
Baru-baru ini, jagat otomotif di Indonesia dihebohkan oleh temuan menarik dari National Battery Research Institute (NBRI) yang mengungkapkan sebuah fakta yang cukup mengkhawatirkan bagi calon pembeli mobil listrik: harga jual kembali kendaraan ramah lingkungan ini cenderung "nyungsep" atau anjlok secara signifikan. Temuan ini memicu perdebatan sengit mengenai nilai investasi dalam kepemilikan mobil listrik, terutama mengingat tingginya harga beli awal. Menurut NBRI, biang keladi utama dari fenomena depresiasi drastis ini adalah komponen baterai, yang merupakan jantung sekaligus bagian termahal dari sebuah mobil listrik. Lantas, bagaimana produsen otomotif menanggapi klaim yang berpotensi memengaruhi minat konsumen ini?
Martina Danuningrat, selaku Strategy & Marketing Director GWM Indonesia, sebuah produsen yang baru saja meluncurkan mobil listrik pertamanya di Tanah Air, GWM Ora 03, memberikan pandangannya. Saat ditemui di Bogor, Jawa Barat, Martina mengakui bahwa produsen memang tidak bisa sepenuhnya menjamin stabilitas harga jual kembali mobil listrik. Ia menjelaskan bahwa fokus utama produsen adalah memberikan produk dan layanan terbaik kepada konsumen. "Kalau soal jaminan, tidak ada (produsen) yang bisa jamin. Tapi kalau dilihat ya, memang orang Indonesia sebelum beli (mobil) kan sudah nanya berapa harga jualnya. Dipakai dulu aja sih (mobil listriknya). Dipakai dulu untuk (menikmati) experience-nya," ujar Martina. Pernyataan ini mencerminkan realitas perilaku konsumen di Indonesia yang sangat mempertimbangkan nilai jual kembali kendaraan, sebuah faktor penting yang seringkali menjadi penentu keputusan pembelian.
GWM Indonesia sendiri baru-baru ini memperkenalkan GWM Ora 03 di pasar domestik dengan banderol harga sekitar Rp 370 jutaan dalam status on the road Jakarta. Dalam upaya menenangkan kekhawatiran konsumen, Martina menambahkan bahwa produsen akan berupaya menjaga kenyamanan dan kepercayaan pelanggan melalui penawaran layanan purna jual yang prima. "Menurut aku sih, sebagai produsen, kami memberikan layanan terbaik aja (ke konsumen). Kita kan juga ada warranty-nya 8 tahun dan 200 ribu km, ini membuktikan kenyamanan konsumen tetap kita jaga," ungkapnya. Garansi baterai yang panjang ini, yang mencakup delapan tahun atau 200.000 kilometer, adalah salah satu upaya produsen untuk menepis kekhawatiran terkait "kesehatan" baterai dan biaya penggantian yang mahal di kemudian hari. Namun, apakah jaminan ini cukup untuk mengatasi kekhawatiran depresiasi nilai jual kembali?
Baca Juga:
- Toyota Fortuner: Panduan Lengkap Harga Terbaru, Spesifikasi, dan Varian Pilihan untuk Konsumen Indonesia
- Kecelakaan Tragis Bus Pariwisata di Malaysia Renggut Nyawa Dua WNI, Belasan Lainnya Luka-Luka
- Kecanggihan FSD Tesla Pukau Lei Jun: Pengiriman Otonom Mobil dari Pabrik ke Konsumen Ubah Paradigma Industri.
- Yamaha Vinoora 125 Meluncur di Taiwan, Skuter Mungil Berwajah Nyeleneh Mirip Minions Siap Pikat Konsumen Muda.
- Tragedi Diogo Jota dan Andre Silva: Sorotan Tajam pada Sistem Keamanan Lamborghini Huracan dalam Kecelakaan Maut
Penjelasan lebih lanjut mengenai akar permasalahan depresiasi mobil listrik disampaikan oleh Evvy Kartini, Founder National Battery Research Institute. Ia menegaskan bahwa anjloknya harga jual kembali mobil listrik disebabkan oleh kondisi "kesehatan" komponen baterai yang terus menurun seiring berjalannya waktu dan pemakaian. Baterai memang merupakan komponen yang sangat krusial dan sekaligus paling mahal dalam konstruksi sebuah mobil listrik. Banderol untuk satu unit baterai bisa mencapai 40 hingga 50 persen dari total harga jual kendaraan secara keseluruhan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya mesin pada mobil konvensional, yang biasanya hanya sekitar 10-20% dari total harga kendaraan.
"Harga baterai setengah harga mobil, jenis LFP dan semua. Jadi ketika harga baterai turun pasti mobil listrik turun," tutur Evvy Kartini. Ia merujuk pada jenis baterai Lithium Iron Phosphate (LFP) yang kini banyak digunakan karena keamanannya dan biaya produksinya yang relatif lebih terjangkau dibandingkan jenis lain seperti Nickel Manganese Cobalt (NMC), namun tetap saja harganya sangat signifikan. Evvy menjelaskan lebih lanjut bahwa depresiasi ini bukan karena kondisi bodi atau fitur lainnya, melainkan murni karena baterai. "Misal Anda pakai mobil listrik 3 tahun, orang yang mau beli pasti menghitung, sisa masa pakai cuma 2 tahun, karena baterainya belum direcycle, ganti baterai juga setengah harga mobil, jadi makanya turun, bukan bodi atau apa, jadi baterainya," kata dia menambahkan.
Penurunan "kesehatan" baterai ini terjadi melalui dua mekanisme utama: penuaan siklus (cycle aging) dan penuaan kalender (calendar aging). Penuaan siklus terjadi setiap kali baterai diisi daya dan dikosongkan (siklus pengisian/pengosongan), sementara penuaan kalender adalah degradasi alami yang terjadi seiring waktu, terlepas dari seberapa sering baterai digunakan, dan dipengaruhi oleh faktor seperti suhu lingkungan. Kedua faktor ini secara kumulatif mengurangi kapasitas total baterai dan kemampuan penyimpanannya, yang pada akhirnya memengaruhi jangkauan kendaraan dan performanya.
Fenomena depresiasi ekstrem ini sudah terlihat nyata di pasar mobil bekas. Sebagai gambaran konkret, mari kita lihat beberapa contoh yang beredar di pasar:
- BYD Seal: Mobil listrik premium ini, yang harga barunya berkisar antara Rp 639 juta (varian Premium) hingga Rp 750 juta (varian Performance AWD), dilaporkan mengalami penurunan harga hingga Rp 200 jutaan hanya dalam waktu satu tahun setelah peluncurannya di marketplace mobil bekas. Penurunan ini mencerminkan sekitar 26-31% dari harga awal, sebuah angka yang sangat mencolok dalam waktu singkat.
- Hyundai Ioniq 5 Signature Long Range: Model populer ini, yang harga barunya mencapai Rp 844 juta, kini banyak ditawarkan di platform jual-beli kendaraan bekas dengan harga antara Rp 465 juta hingga Rp 550 juta. Kendaraan-kendaraan ini umumnya merupakan keluaran dua tahun lalu. Ini berarti terjadi depresiasi sekitar 35-45% dalam kurun waktu dua tahun, sebuah kerugian nilai yang sangat besar bagi pemilik awal.
- Chery J6: Meskipun angka depresiasinya tidak seekstrem dua model di atas, Chery J6 yang dibanderol Rp 505 jutaan di pasar baru, kini dapat ditebus dengan harga sekitar Rp 450 jutaan di pasar kendaraan bekas. Penurunan sekitar Rp 55 juta ini menunjukkan bahwa tidak ada merek atau model mobil listrik yang kebal terhadap tren depresiasi yang cepat ini.
Melihat fakta-fakta ini, menjadi jelas mengapa mulai banyak produsen yang mempertimbangkan atau bahkan sudah mengimplementasikan sistem penjualan mobil listrik dengan skema sewa baterai (Battery-as-a-Service/BaaS). Dalam model ini, konsumen membeli mobil listrik tanpa kepemilikan baterai, melainkan menyewa baterai dari produsen atau penyedia layanan pihak ketiga dengan biaya bulanan. Pendekatan ini memiliki beberapa keuntungan signifikan:
- Harga Beli Awal Lebih Rendah: Tanpa biaya baterai yang mahal, harga jual mobil listrik bisa jauh lebih terjangkau, sehingga menarik lebih banyak konsumen.
- Menghilangkan Kekhawatiran Depresiasi Baterai: Karena baterai bukan milik konsumen, risiko penurunan nilai akibat degradasi baterai sepenuhnya ditanggung oleh penyedia layanan.
- Jaminan Kualitas Baterai: Penyedia layanan biasanya menjamin performa dan kesehatan baterai, bahkan menawarkan penggantian jika baterai mengalami penurunan kapasitas di bawah ambang batas tertentu.
- Potensi Upgrade Baterai: Dalam beberapa skema, konsumen mungkin memiliki opsi untuk meng-upgrade baterai mereka di masa depan seiring dengan kemajuan teknologi.
Meskipun harga jual kembali yang anjlok menjadi perhatian utama, penting juga untuk melihat perspektif Total Cost of Ownership (TCO) atau biaya kepemilikan total. Mobil listrik umumnya menawarkan biaya operasional yang jauh lebih rendah dibandingkan mobil bermesin pembakaran internal (ICE). Biaya pengisian daya listrik jauh lebih murah daripada bahan bakar minyak, dan mobil listrik memiliki komponen bergerak yang lebih sedikit, sehingga mengurangi kebutuhan akan perawatan rutin seperti ganti oli, busi, atau filter. Namun, penghematan operasional ini seringkali belum cukup untuk mengimbangi kerugian besar akibat depresiasi nilai jual kembali di benak konsumen Indonesia yang pragmatis.
Ke depan, beberapa solusi dan tren diharapkan dapat membantu menstabilkan pasar mobil listrik bekas. Pertama, kemajuan teknologi baterai akan terus menghasilkan baterai yang lebih tahan lama, lebih efisien, dan lebih murah. Kedua, infrastruktur daur ulang baterai (battery recycling) dan penggunaan kembali baterai (second-life battery applications) untuk keperluan penyimpanan energi di luar kendaraan akan semakin berkembang. Hal ini akan memberikan nilai tambah pada baterai yang telah melewati masa pakai optimalnya di mobil, sehingga mengurangi limbah dan menciptakan nilai ekonomi baru. Ketiga, peran pemerintah melalui insentif dan regulasi juga krusial, misalnya dengan memberikan subsidi untuk mobil listrik bekas atau menetapkan standar pelaporan kesehatan baterai yang transparan.
Pada akhirnya, pasar mobil listrik di Indonesia, seperti di banyak negara lain, masih dalam tahap awal. Tantangan seperti depresiasi nilai jual kembali yang signifikan adalah bagian dari proses adaptasi dan pematangan pasar. Produsen dan pemangku kepentingan lainnya perlu bekerja sama untuk membangun kepercayaan konsumen, baik melalui garansi yang komprehensif, skema kepemilikan yang inovatif seperti sewa baterai, maupun pengembangan solusi purna pakai baterai. Dengan demikian, meskipun saat ini harga jual kembali mobil listrik mungkin "nyungsep," prospek jangka panjang untuk adopsi kendaraan listrik yang lebih luas dan pasar bekas yang lebih stabil tetap ada. Konsumen mungkin perlu lebih fokus pada "experience" dan manfaat lingkungan serta operasional jangka panjang, sembari menunggu pasar bekas mobil listrik mencapai titik kematangan yang lebih stabil.
