Fatwa Haram Sound Horeg dan Tantangan Regulasi Truk ODOL: Sebuah Analisis Mendalam Dampak Sosial dan Transportasi

Fatwa Haram Sound Horeg dan Tantangan Regulasi Truk ODOL: Sebuah Analisis Mendalam Dampak Sosial dan Transportasi

Jakarta – Fenomena ‘sound horeg’, iringan musik berkapasitas raksasa yang seringkali diangkut menggunakan truk modifikasi, kini menghadapi sorotan tajam dari berbagai sudut, mulai dari fatwa keagamaan hingga kekhawatiran atas keselamatan transportasi dan dampak sosial. Terkini, Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, secara tegas menetapkan ‘sound horeg’ sebagai haram. Keputusan ini, yang diumumkan melalui forum Bahtsul Masail bertepatan dengan tahun baru Islam, didasari pada pertimbangan mendalam mengenai gangguan yang ditimbulkannya terhadap masyarakat luas. Di sisi lain, dari perspektif transportasi, praktik penggunaan truk pembawa ‘sound horeg’ seringkali menyalahi aturan dimensi dan muatan (Over Dimension Over Loading/ODOL) yang ditetapkan pemerintah, menimbulkan pertanyaan serius tentang kepatuhan regulasi dan dampaknya terhadap infrastruktur jalan.

Pengamat transportasi terkemuka, Djoko Setijowarno, memberikan pandangannya terkait isu ini. Menurut Djoko, keberadaan truk pembawa ‘sound horeg’ yang acapkali memiliki kelebihan dimensi sebenarnya masih bisa dimaklumi jika hanya melewati jalanan di desa-desa yang cenderung sepi dan tidak memiliki lalu lintas padat. Namun, Djoko menekankan bahwa dalam perkembangannya, tradisi ‘sound horeg’ ini malah membawa lebih banyak dampak negatif ketimbang hal positif. "Sampai ada fatwa haram (sound horeg) dari Ponpes di Jawa Timur, itu kan artinya (sound horeg) sudah dianggap sebagai hal yang berlebihan juga memprihatinkan," ujar Djoko melalui sambungan telepon kepada detikOto, Senin (14/7/2025). Ia menyoroti bagaimana properti warga dan infrastruktur publik seringkali menjadi korban, dirusak hanya demi supaya truk ‘sound horeg’ yang berdimensi jumbo itu bisa lewat. "Misal, rumah masyarakat, jembatan, sampai gapura, itu dirusak demi truk sound horeg yang berdimensi besar itu bisa lewat. Belum lagi suara yang dihasilkan sound horeg tentu juga akan mengganggu warga yang punya anak kecil dan warga yang sedang sakit," tambahnya, menggambarkan rentetan dampak negatif yang meluas.

Fenomena ‘sound horeg’ sendiri merujuk pada instalasi sistem suara yang sangat besar dan kuat, seringkali dimodifikasi secara ekstrem pada kendaraan, khususnya truk, untuk menghasilkan volume suara yang sangat tinggi dengan penekanan pada frekuensi rendah (bass) yang menggelegar. Popularitasnya meningkat pesat di berbagai daerah, terutama dalam acara karnaval desa, pawai budaya, atau perayaan tertentu, yang menawarkan tontonan dan hiburan yang masif. Namun, skala dan intensitasnya telah mencapai titik di mana manfaat hiburannya tergerus oleh kerugian yang ditimbulkannya.

Baca Juga:

Djoko juga menilai bahwa tren ‘sound horeg’ ini hanya memanfaatkan situasi masyarakat yang butuh hiburan. "Ini hanya memanfaatkan situasi masyarakat kita yang sedang butuh hiburan untuk menghilangkan stres dan sebagainya. Terlepas dari itu, kalau (truk-truk sound horeg) itu di jalan umum sebenarnya ya nggak boleh lewat ya," tegas Djoko, menyoroti celah regulasi dan penegakan hukum yang ada. Ia menekankan bahwa meskipun tujuan awalnya mungkin untuk hiburan, praktik yang melanggar aturan dan merugikan publik harus dibatasi.

Dari sisi keagamaan, fatwa haram yang dikeluarkan oleh Forum Satu Muharram 1447 Hijriah Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, merupakan titik balik penting. Diberitakan detikJatim sebelumnya, keputusan ini dihasilkan melalui forum Bahtsul Masail, sebuah forum pembahasan masalah keagamaan kontemporer yang melibatkan para ulama dan ahli fikih. Pengasuh Ponpes Besuk KH Muhibbul Aman Aly menjelaskan bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata karena bisingnya suara, melainkan karena konteks dan dampak sosial yang melekat pada praktik ‘sound horeg’ itu sendiri. "Kami putuskan perumusan dengan tidak hanya mempertimbangkan aspek dampak suara, tapi juga mempertimbangkan mulazimnya disebut dengan sound horeg bukan sound system," ujar Kiai Muhib, dikutip dari Instagram @ajir_ubaidillah, Senin (30/6/2025). Istilah "mulazimnya" merujuk pada konsekuensi inheren atau karakter melekat dari ‘sound horeg’ itu sendiri, yang secara fundamental berbeda dari sekadar "sound system" biasa.

Kiai Muhib menjelaskan lebih lanjut bahwa "sound system" umumnya digunakan untuk keperluan yang wajar dan proporsional, seperti pengajian, konser musik yang terorganisir, atau acara yang tidak menimbulkan gangguan berlebihan. Sementara itu, "sound horeg" secara konotasi dan praktiknya telah diasosiasikan dengan volume suara yang ekstrem, getaran yang merusak, dan seringkali mengabaikan norma ketertiban umum. "Kalau begitu, maka hukumnya lepas dari tafsir itu sudah, di mana pun tempatnya dilaksanakan, mengganggu atau tidak mengganggu, maka hukumnya adalah haram," lanjutnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa larangan tersebut bersifat mutlak, tidak tergantung pada lokasi atau tingkat gangguan yang dirasakan pada saat tertentu, melainkan pada esensi dari fenomena ‘sound horeg’ itu sendiri yang dianggap secara intrinsik membawa kerusakan (mafsadat) dan mengabaikan kemaslahatan umum.

Lebih jauh, Kiai Muhib menegaskan bahwa fatwa haram ini berlaku independen dari ada atau tidaknya larangan dari pemerintah. "Ada atau tidak ada larangan pemerintah, sehingga hukum (haram) itu berdiri sendiri sudah, bisa dipahami nggih?" tambahnya. Ini menunjukkan bahwa dasar hukum Islam untuk pelarangan ‘sound horeg’ didasarkan pada prinsip-prinsip syariah tentang menjaga ketertiban, mencegah kemudaratan, dan melindungi hak-hak masyarakat, bukan semata-mata mengikuti regulasi negara. Fatwa ini diharapkan dapat memberikan panduan moral dan etika bagi masyarakat Muslim untuk menjauhi praktik yang merugikan tersebut.

Dari perspektif transportasi, masalah Over Dimension Over Loading (ODOL) pada truk ‘sound horeg’ adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Truk yang dimodifikasi secara ekstrem untuk mengangkut speaker raksasa seringkali melebihi batas dimensi panjang, lebar, dan tinggi yang diizinkan, serta melebihi kapasitas muatan sumbu dan berat bruto kendaraan. Pelanggaran ODOL ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga berimplikasi langsung pada keselamatan lalu lintas dan kerusakan infrastruktur.

Truk ODOL memiliki risiko kecelakaan yang jauh lebih tinggi karena stabilitasnya terganggu, jarak pengereman yang lebih panjang, dan kesulitan bermanuver, terutama di jalanan sempit atau berliku. Selain itu, beban berlebih secara signifikan mempercepat kerusakan jalan, jembatan, dan gorong-gorong. Perbaikan infrastruktur yang rusak akibat ODOL membutuhkan biaya besar dari anggaran negara, yang pada akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Kerusakan jembatan atau gapura desa yang disebut Djoko adalah contoh nyata dari dampak fisik yang ditimbulkan oleh truk-truk ini yang mencoba memaksakan diri melewati jalur yang tidak sesuai.

Dampak kebisingan yang dihasilkan ‘sound horeg’ juga patut mendapat perhatian serius. Tingkat kebisingan yang melampaui batas aman, yang seringkali mencapai lebih dari 100 desibel, dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius. Paparan suara bising dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, peningkatan kadar stres, gangguan tidur, serta berpotensi memperburuk kondisi kesehatan bagi warga yang memiliki riwayat penyakit jantung atau gangguan saraf. Terlebih lagi, anak-anak dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif ini, mengganggu proses belajar, istirahat, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Lingkungan yang bising juga dapat mengganggu ketenangan ibadah dan kegiatan sosial lainnya, menciptakan atmosfer yang tidak kondusif bagi kehidupan bermasyarakat.

Fenomena ‘sound horeg’ juga mencerminkan kompleksitas antara kebutuhan hiburan masyarakat, praktik ekonomi lokal, dan penegakan hukum. Banyak pihak yang terlibat dalam ekosistem ‘sound horeg’, mulai dari pemilik usaha penyewaan sound system, bengkel modifikasi truk, hingga penyelenggara acara, yang melihatnya sebagai sumber penghasilan. Namun, keuntungan ekonomi bagi segelintir pihak tidak boleh mengorbankan ketertiban umum, keselamatan, dan hak-hak masyarakat lainnya. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum memiliki peran krusial dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan ini. Diperlukan regulasi yang jelas, sosialisasi yang masif, dan penegakan hukum yang konsisten untuk memastikan bahwa kegiatan hiburan tidak merugikan masyarakat atau merusak fasilitas publik.

Sebagai solusi, perlu adanya pendekatan multi-pihak. Dari sisi keagamaan, sosialisasi fatwa haram ‘sound horeg’ perlu diperluas agar pemahaman masyarakat meningkat. Dari sisi transportasi, penegakan hukum terhadap truk ODOL harus lebih tegas, tidak hanya di jalan-jalan utama tetapi juga di akses desa. Pemerintah daerah dapat mempertimbangkan penyediaan fasilitas atau area khusus untuk kegiatan hiburan berskala besar yang aman dan tidak mengganggu masyarakat. Selain itu, perlu didorong pengembangan bentuk-bentuk hiburan alternatif yang lebih ramah lingkungan, tidak menimbulkan kebisingan berlebihan, dan tetap mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan rekreasi dan interaksi sosial. Kesadaran masyarakat akan dampak negatif ‘sound horeg’ juga perlu ditingkatkan melalui edukasi dan kampanye publik, sehingga ada dorongan dari bawah untuk mencari bentuk hiburan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan demikian, harmoni sosial dan keselamatan publik dapat tetap terjaga di tengah dinamika perkembangan hiburan dan budaya lokal.

Fatwa Haram Sound Horeg dan Tantangan Regulasi Truk ODOL: Sebuah Analisis Mendalam Dampak Sosial dan Transportasi

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *