
Marc Cucurella, bek kiri andalan Chelsea, kembali menjadi sorotan utama, namun bukan karena gol atau assist briliannya. Rambut gondrong ikalnya yang khas, lagi-lagi menjadi objek pelanggaran dalam sebuah pertandingan penting, kali ini di panggung final Piala Dunia Antarklub 2025. Insiden ini menambah panjang daftar catatan "penjambakan rambut" yang telah menjadi semacam fenomena unik dalam karier pemain internasional Spanyol tersebut sejak ia bergabung dengan Chelsea pada tahun 2022.
Pada Senin dini hari WIB, 14 Juli, di MetLife Stadium, New Jersey, Amerika Serikat, panggung final Piala Dunia Antarklub 2025 menjadi saksi dominasi Chelsea atas Paris Saint-Germain. The Blues tampil perkasa dengan kemenangan telak 3-0, mengamankan trofi bergengsi tersebut. Tiga gol kemenangan dicetak di babak pertama, menunjukkan superioritas tim London Barat itu sejak awal laga. Cole Palmer mencetak dua gol krusial, sementara Joao Pedro melengkapi pesta gol Chelsea, membuat PSG tak berdaya. Pertandingan ini sejatinya berjalan lancar bagi Chelsea, namun sebuah insiden di penghujung laga kembali menyorot nama Marc Cucurella.
Di menit ke-85, saat Chelsea sudah unggul jauh dan pertandingan mendekati akhir, Joaj Neves, pemain muda berbakat dari PSG, melakukan sebuah tindakan yang mengejutkan. Dalam sebuah perebutan bola di depan kotak penalti Chelsea, Cucurella terlebih dahulu mengadu badannya ke Neves, sebuah kontak fisik yang wajar dalam sepak bola. Namun, Neves merespons dengan cara yang tidak biasa dan di luar batas sportifitas: ia menjambak rambut keriting Cucurella dengan keras hingga sang bek terjatuh ke tanah. Insiden ini terjadi begitu terang-terangan dan langsung disaksikan oleh wasit.
Mulanya, wasit hanya memberikan kartu kuning kepada Neves atas pelanggaran tersebut. Namun, setelah mendapatkan intervensi dari Video Assistant Referee (VAR), keputusan pun berubah drastis. Tayangan ulang VAR dengan jelas menunjukkan intensitas dan niat di balik aksi penjambakan tersebut. Rambut Cucurella dijambak dengan cengkeraman kuat, menyebabkan rasa sakit yang nyata dan menjatuhkan pemain tersebut secara paksa. Berdasarkan bukti visual yang tak terbantahkan, wasit kemudian menganulir kartu kuning dan langsung mengeluarkan kartu merah untuk Joaj Neves. PSG pun harus mengakhiri pertandingan dengan 10 pemain, sebuah noda di akhir laga final.
Bagi Marc Cucurella, insiden ini pastilah terasa seperti "déjà vu". Ini bukan kali pertama rambutnya menjadi sasaran empuk lawan-lawan. Sejak kepindahannya ke Stamford Bridge dengan nilai transfer fantastis dari Brighton & Hove Albion pada musim panas 2022, gaya rambut gondrong ikalnya yang ikonik justru menjadi target berulang dalam pertandingan. Data menunjukkan bahwa setidaknya sudah empat kali di Liga Primer Inggris, Cucurella menjadi korban penjambakan rambut. Beberapa insiden lolos dari hukuman, namun ada juga yang berakhir dengan kartu merah bagi pelakunya, seperti yang dialami Jack Stephens, bek Southampton, pada musim 2022/2023.
Salah satu insiden paling terkenal yang menimpa Cucurella terjadi pada musim debutnya di Chelsea, dalam laga melawan Tottenham Hotspur. Saat itu, Cristian Romero dari Spurs menjambak rambut Cucurella dengan jelas di dalam kotak penalti Chelsea. Anehnya, wasit dan VAR pada saat itu tidak memberikan hukuman apa pun, bahkan setelah peninjauan VAR. Keputusan ini memicu kontroversi besar dan menjadi perdebatan sengit di kalangan pengamat sepak bola dan penggemar, mengingat jelasnya pelanggaran tersebut. Insiden Romero ini seringkali disebut-sebut sebagai preseden yang mungkin membuat pemain lawan merasa bisa "menguji batas" terhadap Cucurella. Berbeda dengan kasus Romero, insiden Joaj Neves di final Piala Dunia Antarklub 2025 kali ini mendapatkan keadilan melalui VAR, menunjukkan peningkatan konsistensi dalam penegakan aturan.
Dalam konteks regulasi sepak bola, tindakan menjambak rambut, terlepas dari niatnya, termasuk dalam kategori pelanggaran serius. Buku Peraturan Permainan IFAB (International Football Association Board) mengategorikan tindakan kekerasan semacam ini sebagai "kekerasan" atau "perilaku tidak sportif" yang dapat berujung pada kartu kuning atau bahkan kartu merah langsung, tergantung pada tingkat keparahan dan niatnya. Menarik rambut dengan tujuan menghentikan lawan dari serangan yang menjanjikan, atau bahkan sekadar dari pergerakan normal, dapat dianggap sebagai pelanggaran berat yang mengganggu integritas permainan. Kasus Joaj Neves menunjukkan bahwa VAR kini lebih cermat dalam mendeteksi dan menghukum pelanggaran semacam ini, yang seharusnya tidak memiliki tempat dalam olahraga profesional.
Meskipun terus-menerus menjadi korban dari taktik aneh ini, Marc Cucurella menunjukkan mentalitas yang luar biasa. Pemain berusia 26 tahun ini sama sekali tidak gentar atau bahkan berpikir untuk mengubah gaya rambutnya yang menjadi ciri khasnya. Rambut gondrong ikalnya telah menjadi bagian dari identitas visualnya di lapangan, hampir sama ikoniknya dengan rambut David Luiz atau Carlos Valderrama di masa lalu. "Enggak, enggak, inilah gaya saya. Buat saya, ini bukanlah masalah," ujarnya dengan tegas kepada Standard pada akhir tahun 2022, setelah beberapa insiden penjambakan terjadi. Pernyataan ini menunjukkan keteguhan hati Cucurella. Ia tidak ingin mengorbankan identitas dirinya demi menghindari taktik kotor lawan. Baginya, rambutnya adalah ekspresi diri, dan ia menolak untuk membiarkan tindakan tidak sportif lawan mendikte pilihan pribadinya.
Fenomena "penjambakan rambut Cucurella" telah memicu berbagai diskusi di kalangan penggemar dan pakar sepak bola. Sebagian menganggapnya sebagai taktik kotor yang harus diberantas, sementara yang lain mungkin melihatnya sebagai konsekuensi dari gaya rambut unik sang pemain yang "mengundang" untuk ditarik. Namun, sudut pandang kedua jelas keliru, karena tidak ada pemain yang berhak menjadi korban kekerasan di lapangan, apapun gaya rambutnya. Pelanggaran tetaplah pelanggaran.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa para pemain lawan begitu berani melakukan pelanggaran semacam ini? Apakah mereka melihat rambut Cucurella sebagai titik lemah yang mudah dieksploitasi untuk menghentikan pergerakannya? Atau, apakah ini hanya sebuah respons spontan dari frustrasi di lapangan? Apapun alasannya, kejadian berulang ini menimbulkan kekhawatiran tentang keselamatan pemain dan penegakan aturan yang konsisten. Keberanian Cucurella untuk tetap mempertahankan gaya rambutnya di tengah ancaman penjambakan ini juga menjadi bukti ketahanan mentalnya sebagai seorang atlet profesional. Ia menunjukkan bahwa ia tidak akan terintimidasi oleh taktik lawan yang tidak sportif.
Kemenangan Chelsea di Piala Dunia Antarklub 2025 ini merupakan pencapaian penting bagi klub, yang menunjukkan kekuatan dan kedalaman skuad mereka di bawah asuhan pelatih baru, dan merupakan penanda kebangkitan setelah musim-musim yang kurang memuaskan. Gol-gol cepat dari Cole Palmer, yang terus menunjukkan performa impresifnya, dan Joao Pedro, memberikan landasan yang kokoh bagi kemenangan. Namun, insiden yang melibatkan Cucurella dan Joaj Neves di akhir pertandingan menjadi bumbu yang tak terduga, menambah narasi yang sudah menarik. Hal ini juga menjadi pengingat bahwa dalam sepak bola, tidak hanya skill dan taktik yang menjadi sorotan, tetapi juga insiden-insiden unik yang menguji sportivitas dan integritas permainan.
Dengan segala insiden yang telah terjadi, Marc Cucurella telah mengukuhkan dirinya sebagai ikon unik dalam sepak bola modern, bukan hanya karena kemampuan bermainnya yang lincah dan kontribusinya di sisi kiri pertahanan Chelsea, tetapi juga karena rambutnya yang menjadi sasaran empuk lawan. Keteguhannya untuk tidak mengubah gaya rambutnya, meskipun telah berulang kali menjadi korban, menunjukkan karakter dan kepercayaan dirinya yang kuat. Insiden di final Piala Dunia Antarklub 2025 melawan PSG ini hanya memperkuat reputasinya sebagai pemain yang tangguh, baik secara fisik maupun mental, yang tetap setia pada dirinya sendiri di tengah tekanan dan provokasi lawan. Para wasit dan otoritas sepak bola diharapkan untuk terus menjaga konsistensi dalam penegakan aturan agar insiden serupa tidak terulang, memastikan bahwa sepak bola tetap menjadi olahraga yang adil dan menjunjung tinggi sportivitas.
