
Kedatangan Jose Mourinho ke kancah sepak bola Turki sebagai pelatih kepala Fenerbahce pada musim panas 2024 bukan hanya membawa ekspektasi tinggi terhadap prestasi klub, tetapi juga secara tak terduga memicu gelombang reformasi besar-besaran di tubuh perwasitan domestik. Sosok "The Special One" yang dikenal dengan segala kontroversinya, termasuk kecenderungannya untuk mengkritik dan menyerang wasit, kini justru menjadi katalisator bagi upaya bersih-bersih yang dicanangkan Federasi Sepak Bola Turki (TFF).
Mourinho, dengan segudang pengalaman dan gelar juara di berbagai liga top Eropa—mulai dari Porto, Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, hingga AS Roma—tiba di Istanbul dengan sambutan meriah layaknya seorang penyelamat. Para penggemar Fenerbahce, yang sudah lama haus akan gelar juara Super Lig, melihat Mourinho sebagai jawaban atas penantian panjang mereka. Klub yang bermarkas di Kadıköy ini terakhir kali merasakan manisnya gelar liga pada musim 2013/2014. Oleh karena itu, penunjukan Mourinho dengan kontrak yang akan berakhir pada musim panas 2026, memicu optimisme yang meluap-luap.
Namun, musim perdana Mourinho di Fenerbahce tidak berakhir sesuai harapan. Meskipun ia berhasil membawa tim finis sebagai runner-up, di bawah rival abadi Galatasaray, hasil tersebut tetap dianggap kurang memuaskan mengingat investasi besar dan reputasi pelatih sekaliber dirinya. Di tengah perjuangan merebut gelar, Mourinho justru lebih sering menjadi sorotan karena drama di luar lapangan, terutama terkait hubungannya yang tegang dengan para pengadil lapangan hijau.
Sejatinya, konflik Mourinho dengan wasit bukanlah hal baru. Sepanjang kariernya, ia dikenal sebagai manajer yang tidak segan melontarkan kritik pedas, sindiran tajam, bahkan tuduhan langsung terhadap wasit yang dinilainya merugikan timnya. Sebut saja insiden "roulette" di Chelsea, tudingan konspirasi melawan Barcelona saat melatih Real Madrid, atau konferensi pers ikonik di Inter Milan yang menuntut "rasa hormat" dari media dan wasit. Bagi Mourinho, ini adalah bagian dari taktik psikologisnya untuk melindungi tim, mengalihkan tekanan, atau bahkan mencoba memengaruhi keputusan di pertandingan berikutnya. Pendekatan ini, yang sering kali berujung pada teguran, denda, hingga skorsing, kini terulang di tanah Turki dengan intensitas yang tak kalah sengit.
Di Super Lig Turki, Mourinho beberapa kali kedapatan menyindir wasit secara terbuka, mengeluhkan keputusan-keputusan yang menurutnya tidak adil dan merugikan Fenerbahce. Salah satu insiden paling mencolok dan menjadi viral adalah ketika Mourinho secara demonstratif meletakkan laptop di depan kamera saat konferensi pers pasca-pertandingan. Laptop itu menampilkan tayangan ulang momen gol Edin Dzeko yang dianulir karena dianggap offside. Melalui tayangan lambat yang jelas terlihat di layar, Mourinho berusaha membuktikan bahwa posisi Dzeko sebenarnya onside, sehingga keputusan wasit adalah sebuah kesalahan fatal yang merugikan timnya. Aksi tersebut bukan hanya menarik perhatian media internasional, tetapi juga memperjelas tingkat frustrasi Mourinho terhadap standar perwasitan di liga Turki.
Kritik Mourinho yang vokal dan tanpa tedeng aling-aling ini, ditambah dengan reputasi Super Lig yang memang kerap diwarnai kontroversi perwasitan, akhirnya memicu reaksi dari pucuk pimpinan federasi. Presiden Federasi Sepak Bola Turki (TFF), Ibrahim Haciosmanoglu, secara terang-terangan mengakui bahwa suara-suara sumbang, termasuk keluhan Mourinho, tidak bisa diabaikan. Haciosmanoglu, yang tampaknya bertekad untuk memperbaiki citra dan integritas liga, mengumumkan sebuah inisiatif ambisius untuk melakukan "bersih-bersih" total di jajaran wasit.
Dalam pernyataannya yang dilansir dari Tribuna, Haciosmanoglu menegaskan komitmennya untuk memastikan keadilan dan transparansi di musim mendatang. "Saya yakin, wasit bisa menghindari kesalahan yang disengaja di musim depan. Mereka yang tidak mampu melakukannya, akan segera dikeluarkan dari kompetisi," tegasnya dengan nada lugas. Pernyataan ini sangat signifikan karena secara implisit menyiratkan bahwa ada kemungkinan "kesalahan yang disengaja" atau keberpihakan yang selama ini mewarnai keputusan wasit. Hal ini tentu saja menjadi pengakuan yang cukup berani dari seorang pemimpin federasi.
Lebih lanjut, Haciosmanoglu juga menyerukan adanya kerja sama yang erat antara federasi dengan klub-klub peserta liga. Ia mengusulkan pembentukan dewan penasihat yang melibatkan perwakilan dari berbagai pihak, dengan harapan dapat menciptakan sistem pengawasan dan evaluasi yang lebih komprehensif. "Kami berharap ada kerja sama dengan pihak-pihak klub dan mengusulkan dewan penasihat. Supaya, tidak ada lagi keputusan yang memberatkan salah satu tim di liga musim depan. Mari kita semua menanganinya bersama-sama," tambahnya. Pendekatan kolaboratif ini menunjukkan keinginan untuk membangun ekosistem sepak bola yang lebih sehat, di mana semua pihak merasa didengarkan dan memiliki andil dalam menciptakan keadilan.
Fenomena perwasitan kontroversial di Super Lig bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun, liga Turki kerap dihantui oleh tudingan ketidakadilan, intervensi politik, hingga dugaan korupsi dalam pengambilan keputusan wasit. Hal ini sering kali memicu protes keras dari klub-klub, aksi boikot, hingga bahkan insiden kekerasan di lapangan. Atmosfer pertandingan yang sangat emosional dan tekanan dari penggemar yang fanatik seringkali disebut-sebut sebagai faktor yang memengaruhi kinerja wasit. Reputasi ini telah lama menjadi ganjalan bagi Super Lig untuk sepenuhnya diakui sebagai salah satu liga top Eropa yang kompetitif dan bersih. Oleh karena itu, intervensi Mourinho, meskipun kontroversial, justru datang pada waktu yang tepat untuk memaksa federasi mengambil tindakan konkret.
Program "bersih-bersih" yang dicanangkan TFF diprediksi akan mencakup berbagai langkah, mulai dari evaluasi kinerja yang lebih ketat, pelatihan ulang bagi wasit, hingga kemungkinan penerapan teknologi pendukung yang lebih canggih. Proses identifikasi "wasit yang tidak mampu" atau yang terbukti melakukan "kesalahan disengaja" tentu akan menjadi tantangan tersendiri, mengingat sensitivitas profesi dan potensi resistensi dari internal perwasitan. Kehadiran dewan penasihat yang melibatkan klub diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih luas dan memastikan objektivitas dalam setiap keputusan yang diambil terkait nasib wasit.
Dengan janji reformasi yang begitu kuat, seluruh mata kini tertuju pada Super Lig musim 2025/2026 yang dijadwalkan akan dimulai pada 10 Agustus. Akankah liga Turki benar-benar menjadi ajang yang lebih adil dan transparan? Akankah keluhan-keluhan Mourinho berkurang seiring dengan peningkatan kualitas perwasitan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi penentu apakah reformasi yang dicanangkan Haciosmanoglu ini berhasil mengubah citra sepak bola Turki di mata dunia. Jika berhasil, ini akan menjadi warisan tak terduga dari kedatangan Jose Mourinho, seorang pelatih yang mungkin tidak memenangkan gelar di musim pertamanya, tetapi justru memicu perubahan fundamental demi masa depan sepak bola Turki yang lebih baik.