berbenturan dengan regulasi ketat yang dirancang untuk menjaga integritas dan keadilan kompetisi. Bagi Crystal Palace, ini adalah momen yang pahit; mimpi Liga Europa yang sudah di depan mata harus pupus, digantikan oleh kenyataan pahit bermain di kasta ketiga Eropa. Namun, ini juga bisa menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kepatuhan regulasi yang ketat dan tantangan yang dihadapi oleh klub-klub dalam menavigasi lanskap keuangan dan hukum sepak bola internasional yang terus berubah.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4687472/original/064088000_1702629185-Liga_Inggris_-_Man_City_Vs_Crystal_Palace_copy.jpg)