
Di tengah lanskap ekonomi global yang terus berubah, di mana pekerjaan tradisional semakin ditantang oleh model-model baru, profesi pengemudi berbasis aplikasi atau "driver" dalam ekonomi gig telah menjadi fenomena yang menarik perhatian. Umumnya, profesi ini sering dikaitkan dengan pendapatan yang fluktuatif dan tantangan operasional yang tidak sedikit. Namun, di Singapura, sebuah kisah mengejutkan muncul dari seorang pengemudi Grab yang mampu meraup penghasilan puluhan juta rupiah dalam sebulan, jauh melampaui ekspektasi banyak pihak, bahkan di negara dengan biaya hidup yang tinggi sekalian. Afiq Zayany, seorang warga Singapura, telah membuktikan bahwa dengan strategi dan dedikasi yang tepat, menjadi pengemudi Grab bisa menjadi sumber pendapatan yang sangat menguntungkan, bahkan memungkinkan gaya hidup yang cukup mewah.
Berbeda dengan Indonesia, di mana populasi pengemudi Grab sangat masif dan persaingan ketat seringkali memangkas margin keuntungan, pasar Singapura menawarkan dinamika yang berbeda. Meskipun jumlah pengemudi mungkin tidak sebanyak di negara tetangga, nilai tukar mata uang yang kuat, daya beli masyarakat yang tinggi, serta struktur tarif yang mungkin lebih menguntungkan, berkontribusi pada potensi penghasilan yang jauh lebih besar. Afiq Zayany menjadi contoh nyata dari potensi ini. Ia secara terbuka mengungkapkan bahwa penghasilannya sebagai pengemudi Grab bisa mencapai 6.000 Dolar Singapura (SGD) per bulan, sebuah angka yang setara dengan sekitar Rp 76 juta. Angka ini, menurut Afiq, murni berasal dari orderan Grab, tanpa tambahan dari sumber penghasilan lain.
Klaim Afiq yang fantastis ini tentu saja memicu keraguan di kalangan publik setempat. Dalam sebuah video yang viral dan dikutip oleh MothershipSG pada Jumat, 4 Juli (kemungkinan tahun 2025, mengacu pada tanggal rilis berita asli yang futuristik, namun konteksnya relevan untuk saat ini), Afiq dengan tegas menjawab keraguan tersebut. "Beneran nih? Ya beneran dong, aku bisa dapet 4-6 ribu SGD hanya sebagai driver Grab," ujarnya, seraya membeberkan detail penghasilannya lengkap dengan bukti transaksi dan riwayat pekerjaan.
Secara rinci, Afiq memaparkan bagaimana ia mencapai angka tersebut. Ia mengaku bekerja sekitar enam hingga tujuh jam per hari, sebuah durasi yang relatif standar jika dibandingkan dengan jam kerja kantoran pada umumnya. Dalam durasi tersebut, ia mampu menyelesaikan rata-rata 25 pengantaran atau orderan setiap hari. Dari jumlah orderan tersebut, Afiq rata-rata bisa mengantongi sekitar 200 SGD per hari, yang jika dikonversi ke Rupiah mencapai nyaris Rp 3 juta. Angka harian ini sendiri sudah menunjukkan potensi penghasilan yang luar biasa.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, Afiq juga membagikan data penghasilannya per minggu. Pada bulan Mei, misalnya, ia berhasil menghasilkan 1.283 SGD atau sekitar Rp 16,3 juta sebelum insentif. Ini adalah pendapatan kotor dari tarif perjalanan semata. Namun, seperti banyak platform gig economy, Grab juga menawarkan insentif tambahan bagi pengemudi yang mencapai target tertentu. Dengan insentif ini, Afiq bisa mendapat tambahan 150 SGD (sekitar Rp 2 juta) jika ia berhasil menuntaskan 180 orderan dalam seminggu. Ini menunjukkan bahwa strategi dan efisiensi dalam mengambil orderan sangat berperan dalam memaksimalkan penghasilan. Dengan perhitungan matematis sederhana, jika Afiq bekerja setiap hari dalam sebulan penuh dengan performa optimalnya, pendapatannya memang bisa menembus angka 6.000 SGD, bahkan mendekati 7.000 SGD jika ia bekerja tanpa libur sama sekali.
Namun, Afiq juga realistis. Ia mengakui bahwa angka 6.000 SGD bukanlah pendapatan yang selalu konsisten setiap bulan. "Aku sudah kerja (sebagai driver Grab) selama dua sampai tiga tahun. Tapi aku nggak bisa bilang aku selalu dapat 6 ribu SGD secara konsisten," tuturnya. Faktor seperti jam kerja, ketersediaan orderan, hingga keputusan untuk mengambil libur sangat memengaruhi pendapatan bulanan. "Kalau aku ambil libur seminggu, (aku dapat sekitar) 4 ribu SGD. Kalau aku kerja 7 hari penuh selama sebulan, bahkan bisa mendekati 7 ribu SGD," tambahnya. Ini menggarisbawahi sifat fleksibel namun juga fluktuatif dari pekerjaan di ekonomi gig; semakin keras dan konsisten seseorang bekerja, semakin besar pula potensi penghasilannya.
Kerja keras dan dedikasi Afiq tidak hanya tercermin dari angka-angka fantastis di laporan keuangannya, tetapi juga dari gaya hidup yang kini bisa ia nikmati. Bersama istrinya, Afiq kini tinggal di sebuah vila dua lantai yang berlokasi di Johor Bahru, Malaysia. Hunian mewah ini memiliki harga sekitar 424.600 SGD, atau setara dengan Rp 5,4 miliar, dan berdiri di kawasan lapangan golf yang asri. Pilihan untuk tinggal di Johor Bahru, meskipun Afiq bekerja di Singapura, adalah keputusan strategis yang diambil banyak warga Singapura atau pekerja di sana. Biaya hidup di Malaysia, terutama harga properti, jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan Singapura yang terkenal sebagai salah satu kota termahal di dunia. Dengan pendapatan tinggi dari Singapura dan pengeluaran yang lebih rendah di Malaysia, Afiq mampu mencapai kualitas hidup yang lebih baik, termasuk memiliki properti mewah yang mungkin sulit dijangkau jika ia memilih tinggal di Singapura.
Meskipun harus menyeberangi perbatasan antara Malaysia dan Singapura setiap hari, yang dikenal dengan kemacetan lalu lintasnya, Afiq mengaku pindah ke Johor Bahru membuatnya merasa lebih bahagia. Tantangan perjalanan harian yang panjang dan melelahkan, serta prosedur imigrasi yang kadang memakan waktu, dianggap sepadan dengan kenyamanan dan kebahagiaan yang ia dapatkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Ini menunjukkan bahwa bagi Afiq, nilai sebuah pekerjaan tidak hanya diukur dari besaran gaji, tetapi juga dari kualitas hidup yang bisa dicapai.
Namun, di balik kisah sukses dan angka-angka yang memukau, Afiq tetap realistis menanggapi profesinya sebagai pekerja platform. Ia menyadari bahwa meskipun ada banyak keuntungan, ada pula sisi lain dari pekerjaan di ekonomi gig yang perlu dipertimbangkan. "Gajinya lumayan dan fleksibilitasnya bagus," ujarnya, mengakui dua daya tarik utama dari profesi ini. Fleksibilitas waktu memungkinkan Afiq mengatur jadwal kerjanya sendiri, memberikan kebebasan yang tidak ditemukan dalam pekerjaan kantoran tradisional. Ini adalah salah satu alasan mengapa banyak individu beralih ke ekonomi gig.
Kendati demikian, Afiq juga menyoroti kekurangan fundamental dari profesi ini. "Namun kenyataannya tidak ada perkembangan karier dan Anda harus mengambil risiko setiap hari," katanya. Poin "tidak ada perkembangan karier" adalah kekhawatiran yang valid bagi banyak pekerja di ekonomi gig. Tidak seperti pekerjaan tradisional yang menawarkan jenjang karier, pelatihan, kenaikan pangkat, dan pengembangan keterampilan yang terstruktur, pekerjaan sebagai pengemudi platform cenderung stagnan dalam hal profesionalisme. Seorang pengemudi Grab hari ini akan tetap menjadi pengemudi Grab lima atau sepuluh tahun ke depan, tanpa ada promosi jabatan atau peningkatan tanggung jawab yang signifikan dalam struktur perusahaan. Ini juga berarti minimnya peluang untuk mengembangkan keterampilan yang bisa diterapkan di luar platform tersebut.
Selain itu, "risiko setiap hari" adalah aspek yang tidak bisa diabaikan. Risiko ini mencakup berbagai hal, mulai dari kecelakaan lalu lintas, biaya perawatan kendaraan yang terus-menerus, harga bahan bakar yang fluktuatif, hingga persaingan antar pengemudi yang dapat memengaruhi ketersediaan orderan dan pendapatan. Pekerja gig juga seringkali tidak mendapatkan tunjangan seperti asuransi kesehatan, dana pensiun, cuti berbayar, atau jaminan sosial lainnya yang umumnya dinikmati oleh karyawan tetap. Mereka adalah "pengusaha mikro" yang menanggung semua risiko operasional dan finansial sendiri, tanpa jaring pengaman yang kuat. Ketergantungan pada algoritma platform dan kebijakan perusahaan yang bisa berubah sewaktu-waktu juga menambah ketidakpastian.
Jika dibandingkan dengan kondisi pengemudi Grab di Indonesia, perbedaan ini semakin kentara. Di Indonesia, meskipun jumlah pengemudi sangat banyak, rata-rata pendapatan harian atau bulanan mereka jauh di bawah standar Afiq di Singapura. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: nilai tukar Rupiah yang lebih rendah, biaya hidup di Indonesia yang secara umum lebih rendah sehingga tarif layanan transportasi juga disesuaikan, persaingan yang sangat ketat di antara jutaan pengemudi, serta struktur insentif dan potongan komisi dari platform yang mungkin berbeda. Bagi banyak pengemudi di Indonesia, menjadi driver Grab seringkali merupakan pilihan terakhir atau pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan dasar, bukan sebagai jalan menuju kemapanan finansial yang signifikan. Kondisi kendaraan yang beragam, mulai dari sepeda motor hingga mobil, juga memengaruhi potensi pendapatan dan pengeluaran operasional.
Kisah Afiq Zayany di Singapura adalah sebuah ilustrasi yang kuat tentang dualitas ekonomi gig. Di satu sisi, ia menawarkan peluang luar biasa untuk mencapai kebebasan finansial dan fleksibilitas bagi individu yang bersedia bekerja keras dan beradaptasi dengan model kerja yang tidak konvensional. Di sisi lain, ia juga menyoroti tantangan mendasar terkait kurangnya stabilitas karier, minimnya jaminan sosial, dan risiko harian yang harus ditanggung sepenuhnya oleh pekerja. Kisah ini menjadi cerminan bagaimana globalisasi dan teknologi telah menciptakan model-model pekerjaan baru yang menuntut adaptasi baik dari pekerja maupun pembuat kebijakan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua pihak dalam ekosistem ekonomi yang terus berkembang ini. Afiq Zayany adalah bukti bahwa di tengah ketidakpastian, peluang besar masih bisa ditemukan, asalkan seseorang memahami medan pertempuran dan siap menghadapi segala risikonya.